Mohon tunggu...
Randi MU
Randi MU Mohon Tunggu... -

hanya ingin menyelesaikan misi hidup dimuka bumi ini, tak peduli apakah benar atau salah dimata manusia, karena hanya Allah yang berhak menilai

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hukum Bersalaman dengan Lawan Jenis Non-Mahram

4 Oktober 2016   02:45 Diperbarui: 4 Oktober 2016   08:57 1312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Berjabat tangan antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram itu hukumnya haram”, itulah ucapan yang sering kita dengar di kalangan ummat Islam dan juga di kalangan aktifis dakwah. Sehingga pemahaman seperti itulah yang selama ini dipegang dan dianggap sebagai satu-satunya hukum mutlak. Umumnya mereka yang paham dan menjalankan syariah tidak akan mau bersalaman dan sebisa mungkin menghindari sentuhan kulit dengan wanita. Bahkan dalam banyak kesempatan, dengan cara yang halus mereka menolak ajakan untuk menjabat tangan wanita. Sehingga ketika ada seorang aktifis dakwah yang kelihatan bersalaman dengan lawan jenis non mahramnya, akan menimbulkan pertanyaan kritis di kalangan umat.

Hukum bersalaman antara laki-laki dengan perempuan memang sudah menjadi pembahasan para ulama sejak dulu. Umumnya para ulama terdahulu (salaf al-shalih) memang banyak yang berpendapat bahwa berjabat tangan dengan lawan jenis yang buka mahram itu haram. Akan tetapi di era modern dan kontemporer seperti sekarang ini sebuah kajian kritis dan dialogis dari sisi syariah kembali di perbincangkan dan dimusyawarahkan untuk menemukan fiqh muqaranah (perbandingan) untuk meneliti sejauh mana dalil pengharamannya.

Sebelumnya para ulama sudah menetapkan bahwa pada dasarnya bersalaman dengan lawan jenis hukumnya adalah mubah (boleh), hal ini didasarkan kepada kaidah fiqih yg berbunyi:

اَلأَصْلُ فِى اْلأَشْيَاءِ اْلإِ بَا حَة حَتَّى يَدُ لَّ اْلدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ

Artinya: hukum asal sesuatu (mu’amalah) itu mubah, sampai ada dalil yang menyelisihi/ melarangnya.

Para ulama juga berpendapat diperbolehkannya bersalaman dengan wanitatua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki, demikian pula dengan anak-anak kecil yang belum mempunyai syahwat terhadap lawan jenis, karena berjabat tangan dengan mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita. Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Bakar r.a. bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita tua, dan Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua untuk merawatnya, maka wanita itu mengusapnya dengan tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu. (Lihat al-Ikhtiar li Mukhtar fi Fiqhil Hanafyah, 4: 155). Namun bagaimana hukumnya jika bersalaman dengan orang yang sudah dan masa baligh (masih terkena beban syari’at)?

Para ulama berbeda pendapat mengenai hal tersebut, namun umumnya  para ulama sekarang yang mengharamkan bersalaman dengan wanita berdalil kepada hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Maqil bin Yasar yang menyatakan lebih baik ditusuk dengan paku dari pada menyentuh wanita. Rasulullah saw bersabda:

لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ
 Artinya: “Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”(HR. Thabrani dan Baihaqi)

Namun, para imam-imam ahli hadits (muhadits) menyatakan hadits ini dha’if (lemah), kecuali orang-orang seperti al-Mundziri, al-Haitsami, dan al-Bani yang hanya menyatakan, "Perawi-perawinya adalah shahih”. Tentu pendapat seperti itu saja tidak cukup untuk menetapkan kesahihan hadits tersebut, karena masih ada kemungkinan terputus jalan periwayatannya (inqitha') atau terdapat 'illat (cacat) yang samar. (lihat yusuf Qardhawi dalam kitab Fatawa Mu’ashirah jilid.II). Karena itu, tidak ada seorang pun fuqaha terdahulu yang menjadikannya sebagai dasar untuk mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan dan sebaliknya. Bahkan seandainya pun kita menerima hadits tersebut shahih, maka itupun juga tidak dapat dijadikan sebagai landasan atas pengharaman bersalaman dengan lawan jenis, karena kalimat  مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ (menyentuh wanita yang tidak halal) tidak dimaksudkan bersentuhan kulit seperti apa yang dipahami oleh ulama dan pendakwah sekarang ini.

