“Berjabat tangan antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram itu hukumnya haram”, itulah ucapan yang sering kita dengar di kalangan ummat Islam dan juga di kalangan aktifis dakwah. Sehingga pemahaman seperti itulah yang selama ini dipegang dan dianggap sebagai satu-satunya hukum mutlak. Umumnya mereka yang paham dan menjalankan syariah tidak akan mau bersalaman dan sebisa mungkin menghindari sentuhan kulit dengan wanita. Bahkan dalam banyak kesempatan, dengan cara yang halus mereka menolak ajakan untuk menjabat tangan wanita. Sehingga ketika ada seorang aktifis dakwah yang kelihatan bersalaman dengan lawan jenis non mahramnya, akan menimbulkan pertanyaan kritis di kalangan umat.
Hukum bersalaman antara laki-laki dengan perempuan memang sudah menjadi pembahasan para ulama sejak dulu. Umumnya para ulama terdahulu (salaf al-shalih) memang banyak yang berpendapat bahwa berjabat tangan dengan lawan jenis yang buka mahram itu haram. Akan tetapi di era modern dan kontemporer seperti sekarang ini sebuah kajian kritis dan dialogis dari sisi syariah kembali di perbincangkan dan dimusyawarahkan untuk menemukan fiqh muqaranah (perbandingan) untuk meneliti sejauh mana dalil pengharamannya.
Sebelumnya para ulama sudah menetapkan bahwa pada dasarnya bersalaman dengan lawan jenis hukumnya adalah mubah (boleh), hal ini didasarkan kepada kaidah fiqih yg berbunyi:
اَلأَصْلُ فِى اْلأَشْيَاءِ اْلإِ بَا حَة حَتَّى يَدُ لَّ اْلدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
Artinya: hukum asal sesuatu (mu’amalah) itu mubah, sampai ada dalil yang menyelisihi/ melarangnya.
Para ulama juga berpendapat diperbolehkannya bersalaman dengan wanitatua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki, demikian pula dengan anak-anak kecil yang belum mempunyai syahwat terhadap lawan jenis, karena berjabat tangan dengan mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita. Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Bakar r.a. bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita tua, dan Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua untuk merawatnya, maka wanita itu mengusapnya dengan tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu. (Lihat al-Ikhtiar li Mukhtar fi Fiqhil Hanafyah, 4: 155). Namun bagaimana hukumnya jika bersalaman dengan orang yang sudah dan masa baligh (masih terkena beban syari’at)?
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal tersebut, namun umumnya para ulama sekarang yang mengharamkan bersalaman dengan wanita berdalil kepada hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Maqil bin Yasar yang menyatakan lebih baik ditusuk dengan paku dari pada menyentuh wanita. Rasulullah saw bersabda:
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ
Artinya: “Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”(HR. Thabrani dan Baihaqi)
Namun, para imam-imam ahli hadits (muhadits) menyatakan hadits ini dha’if (lemah), kecuali orang-orang seperti al-Mundziri, al-Haitsami, dan al-Bani yang hanya menyatakan, "Perawi-perawinya adalah shahih”. Tentu pendapat seperti itu saja tidak cukup untuk menetapkan kesahihan hadits tersebut, karena masih ada kemungkinan terputus jalan periwayatannya (inqitha') atau terdapat 'illat (cacat) yang samar. (lihat yusuf Qardhawi dalam kitab Fatawa Mu’ashirah jilid.II). Karena itu, tidak ada seorang pun fuqaha terdahulu yang menjadikannya sebagai dasar untuk mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan dan sebaliknya. Bahkan seandainya pun kita menerima hadits tersebut shahih, maka itupun juga tidak dapat dijadikan sebagai landasan atas pengharaman bersalaman dengan lawan jenis, karena kalimat مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ (menyentuh wanita yang tidak halal) tidak dimaksudkan bersentuhan kulit seperti apa yang dipahami oleh ulama dan pendakwah sekarang ini.
Kata يَمَسَّ (al-mass – yamassa: menyentuh) sering digunakan dalam nash-nash Al-qur’an maupun hadits sebagai menyentuh dalam makna kiasan dari hubungan biologis (jima’) dan bukan menyentuh dalam arti sesungguhnya. Seperti firman Allah dalam Surat Al-Ma’idah ayat 6 yaitu أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ "Au Laamastum an-Nisat" (atau kamu menyentuh wanita), Ibnu Abbas menafsirkan, "Lafal al-lams, al-mulaamasah, dan al-mass dalam Al-Qur'an yang diartikan sebagai menyentuh
dipakai sebagai kiasan untuk jima' (hubungan seksual). Lebih jelas lagi firman Allah yang diucapkan Maryam dalam Surat Ali-Imran: 47