Melihat Indonesia dengan hati nurani, harus sungguh-sungguh mewujudkan dengan mengagendakan dan menyelesaikan persoalan sosial (kemiskinan, penggangguran, keadilan dan sebagainya) dalam masyarakat. Maksudnya, janganlah masalah sosial dalam masyarakat hanya dipikirkan sambil lalu, sedangkan masalah inflasi atau birokrasi misalnya, dipikirkan sampai tidak tidur beberapa hari hanya karena aspek ketakutan pada atasan kerja.
Persoalan sosial dalam masyarakat masih terus menghantui negara kita. Diperlukan sikap yang dilandasi hati nurani. Alangkah eloknya, pemerintah berkomitmen "untuk membangun indonesia dari pinggiran" sesuai dengan program nawacita presiden Jokowi Widodo dan wakil presiden Jusuf Kalla.
Berbicara mengenai pinggiran, justru berkait dengan manusianya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pinggiran diartikan sebagai bagian (daerah) yang di pinggir, tepi atau perbatasan. Daerah yang dimaksud disini adalah suatu tempat ada keadaan alam, tidak ada gedung-gedung. Berarti dapat kita simpulkan itu yang dinamakan desa.
Pusaran kemiskinan di desa masih tentang realitas kehidupan masyarakat. Sejak dulu hingga sekarang tak kunjung usai. Tampaknya menjadi warisan yang turun-temurun. Menjadi penghambat kemajuan dan "pekerjaan rumah" yang terus-menerus. Tiada henti.
Masalah di desa
Melihat karakteristik kemiskinan di indonesia khususnya desa (bambang Widianto:2012), dapat di gambarkan sebagai berikut: pertama, sebagian besar penduduk rentan dengan kemiskinan. Banyak penduduk berpenghasilan di sekitar garis kemiskinan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) secara nasional, mistar ukur garis kemiskinan sebesar Rp 361.496,- per bulan. Kedua, kemiskinan merupakan masalah yang multidimensi yang masih terbatas seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, pekerjaan, transportasi.
Ketiga, adanya ketimpangan yang besar antar wilayah, baik provinsi maupun antar pedesaan-perkotaan. Misalnya, ketiadaan listrik, masyarakat desa masih menggunakan
alat-alat tradisional dalam penerangan maupun rumah tangga, akses komunikasi dan informasi lambat diterima bahkan tidak ada (belum merata), terbalik dengan kota. Keempat, pengeluaran terbesar adalah untuk belanja makanan (kebutuhan pokok). Harga bahan pokok terjadi gejolak, menjadi kunci terjadinya kemiskinan. Kelima, mayoritas masyarakat bekerja di sektor pertanian sebagai petani dan buruh. Ketidakadaan keahlian untuk melakukan profesi lain. Kecenderungan masih bersikap pasif untuk melakukan sesuatu.
Pentingnya modal sosial dalam pembangunan desa
Dahulu, di masa perjuangan nasional indonesia yang dilakukan Diponegoro, Teuku Umar, Imam Bonjol dan pejuang lainnya, ternyata berbasis dan ditopang oleh desa (B.N. Marbun : 2000). Inilah yang menyebabkan dapat memperjuangkan bangsa dapat berlangsung bertahun-tahun dari penjajahan. Begitu besar pengaruh desa sebagai tulang punggung perjuangan kemerdekaan silam.
Sekarang, pasca reformasi eksistensi desa direduksi menjadi bagian dari wilayah atau daerah kabupaten/kota yang pengaturannya yang awalnya dari UU No 22/1999 tentang pemerintah daerah. Eksistensinya "redup". Namun sekarang, dengan lahirnya UU Desa , memberikan cahaya untuk membuka kembali eksistensi desa. Penopang kesejahteraan, selayaknya ketika zaman perjuangan kemerdekaan silam.