Mohon tunggu...
Rancha Belnevan
Rancha Belnevan Mohon Tunggu... -

bagaikan air yang dapat bergolak layaknya ombak di pantai selatan, dan dapat tenang seperti genangan di dulang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Getolnya Felix Siauw Membenci Feminisme Atas Nama Islam

9 Januari 2016   17:06 Diperbarui: 9 Januari 2016   21:31 16077
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika saya membuka twitter siang ini, teman sekamar saya dibuat kaget oleh jeritan saya yang terbahak kesal. Ya, terbahak, tapi kesal. Pasalnya adalah rangkaian kultwit dari "ustad" selebtwit @felixsiauw. Seperti biasa, Siauw sedang merasa "berdakwah" melalui kultwitnya tentang betapa penting seorang perempuan menjadi full time mother. Entah demi apa, Siauw merasa harus mendiskreditkan Feminisme dalam "dakwah"nya. Parahnya, gambaran Siauw soal feminisme bisa dibilang 'sesat' pikir (jika term sesat bukan hanya milik fundamentalis dalam memaki orang yang beda aliran).

Saya perempuan, Islam, dan terganggu dengan “dakwah” a la Siauw.

Sebenarnya saya sudah malas membuang energi untuk memikirkan isi kultwit "ustad" @felixsiauw ini. Tapi rasanya sudah terlalu banyak logical fallacy yang disampaikan oleh baginda Felix Siauw (atas nama dakwah) dan diamini oleh ribuan pengikutnya. Bahkan lebih kejam, yang Siauw lakukan menurut saya adalah fitnah terhadap feminisme. Ya, fitnah. Tak ada kata yang lebih halus dan pantas buat menggambarkan "gagasan" yang disebarkan Siauw melalui sosial medianya.

Siauw memang dikenal lihai dalam memainkan kata-kata berima agar mudah diingat orang. Saya mungkin tidak selihai Siauw dalam merangkai kata, tapi saya berusaha menyederhanakan pembahasan ini agar mudah dimengerti. Semoga dapat diterima melalui pikiran yang terbuka.

Kekeliruan Berpikir Siauw

Dalam rangkaian kultwitnya, Siauw seringkali berbusa-busa mendiskreditkan feminisme, suatu cabang ilmu yang saya berani bertaruh ia sendiri tidak memahami apapun tentang itu. Membedah setiap twit Siauw satu persatu mungkin bisa membantu dalam menakar dangkalnya logika Siauw, namun itu hanya akan membuat panjang postingan ini.

Maka pertama-tama saya (dengan segala keterbatasan ilmu dan pengetahuan saya) mencoba meluruskan secara garis besar beberapa fatale logical fallacy Siauw dalam beberapa poin dengan uraian panjang (jika ada yang mau menambahkan silakan lho ya, agar diskusinya semakin dialektis) :

1. Islam Tidak Sejalan Dengan Feminisme

Dalam rangkaian kultwitnya Siauw seringkali membenturkan-benturkan (dengan cara yang sangat ceroboh) antara islam dan feminisme. Seakan feminis = anti islam, dan kalau kamu islam maka jauhi feminisme. Jelas Siauw tidak akan pernah sudi mendorong "jamaah"nya di twitland untuk mencari tau lebih jauh apa itu feminisme selain merujuk pada kicauan 180 karakternya.

Pertanyaannya : benarkah ide feminisme bertentangan dengan islam?

Ya, meskipun islam dan feminisme bukan merupakan suatu cocoklogi yang perlu disama-samakan, tapi setidaknya ini penting untuk menjelaskan kesalahan berpikir yang sangat mendasar hingga berujung fitnah. Setidaknya, mudah-mudahan ini bisa jadi bermanfaat bagi perempuan muslim yang selama ini mungkin masih merasa takut dosa kalau mempertanyakan logika Felix Siauw yang sering mengatasnamakan agama islam tersebut.

Taukah Siauw sejarah feminisme gelombang pertama yang menuntut hak-hak politik bagi perempuan? (Ayolah, kalaupun tidak tau anda kan bisa googling!) Dosakah jika Marry Wollstonecraft dkk kala itu yang menuntut agar perempuan punya hak ekonomi, kepemilikan properti, dan hak suara dalam pemilu?

Tahukah Siauw mengenai riwayat gerakan feminisme gelombang kedua yang mati-matian menyuarakan hak seksualitas perempuan, hak reproduksi, interseksionalisme, dan equality justice bagi perempuan lintas kelas sosial?

Di zaman sebelum Islam Rasulullah, khususnya dalam konteks masyarakat Arab, perempuan tidak punya hak waris. Bahkan tidak punya hak atas kepemilikan harta. Kemudian Islam memberi perempuan hak waris setengah dari hak laki-laki namun harta waris tersebut didaulat khusus buat si perempuan. Karena pada masa itu masing-masing suku khawatir terjadi peralihan dan penguasaan harta pada suku lain jika anak perempuan mereka dinikahkan dengan laki-laki dari suku lain.

Islam jadi pioneer pada masanya (dan pada konteksnya) berkenaan dengan hak kepemilikan (property) buat perempuan. Islam dan nabi Muhammad SAW juga mempersilakan perempuan bermajlis dan berpendapat. Bukankah itu sejalan dengan gagasan besar feminisme gelombang pertama?

Jika pada masanya perempuan/istri dianggap sebagai properti milik laki-laki  yang bahkan bisa dibarter dengan barang atau perempuan lain, lalu islam datang dan meninggikan posisi perempuan dalam keluarga dan dalam masyarakat. Kemudian Islam mengatakan bahwa istri dan perempuan adalah “amanah” dan melarang laki-laki memperkosa perempuan. Bukankah itu kalimat yang paling pas digunakan dalam konteks masyarakat Arab kala itu (yang begitu patriarkis bahkan menganggap perempuan adalah setengah manusia) dengan mengatakan pada laki-lakinya untuk memperlakukan perempuan secara adil, karena sesungguhnya perempuan adalah saudara kandung laki-laki. Bukankah itu sejalan dengan logika feminisme gelombang kedua?

Yeah, I’m looking at you Mr. Siauw, and all Siauw fanbase.
Lanjut pada kekeliruan berpikir Siauw yang kedua.

2. Feminisme Merupakan Gerakan Untuk Menyuruh Perempuan Bekerja

Ketidak-tahu-apa-apaan Siauw tentang Feminisme juga terlihat dari caranya dalam mereduksi feminisme seolah hanya seputar perjuangan perempuan bekerja atau tidak. Duh, inilah akibat jika tidak iqra’. Mari kita bicara melalui logika bodoh-bodohan Siauw dari cuitan @felixsiauw (09/01) :

29. Dalam Islam hukum wanita bekerja itu mubah (boleh)| sedankan menjadi “ibu dan pengelola rumah tangga” itu kewajiban
30. Kita tentunya bersyukur ada wanita yang berprofesi sebagai dokter, perawat, guru, dll | memudahkan Muslimah dalam berinteraksi
31. Tentunya selama Muslimah ini tetap mengutamakan yang wajib | yaitu sebagai ibu dan pengatur rumah tangga yang tak bisa digantikan
32. Jadi sah-sah saha wanita memilih bekerja | namun beres juga kewajibannya | tentu bila dia lebih memilih yang wajib, itu yang utama
36. Sekali lagi, maka karir dan profesi terbaik wanita | adalah menjadi ibu sepenuhnya dan pengelola rumah tangga

Jadi setelah mensyukuri ada profesi-profesi tertentu yang diisi oleh perempuan (yang mungkin memang memudahkan bagi perempuan-perempuan terdekatnya), Siauw disaat bersamaan justru kembali menihilkan peran karir/profesi perempuan tersebut dengan mengatakan bahwa karir terbaik adalah menjadi ibu sepenuhnya. Lebih gawat, Siauw juga membelesakkan apa yang disebut feminis gelombang kedua sebagai “beban ganda” melalui kultwitnya yang ke-31 dan 32.

Padahal, jika Siauw mau sedikit membaca mungkin dia akan sedikit paham bahwa feminisme justru adalah tentang pembebasan perempuan dalam memilih sesuatu untuk hidupnya. Kemudian YANG TERPENTING ADALAH, agar dalam apapun pilihan perempuan tersebut, ia tetap bisa menjadi seperti apa yang ia inginkan. Bebas dari penindasan dan diskriminasi. Jadi jelas feminisme bukan gerakan yang menyuruh perempuan bekerja. Itu hanya akal-akalan Siauw saja. Lantas jika kita memakai logika Siauw, apakah segenap persoalan yang berkaitan dengan perempuan dan karir/profesi dapat selesai? Saya yakin tidak. Karena standar idealnya sudah ditentukan oleh Siauw sendiri, yaitu; karir dan profesi terbaik wanita adalah menjadi ibu sepenuhnya dan pengelola rumah tangga.

Tidakkah Siauw bisa berpikir lebih kreatif dalam membagi peran suami-istri, sehingga keduanya (baik suami maupun istri) bisa sama-sama menjalankan fungsi/peran sosial dan domestiknya sebagai manusia yang paripurna? Mungkin hal ini yang tidak masuk dalam logika Siauw.

3. Pembagian Peran Gender Harus Bersifat Rigid

Apakah benar dalam sebuah rumah tangga perempuan harus melulu mengurus rumah dan laki-laki harus melulu mencari nafkah?

Ya, sudah tahun 2016. Sudah tahun 1437 Hijriyah (kalau mau terlihat lebih syar’i) dan masih saja "dakwah" yang dikemukakan adalah seputar perempuan harus dirumah dan laki-laki mencari nafkah, saat Marie Curie sudah menang nobel kimia sejak tahun 1911, alias tahun 1332 Hijriyah. Saya jamin Marie Curie nggak akan bisa berkontribusi sebesar itu buat peradaban umat ini kalau suaminya seperti Siauw.

Dalam “dakwah”nya Siauw, pembagian peran gender diklasifikasi secara sangat kaku. Padahal yang begini ini bukankah justru mempersempit potensi manusia, bukan hanya perempuan, tapi juga laki-laki. Perempuan dipisahkan dari konteks sosialnya untuk mengurus rumah dan anak. Sedangkan laki-laki dipisahkan dari konteks rumah tangga, meskipun ia diposisikan sebagai ‘pemimpin’. Padahal jika Siauw mengakui perempuan bisa bekerja diluar sambil mengurus pekerjaan domestik, bukankah seharusnya laki-lakipun bisa? Sehingga tidak perlu ada beban ganda bagi perempuan pekerja.

Simpelnya, mengapa Siauw tidak pernah memberi alternatif bagi perempuan yang ingin bekerja untuk berbagi pekerjaan rumah tangganya dengan suami. Bukankah esensi dari rumah tangga adalah mendiskusikan permasalahan sesuai konteks, dan mencari jalan keluar yang adil bersama? Selama komunikasi berjalan lancar, ibu dan ayah memilih untuk bekerja, pembagian peran rumah tangga berjalan adil, dan anak tetap tumbuh dengan baik, kenapa Siauw harus repot mengkonstruksikan full time mother sebagai peran ideal seorang Muslimah? Kan tidak semua persoalan rumah tangga harus dinegosiasikan dengan pertengkaran, seperti yang selama ini Siauw stigmatisasikan soal rumah tangga perempuan pekerja.

4. Feminisme Merupakan Akar Dari Semua Permasalahan Sosial

Ya, Siauw seringkali menganggap feminisme sebagai biang keretakan rumah tangga, dan oleh sebab itu menjadi biang dari permasalahan sosial lain seperti kenakalan anak dan penyimpangan lainnya. Ya saya berkhusnuzon pikiran ini muncul lantaran Siauw memang tidak tau apa-apa soal feminisme bahkan mungkin tidak tau apa-apa soal problem sosial yang sangat kompleks dan kontekstual.

Siauw juga sepertinya girang sekali saat membeberkan data angka perceraian yang tinggi di A.S, dan lantas mengaitkannya dengan feminisme. Saya sih iba saja dengan ketidakmampuan Siauw dalam membaca konteks sosial. Saya yakin Siauw mengabaikan sama sekali konteks sosial-budaya dan ekonomi-politik yang melatari tingginya angka perceraian.

Ayolah, krisis ekonomi serta ketimpangan pendapatan dan kesulitan lapangan kerja di A.S yang menjadi penyebab utama tingginya angka perceraian itu kan bukan salah feminisme. Saya curiga, Siauw mungkin cuma baca judul grafik dan lalu mensharenya di twitter tanpa mau cari tau dulu konteksnya.

Ya, Siauw mungkin memang sekedar suka saja menyalahkan feminisme sebagai biang keladi, persis seperti anggota dewan yang menyalahkan PKI untuk bencana gunung meletus. Kemudian dengan seenaknya bilang “ini akibat feminisme yang mengaburkan peran ayah dan ibu dalam rumah tangga”. Bagaimana perut saya tidak terkocok geli.

Ada Apa Dengan Siauw

Jika selama ini Siauw suka sekali mengatasnamakan "ajaran islam", harusnya Siauw sadar bahwa apa yang dilakukan nabi Muhammad dan islam jauh sebelum adanya feminisme, adalah membuka peluang bagi hak-hak perempuan. Lantas kenapa sekarang Siauw (dan kebanyakan “pengemban dakwah” lainnya) justru menggunakan segenap ayat-ayat untuk membatasi ruang gerak perempuan?

Penyebabnya tentu bisa banyak hal, bisa melalui pengalaman pribadi yang Siauw jalani, mungkin juga ditambah keengganan mempelajari sesuatu yang bersumber dari apapun yang "bukan islam". Namun secara garis besar, saya menyimpulkan mental patriarkis-lah yang membentuk karakter Siauw, termasuk karakter twitnya. Dalam hal ini, Siauw memang tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Tapi Siauw menjadi salah ketika dia menolak untuk peduli dan menularkan pemikiran salahnya tersebut pada orang banyak.

Siauw yang laki-laki, misoginis, jelas menikmati perannya sebagai “pemimpin” atau sebagai peran gender yang “lebih diutamakan” dalam lingkungan sosial yang patriarkis. Untuk memberi makan ego tersebut, biasanya setiap orang punya cara yang berbeda. Kebetulan (dan sialnya), Siauw memilih jalan “dakwah” dan menjual potongan ayat dengan tafsiran literal (yang penting cukup buat mewakili kepentingannya) demi melanggengkan status quo sebagai peran gender yang powerful.

Umpan Siauw dimakan oleh “jamaah”nya melalui ratusan retweet. Melalui proses tersebut gagasan Siauw menyebar, dan bagi beberapa orang dimaknai sebagai sebuah fakta. Disaat bersamaan, orang dibatasi imajinasinya tentang peran agama dalam kehidupan sosial. Sehingga banyak yang lupa untuk berpikir bahwa islam (setelah ribuan tahun sejak ditinggal Nabi Muhammad SAW) seharusnya sudah jauh lebih dinamis. Begitu pula dalam konteks peran gender. Jika dulu islam (dalam konteks masyarakat Arab) bisa begitu progresif, mengapa sekarang tidak?

Jadi tidak heran kan jika di khutbah-khutbah Jum’at banyak Khatib yang berbusa bicara soal masa-masa mangkrak suram ummat Islam. Tapi tidak pernah bisa menjelaskan lebih dari, “Kita sedang diserang gagasan liberal, komunis!” atau “Bangsa kita sedang krisis moral karena kurang menerapkan ajaran islam!” atau semacamnya. Huft, ayolah. Saya sih lebih suka menanamkan islam saya didalam hati, biar yang terpancar keluar adalah cerminan saya sebagai manusia yang rahmatan lil alamin. Begitu juga dengan teman-teman dengan kepercayaan lain, yang saya yakin kepercayaannya punya banyak kebijaksanaan untuk dibagikan.

Sementara Siauw, dalam tiap rangkaian kultwitnya (entah mengapa) memang suka sekali mengarahkan pada perempuan. Saya tebak mungkin karena Siauw menganggap perempuan merupakan tulang punggung moral bagi sebuah bangsa, kaum, atau ummat. Maka nelangsa sekali menjadi perempuan. Sudahlah tidak boleh “go public”, ia juga harus jadi barometer moral yang sejatinya merupakan dialektika dari interaksi manusia sebagai makhluk sosial. Bukan cuma perempuan. Yaa jadi tidak heran lah ya, mengapa Siauw hobi sekali mengkonstruksi makna “perempuan ideal” dalam setiap “dakwah”nya.

Jadi ya Bung Felix Siauw, feminisme menjadi sangat penting karena di dunia ini masih banyak orang-orang seperti anda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun