Asumsi saya, wacana anti-Ahok ini tentu tidak sepenuhnya dipahami secara sama antara elit organisasi dengan basisnya, mengingat identitas “double minority” Ahok yang sangat mudah digulirkan ke isu SARA. Nah ini jadi momen yang pas bagi Anies menyuntikkan anastesi surgawi melalui basis massa religius yang mungkin juga beririsan dengan basis massa buruh dan miskin kota. Tidak peduli tawaran program nir-logis Anies yang jelas jauh kualitasnya dibawah tawaran program Ahok secara keseluruhan. Pokoknya masuk surga dan pribumi tidak ditindas cina.
Kemudian dari langit, Karl Marx bersabda, “agama adalah candu masyarakat”.
Sepeninggal Ahok, saya penasaran bagaimana lagi strategi perlawanan yang lebih manjur daripada anastesi janji surga yang segera akan jadi candu di masyarakat.
- Kegagapan jargonistik
Artikel-artikel jargonistik yang menyebut rezim Ahok ditopang oleh kapitalis developer juga sering membuat saya bingung. Karena setahu saya, pembangunan infrastruktur yang bukan untuk keperluan publik (seperti mall dan apartemen) justru jauh berkurang di era Ahok. Walaupun memang, menggusur mall dan apartemen yang sudah kadung dibangun diatas tanah serapan air sejak dulu, tidak semudah menggusur perkampungan pinggir Ciliwung. Tapi semua jargon dalam artikel maupun seruan dan pernyataan sikap yang saya baca, selalu menjurus pada sentimen penolakan terhadap Ahok. Singkatnya, anti-Ahok.
Saya seringkali tidak mengerti, saat APBD era Ahok justru lebih banyak digunakan untuk bantuan sosial, subsidi pendidikan, transportasi massa, setahu saya persis seperti poin-poin yang seringkali jadi tuntutan teman-teman progresif. Tapi wacana yang dibangun tetap “anti-Ahok”. Indeks Gini DKI Jakarta juga menurun di era Ahok, dari 0.43 jadi 0.41. Tetap lebih tinggi dari ketimpangan nasional, tapi menurun, dan sayangnya tetap “anti-Ahok”. Volume dan durasi banjir berkurang, kepuasan warga DKI terhadap kinerja Pemprov mencapai 76%, tapi wacananya tetap “anti-Ahok”.
Mohon maaf, kali ini kritik saya cukup serius. Karena wacana “anti-Ahok” yang ditopang dengan jargon “kapitalis developer”, “antek pengembang”, “anti-kemiskinan” itu seakan-akan menegasikan lawan politik Ahok dari tudingan serupa. Menurut saya pribadi, sebagai orang yang sering mengamati rapat-rapat Ahok di YouTube Pemprov, justru merasa tuduhan itu cuma jargon emosional terhadap sosok Ahok. Entahlah, mungkin karena dia Cina, dan pengembang kapitalis developer juga banyak yang Cina jadi pasti akan lebih pro ke Ahok daripada ke Anies yang Arab. Ini asumsi emosional saya saja sih. Tapi kalau memang ada asumsi demikian terbersit sedikit saja, terus terang saya semakin prihatin terhadap wacana gerakan progresif.
Tidak perlulah saya jabarkan soal hubungan mesra Anies dengan Harry Tanoe dan Perindo sejak ia masih menjabat Menteri, apalagi bicara soal saham Sandiaga di PT. Aetra yang jadi salah satu penyebab mahalnya tarif air di Jakarta yang sedang berusaha diperangi Ahok. Sayangnya, rezim Anies-Sandi sepertinya akan lebih sulit disentuh karena mereka muslim dan bukan cina. Apalagi mereka punya FPI dan ormas-ormas ber-otot lain yang siap mengawal karena memang sudah dijanjikan dapat jatah dari APBD.
Akhirul kalam, saya berpendapat bahwa memaksakan diri untuk anti-Ahok tanpa ingin terjebak menjadi pro-Anies memang jadi simalakama bagi gerakan progresif Jakarta khususnya. Toh pilihan atau seruan Golput juga tidak pernah jadi gerakan signifikan karena hampir sebagian besar orang merasa punya pilihan sesuai preferensinya; agama atau rekam jejak. Menertawakan mereka yang “choosing the lesser evil” jadi naif buat saya, bukan lagi sebagai sikap politis kritis yang sadar situasi.
Sekarang Anies menang, berarti juga kemenangan bagi FPI dan ormas-ormas represif lainnya (plislah ga usah nyeletuk, “kayak yang Ahok nggak represif ajah!”). Berarti juga kemenangan bagi disintegerasi horizontal, dimana cina-kafir tidak punya kesempatan, komunis-liberalis apalagi. Saya tetap berharap, semoga wacana partai poitik alternatif segera terwujud dan bisa menyuguhkan sesuatu yang konkret sebagai angin segar. Saya hanya penasaran bagaimana kedepannya gerakan progresif menyikapi dan mewujudkannya dalam ruang gerak yang semakin sempit akibat kegagapan yang salah sasaran.
Salam Super..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H