Kata  يَمَسَّ (al-mass – yamassa: menyentuh) sering digunakan dalam nash-nash Al-qur’an maupun hadits sebagai menyentuh dalam makna kiasan dari hubungan biologis (jima’) dan bukan menyentuh dalam arti sesungguhnya. Seperti firman Allah dalam Surat Al-Ma’idah ayat 6 yaitu أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ "Au Laamastum an-Nisat" (atau kamu menyentuh wanita), Ibnu Abbas menafsirkan, "Lafal al-lams, al-mulaamasah, dan al-mass dalam Al-Qur'an yang diartikan sebagai menyentuh

dipakai sebagai kiasan untuk jima' (hubungan seksual). Lebih jelas lagi firman Allah yang diucapkan Maryam dalam Surat Ali-Imran: 47

بِّ أَنَّىٰ يَكُونُ لِي وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ

Artinya: "Bagaimana mungkin aku akan mempunyai anak padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-laki pun ...",

Dan juga firman Allah dalam Surat Al-Baqarah: 237

وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ

Artinya: “Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka...".

Jadi maksud kata-kata al-mass atau al-lams digunakan bukan bermakna semata-mata bersentuhan biasa, tetapi yang dimaksud ialah jima' (hubungan biologis/seksual).

Lebih lanjut dari itu, dalam mengharamkan bersalaman dengan non-mahram para ulama terdahulu menggunakan hadits yg diriwayatkan Ummul Mukminin Aisyah r.a. bahwa nabi SAW tidak menjabat tangan wanita ketika hendak melakukan bai’at. Hadits selengkapnya:

‘Urwah bin Az Zubair berkata bahwa ‘Aisyah –istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata, “Jika wanita mukminah berhijrah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka diuji dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina ….” (QS. Al Mumtahanah: 12). ‘Aisyah pun berkata, “Siapa saja wanita mukminah yang mengikrarkan hal ini, maka ia berarti telah diuji.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri berkata ketika para wanita mukminah mengikrarkan yang demikian, “Kalian bisa pergi karena aku sudah membaiat kalian”.Namun -demi Allah- beliau sama sekali tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita pun. Beliau hanya membaiat para wanita dengan ucapan beliau. ‘Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menyentuh wanita sama sekali sebagaimana yang Allah perintahkan. Tangan beliau tidaklah pernah menyentuh tangan mereka. Ketika baiat, beliau hanya membaiat melalui ucapan dengan berkata, “Aku telah membaiat kalian.” (HR. Muslim no. 1866).

Al-hafizh ibnu hajar berkata dalam Fathul Bari berkata bahwa ucapan Aisyah r.a “Namun demi Allah” sebagai bentuk sumpah untuk menguatkan berita, dan juga seakan-akan hendak menyangkal berita yang sebelumnya disampaikan oleh Ummu Athiyah Al-Anshariyah r.a dalam hadits Ibnu Hibban, al-Bazzar, ath-Thabari, dan Ibnu Mardawaih sebagai berikut:

Dari Ismail bin Abdurrahman dari neneknya, Ummu Athiyah, mengenai kisah bai’at, Ummu Athiyah r.a berkata: “Bahwa Rasulullah saw mengulurkan tangannya dari luar rumah dan kami mengulurkan tangan kami dari dalam rumah, kemudian beliau berucap, ‘Ya Allah, saksikanlah (bai’at) ini.”( H.R Ibnu Hibban, al-Bazzar, ath-Thabari, dan Ibnu Mardawaih).

Dari kedua hadits diatas memang tampak perbedaan sikap yang dilakukan oleh Rasulullah. Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah menujukkan bahwa Rasulullah saw tidak pernah bersentuhan kulit dengan wanita, sementara hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Athiyah menunjukkan bahwa Rasulullah pernah menjabat tangan wanita selama bai’at. Lebih lanjut lagi hadits yang diriwayatkan dari asy-Sya’bi bahwa Nabi Salallahu ‘alaihi wa sallam ketika membai’at wanita beliau membawa kain selimut bergaris dari Qatar lalu beliau meletakkannya diatas tangan beliau seraya berkata “aku tidak berjabat dengan wanita”(H.R Abu Dawud dalam al-Marasil).

Sebagai jalan tengah, Ibnu Hajar berkata: bahwa boleh jadi berulang-ulang, yaitu peristiwa bai’at itu terjadi lebih dari satu kali di waktu yang berbeda, dimana pada satu waktu beliau melakukan bai’at dengan tidak menyentuh tangan wanita sama sekali, baik dengan lapis kain maupun tidak, beliau membai’atnya dengan ucapan saja, dan inilah yang diriwayatkan oleh Aisyah. Pada kesempatan lain Rasulullah melakukan bai’at dengan menjabat tangan menggunakan lapis kain, dan inilah yang diriwayatkan oleh asy-Sya’bi. Dan di waktu yang lain Rasulullah juga melakukan bai’at dalam bentuk yang ditunjukkan seperti Ummu Athyiyah, yaitu berjabat tangan secara langsung.

Oleh sebab itu sikap Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan wanita seperti yang diriwayatkan oleh Aisyah tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan keharaman hukum bersalaman atau bersentuhan dengan lawan jenis dan tidak bisa pula disepakati, karna ada Hadits yang menujukkan bahwa Rasulullah pernah berjabat tangan dengan wanita Non-Mahram seperti wanita dari kalangan Anshar termasuk pula Ummu Athiyah si perawi Hadits tersebut. Lagipula ada satu Muqarar (ketetapan) yang menyatakan bahwa apabila Nabi saw meninggalkan suatu urusan, maka hal itu tidak menunjukkan secara pasti akan keharamannya. Adakalanya beliau meninggalkan sesuatu karena haram, adakalanya makruh karena hal itu kurang utama, dan adakalanya hanya semata-mata karena beliau tidak berhasrat kepadanya, seperti halnya beliau tidak memakan daging biawak padahal daging itu mubah, atau seperti halnya beliau tidak suka musik tetapi membiarkan orang lain bernyanyi.

Memang banyak kita jumpai riwayat yang sahih dari Rasulullah saw yang menunjukkan bahwa bersentuhan tangan antara laki-laki dengan perempuan tidaklah terlarang, bahkan pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. Seperti beberapa hadits berikut ini.


 Dari Anas bin Malik r.a, ia berkata: "Sesungguhnya seorang budak wanita diantara budak-budak penduduk Madinah memegang tangan Rasulullah saw., lalu membawanya pergi ke mana ia suka." (HR. Bukhari dalam Shahih-nya pada "Kitab al-Adab").

Dalam riwayat lainnya juga ada hadits senada:

Dari Anas bin Malik ia berkata: "Sesungguhnya seorang budak perempuan dari budak-budak penduduk Madinah datang, lalu ia memegang tangan Rasulullah saw., maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga dia membawanya pergi ke mana ia suka." (HR. Ahmad).

Kedua hadits diatas menunjukkan bahwa memegang tangan ataupun menyentuh wanita maupun laki-laki yang bukan mahramnya diperbolehkan dan tidaklah dilarang selama tidak disertai Syahwat, seperti halnya yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Bahkan yang jauh lebih mengena lagi ialah hadits yang diriwayatkan dalam shahihah dan kitab sunan.

Dari Anas “bahwa Nabi saw. masuk ke rumah Ummu Haram binti Milhan dan beliau diberi makan. Ummu Haram adalah istri Ubadah bin Shamit, dan Ummu Haram membersihkan kepala beliau (dari kutu) lalu Rasulullah SAW tertidur …” (HR Bukhari dalam Kitabul jihad Was-Sair bab Ad-du’au biljihadi Wasysyahadatu lirrijali wannisa’ no. 2580 dan Kitabul Isithsan no. 5810).

Meskipun Hadits ini Shahih, namun hadits ini mendapat komentar dari Ibnu Abdil Barr yang membawakan riwayat dengan sanadnya yang menunjukkan bahwa Ummu Haram mempunyai hubungan mahram dengan Rasulullah dari jurusan bibi (saudara ibunya), sebab ibu Abdul Muthalib, kakek Nabi, adalah dari Bani Najja. Akan tetapi, Al-Hafizh ad-Dimyati menyanggah pendapat Ibnu Abdil Barr yang beranggapan tentang adanya hubungan kemahraman antara Nabi saw. dengan Ummu Haram. Beliau (ad-Dimyati) berkata: “Mengigau orang yang menganggap Ummu Haram sebagai salah seorang bibi Nabi saw., baik bibi susuan maupun bibi nasab. Sudah dimaklumi, orang-orang yang menyusukan beliau tidak ada seorang pun di antara mereka yang berasal dari wanita Anshar selain Ummu Abdil Muthalib, yaitu Salma binti Amr bin Zaid bin Lubaid bin Hirasy bin Amir bin Ghanam bin Adi bin an-Najjar; dan Ummu Haram adalah binti Milhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir tersebut. Maka nasab Ummu Haram tidak bertemu dengan nasab Salma kecuali pada Amir bin Ghanam, kakek mereka yang sudah jauh ke atas. Dan hubungan bibi (yang jauh) ini tidak menetapkan kemahraman, sebab ini adalah bibi majazi, seperti perkataan Nabi saw. terhadap Sa’ad bin Abi Waqash, “Ini pamanku” karena Sa’ad dari Bani Zahrah, kerabat ibu beliau Aminah, sedangkan Sa’ad bukan saudara Aminah, baik nasab maupun susuan.

Dari sanggahan tersebut jelaslah bahwa Ummu Haram tidak memiliki hubungan Mahram dengan Rasulullah, baik secara nasab maupun susuan. Ibnu Hajar dalam menjelaskan hadits ini mengatakan, "Hadits ini memperbolehkan tamu tidur siang di rumah orang lain (yakni tuan rumah) dengan memenuhi persyaratannya, seperti dengan adanya izin dan aman dari fitnah, dan bolehnya wanita asing (bukan istri) melayani tamu dengan menghidangkan makanan, menyediakan keperluannya, dan sebagainya. Maka bersentuhan/ bersalaman dengan lawan jenis juga diperbolehkan selama aman dari fitnah.

Dari seluruh penjelasan diatas, maka saya selaku penulis berkesimpulan dengan hati dan ilmu yang mantap dengan tetap bertawakal kepada Allah swt berkesimpulan bahwa bersalaman dengan lawan jenis yang bukan Mahramnya tidak serta merta diharamkan dan diperbolehkan. Namun demikian ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

1. diperbolehkan bersalaman selama tidak menimbulkan syahwat dan aman dari fitnah, seperti misalnya bersalaman dengan guru, ataupun bersalaman kepada yang lainnya pada saat kesempatan tertentu, seperti moment Lebaran Idul fitri, karena hal tersebut sangat kecil kemungkinannya dapat menimbulkan syahwat dan terjadi fitnah. Namun apabila bersalaman dapat menimbulkan Syahwat seperti misalnya bersalaman dengan orang yang kita menaruh perasaan hati kepadanya maka sebaiknya tidak perlu bersalaman demi membendung pintu kerusakan, kecuali jika kita mampu untuk menjaga hati dan menundukkan pandangan, Maka diperbolehkan untuk bersalaman.

Untuk syarat kedua yaitu aman dari fitnah, perlu adanya sosialisai mendalam dan menyeluruh tentang kajian hal ini (red: hukum bersalaman dengan lawan jenis) kepada masyarakat Islam secara luas, khusunya dikalangan pendakwah yang masih berpemahaman fundamental-konservatif (kaku dan tekstualis). Karena pengalaman yang saya alami selaku penulis yang juga seorang aktifis dakwah memang acapkali mendapat fitnah berupa doktrin ‘Haram’ dan sindiran ketika bersalaman dengan lawan jenis yang sebaya, dan yang memfitnah kebanyakan bahkan semuanya adalah pendakwah. Namun hal ini bisa saya maklumi lantaran kurangnya pengetahuan mereka terhadap pemahaman ilmu agama yang mendalam.

2. bersalaman dilakukan sebatas pemenuhan kebutuhan saja, seperti misalnya kepada besan/ kerabat yang sudah lama terpisah dan baru berjumpa, dan juga kepada orang-orang yang biasa kita kenal sehari-hari, seperti kawan bermain, kolega atau teman kuliah/sekolah, guru/dosen, tetangga dan juga sanak saudara seperti misalnya sepupu yang secara syari’at tidak dianggap Mahram meskipun memiliki nasab kekeluargaan.

Dan tidak baik jika bersalaman ini diperluas kepada orang asing yang tidak kita kenal atau baru kita kenal, kecuali jika orang tersebut memang umum bersalaman dengan masyarakat luas seperti tokoh Masyarakat ataupun pejabat pemerintah.

3. hendaknya bagi seorang Muslim/Muslimah agar tidak memulai bersalaman dengan menyodorkan tangannya duluan kepada lawan jenis, tetapi apabila diajak untuk bersalaman barulah boleh menerima untuk berjabat tangan dengannya. Namun sebenarnya kita juga boleh memulai duluan jika kedua poin yang telah saya sebutkan sebelumnya diatas terpenuhi, yaitu tidak disertai syahwat dan hanya dilakukan kepada orang-orang yang kita kenal. Sementara untuk orang asing janganlah memulai duluan kecuali jika orang asing tersebut terlanjur memberikan tangannya terlebih dahulu.

Demikianlah pemahaman yang dapat saya sampaikan dengan tanpa adanya maksud untuk menghalalkan yang haram ataupun sebaliknya, karena saya hanya mengumpulkan ikhtilaf (perbedaan pendapat) dikalangan para Ulama dan mengkompromikannya agar dapat dilaksanakan oleh orang yang memerlukannya tanpa merasa mengabaikan agamanya. Dan bagi orang yang sudah mengetahui tidak perlu untuk mengingkarinya. Akhirnya hanya kepada Allah yang Maha Benar lah kita berserah diri dan memohon ampunan-Nya. Wallahu a’lam bish shawab......

Note: sebagian besar isi artikel dikutip dari pernyataan Ulama Kontemporer Dr Syeikh Yusuf Qardhawi...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun