1. diperbolehkan bersalaman selama tidak menimbulkan syahwat dan aman dari fitnah, seperti misalnya bersalaman dengan guru, ataupun bersalaman kepada yang lainnya pada saat kesempatan tertentu, seperti moment Lebaran Idul fitri, karena hal tersebut sangat kecil kemungkinannya dapat menimbulkan syahwat dan terjadi fitnah. Namun apabila bersalaman dapat menimbulkan Syahwat seperti misalnya bersalaman dengan orang yang kita menaruh perasaan hati kepadanya maka sebaiknya tidak perlu bersalaman demi membendung pintu kerusakan, kecuali jika kita mampu untuk menjaga hati dan menundukkan pandangan, Maka diperbolehkan untuk bersalaman.
Untuk syarat kedua yaitu aman dari fitnah, perlu adanya sosialisai mendalam dan menyeluruh tentang kajian hal ini (red: hukum bersalaman dengan lawan jenis) kepada masyarakat Islam secara luas, khusunya dikalangan pendakwah yang masih berpemahaman fundamental-konservatif (kaku dan tekstualis). Karena pengalaman yang saya alami selaku penulis yang juga seorang aktifis dakwah memang acapkali mendapat fitnah berupa doktrin ‘Haram’ dan sindiran ketika bersalaman dengan lawan jenis yang sebaya, dan yang memfitnah kebanyakan bahkan semuanya adalah pendakwah. Namun hal ini bisa saya maklumi lantaran kurangnya pengetahuan mereka terhadap pemahaman ilmu agama yang mendalam.
2. bersalaman dilakukan sebatas pemenuhan kebutuhan saja, seperti misalnya kepada besan/ kerabat yang sudah lama terpisah dan baru berjumpa, dan juga kepada orang-orang yang biasa kita kenal sehari-hari, seperti kawan bermain, kolega atau teman kuliah/sekolah, guru/dosen, tetangga dan juga sanak saudara seperti misalnya sepupu yang secara syari’at tidak dianggap Mahram meskipun memiliki nasab kekeluargaan.
Dan tidak baik jika bersalaman ini diperluas kepada orang asing yang tidak kita kenal atau baru kita kenal, kecuali jika orang tersebut memang umum bersalaman dengan masyarakat luas seperti tokoh Masyarakat ataupun pejabat pemerintah.
3. hendaknya bagi seorang Muslim/Muslimah agar tidak memulai bersalaman dengan menyodorkan tangannya duluan kepada lawan jenis, tetapi apabila diajak untuk bersalaman barulah boleh menerima untuk berjabat tangan dengannya. Namun sebenarnya kita juga boleh memulai duluan jika kedua poin yang telah saya sebutkan sebelumnya diatas terpenuhi, yaitu tidak disertai syahwat dan hanya dilakukan kepada orang-orang yang kita kenal. Sementara untuk orang asing janganlah memulai duluan kecuali jika orang asing tersebut terlanjur memberikan tangannya terlebih dahulu.
Demikianlah pemahaman yang dapat saya sampaikan dengan tanpa adanya maksud untuk menghalalkan yang haram ataupun sebaliknya, karena saya hanya mengumpulkan ikhtilaf (perbedaan pendapat) dikalangan para Ulama dan mengkompromikannya agar dapat dilaksanakan oleh orang yang memerlukannya tanpa merasa mengabaikan agamanya. Dan bagi orang yang sudah mengetahui tidak perlu untuk mengingkarinya. Akhirnya hanya kepada Allah yang Maha Benar lah kita berserah diri dan memohon ampunan-Nya. Wallahu a’lam bish shawab......
Note: sebagian besar isi artikel dikutip dari pernyataan Ulama Kontemporer Dr Syeikh Yusuf Qardhawi...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H