Mohon tunggu...
Randi Dian Saputra
Randi Dian Saputra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Bapak Anak Satu

Seseorang yang sedang berusaha keluar dari zona nyaman.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Percayalah, Kita Semua akan Mati Dua Kali

9 September 2021   20:35 Diperbarui: 10 September 2021   09:25 727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Percayalah, kita semua akan mati dua kali.

Bukan, bukan, ini maksudnya bukan seperti dalam film-film zombie ala Hollywood itu. Tapi memang ada satu lagi kematian yang akan dialami semua orang selain kematian jasmani yang selama ini kita pahami. Mari kita sebut saja kejadian ini dengan sebutan istri kedua eh salah, kematian kedua.

Apa itu kematian kedua? Kematian kedua adalah saat tidak ada lagi orang yang mengingat ataupun menyebut nama kita. Maksudnya bagaimana? Menurut Buya Hamka dalam bukunya yang berjudul Filsafat Hidup, hidup adalah tentang kebermanfaatan. Pasti anda pernah mendengar quote beliau yang berbunyi "Kalau hidup hanya sekedar hidup, babi di hutan juga hidup" itu kan?

Jadi, secara pragmatis, ketika anda masih bermanfaat bagi orang lain maka anda masih hidup. Manfaat di sini bermakna sangat luas, bisa sesederhana suami yang menafkahi istri atau juga bisa seperti Mark Zuckerberg yang sudah menciptakan aplikasi facebook yang mendunia itu. Begitu juga sebaliknya, ketika anda sudah tidak bermanfaat lagi bagi orang lain, anda bahkan tidak ada dipikiran siapapun lagi, di situlah sebenarnya anda secara pragmatis sudah mati, tidak berdampak apa-apa lagi di dunia ini.

Ada orang yang sudah lama mati tapi namanya masih sering disebut, dijadikan teladan seperti Buya Hamka, Presiden Soekarno, Pangeran Diponegoro dan banyak manusia-manusia hebat lainnya. Ada juga orang yang namanya dilupakan setahun, seminggu atau bahkan sehari setelah dimakamkan. Tapi, ada yang lebih parah lagi, ada orang yang terlupakan bahkan sebelum ia meninggal. Kematian keduanya terjadi bahkan sebelum kematian pertamanya datang. Hal ini banyak terjadi di negara-negara maju yang cenderung individualis. Banyak warganya yang hidup sendiri bertahun-tahun tanpa keluarga dan hanya fokus berkerja. Hidupnya hampa dan akhirnya membuat mereka depresi  lalu bunuh diri.

Dari zaman prasejarah hingga tahun 2021 masehi ini, mungkin sudah ada ratusan milliar manusia yang pernah hidup di muka bumi, tapi kenapa hanya beberapa saja yang kita ingat atau ketahui namanya? Agaknya ini lah yang dimaksud dengan immortality atau hidup abadi itu. Meskipun jasadnya sudah tidak ada tapi manfaat dan kehadirannya masih terasa. Hanya orang-orang luar biasa yang bisa tetap dikenang meskipun sudah lama check-out dari dunia ini. 

Mungkin bagi orang-orang yang menganut moto hidup "YOLO, You Only Live Once" konsep kematian kedua ini tidaklah penting. Kelompok ini hanya fokus pada kehidupan jasmani saja. Mereka percaya bahwa setelah mati, yasudah, you're gone, 'jadi makanan cacing dalam tanah" seperti kata Bang Naga Bonar.

Tapi apapun itu, mungkin ini bisa menjadi renungan bagi kita. Sebaiknya kita mulai berpikir bagaimana meninggalkan kesan yang baik di dunia ini. Tidak usah jauh-jauh, kita bisa fokus dengan keluarga kita sendiri. Kalau kita bisa mendidik dengan baik anak dan cucu, maka mereka bisa menjadi representasi yang menegaskan pada dunia bahwa kita pernah menginjakkan kaki di muka bumi ini.

Terakhir, ada satu lagi cara untuk mencegah atau setidaknya menunda datangnya kematian kedua itu. Cara ini cukup ampuh dan bisa membuat kita seolah-olah abadi atau hidup selama mungkin di dunia ini. Caranya adalah dengan menulis. Karya yang bermanfaat akan seolah-olah membuat kita tetap hidup, hadir dan memberikan impact pada pada orang lain bahkan tanpa kita ketahui. Ada banyak buku-buku hebat yang membuat penulisnya tetap dikenal hingga sekarang ini, sebut saja Art of War karya Sun Tzu, Tafsir Al Azhar karya Buya Hamka dan banyak contoh lainnya. Jadi, menulislah jika anda hanya ingin mati satu kali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun