Mohon tunggu...
Rana Setiana
Rana Setiana Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar

Ngobrol diskusi santai

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gelap

3 November 2024   09:29 Diperbarui: 4 November 2024   12:57 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gelap. Kala gelap malam yang dingin, bermandikan cahaya rembulan tersepuh keperakan. Bersama derap kencang irama disko. Tersayup terdengar keluar. Berhias kelap-kelip lampu night club, bergoyang warna-warni menghangatkan kesunyian malam.

Di pojok diskotik terlihat bartender sedang meracik minuman. meramu dengan gaya akrobatik yang hebat, indah dan terlatih. Aku bersama ketiga sahabatku manghabiskan malam, bertemankan anggur, LSD (obat gila) dan pelacur. Penari penghibur yang penuh gombal dan rayu. Mereka mengajak turun bergabung.Berjingkrak ke tengah berdance ria didalam tembok khayalan. Mencari mimpi indah, terbang dalam halusinasi gila dan terbuai melayang bersama lagu dan alunan musik. Menina bobo hingga sang mentari membelai pagi.

Pagi telah datang. Malam pun berganti siang. Dikala sang surya membelai sayang, beriring angin berjingkrak riang. Berputar senang berbisik salam, Pada rembulan di langit malam. Bertabur bintang gemintang berkerlip terang, dan hilang bersama musik kencang, tertelan sunyi kukuruyuk pagi.

Dalam sepi kudengar suara menyapa keras. Terdengar dekat sekali, memecah sunyi pagi. “mas, mas! bangun mas!”, tak jelas dan tak pasti. Apa yang kudengar tepat di sampingku. “Mas, mas! Bangun!”, “mas! Tolong bangun, sebentar lagi kami harus buka”. Deretan kata-kata yang masih tak dapat aku terjemahkan.

Lalod (lama loading), otakku kosong. Kata-kata yang terucap, seakan-akan beterbangan, bergoyang dalam kegelapan. “mas, mas! Bangun, kalau pagi kami yang buka”. Badanku diguncang-guncangnya supaya aku terbangun. Tapi sayang mataku lelah tak dapat kubuka. Badanku lunglai tertelungkup dan aku tak tahu apa yang aku peluk.

“Jak, Rojak bangun!” “kamu kenapa Jak?” sayup-sayup terdengar suara memanggil diantara sekian banyak suara, mereka mengenalku. Mungkin!? mereka teman-temanku.

“Man, Herman” “Rud, Rudi” “To, Yanto! Tolong Bantu aku!” bangunkan aku dari kegelapan ini”. Sial!! sungguh sial. Kenapa denganku? Lidahku kelu. Tak ada satu patah katapun terlontar dari bibirku.

“Permisi, apakah kalian ini temannya?” “bisakah kailian membawanya dari restoran kami? Saya manager bandung cuisine”. Terdengar kata-kata tak henti-hentinya berderet panjang. Sungguhsayang aku tak tahu apa yang dakatakannya. “tenang saja pak, teman kami sedang memanggil ambulance” “karena saya rasa dengan tubuhnya yang membiru. Mungkin saja Rojak ODe (Over Dosis).

Deretan kata tak henti-hentinya berderet mengiang di kepala. Dunia apa ini?? Gelap memekat di hadapanku. Kosong melongpong, semua sama hitam. Hanya bunyi keras yang terus mengaung di telinga. Ribuan kata beterbanagn, berputar-putardidalam kepalaku. Muncul kemudian hilang entah kemana. Kini suasana menjadi dingin, sepi dan sunyi. Terdengar hanya desah nafas dan detak jantung yang terus berdebar resah.

Oh sungguh gelap tak bercahaya. Hitam kelam tak berwarna. Mataku yang belo besar pun kini tak berguna. Ku coba meraba kiri dan kanan, namun tetap saja percuma. Keterasingan, sepi, sendiri dan kicauan bunyi yang terus berkicau tiada henti silih berganti, kemudian bersembunyi. Hilang dan muncul kembali.

Aku putuskan untuk diam. Tidak melakukan sesuatu. Akhirnya tak seberapa lama kududuk termenung menunggu. Tiba-tiba dari kejauhan terlihat putih. Sebuah titik berdiameter kira-kira satu inci. Bulatan kecil itu lama kelamaan berangsur mendekat, menghampiriku. Berawal dari bulatan kecil. Sedikit demi sedikit bulatan itu membesar, hingga besar. Sebesar lubang sumur galian di kampungku yang menempel di tirai hitam yang gelap.

Aku bangkit bangun menghampiri dan meloncat masuk ke dalam lubang. Ternyata bulatan itu merupakan pintu cahaya penghubung untuk memasuki tempat yang penuh kilauan cahaya. Kulanjutkan melangkah masuk ke dalam cahaya yang sangat terang. Mataku tak sanggup melihat karena silau, walau lama kelamaan pupil mataku mulai terbiasa.

Semua tampak jelas. Wow dunia yang sungguh luar biasa! Membuatku takjub, akan keindahan yang memukau. Berkilauan berhias ribuan pohon berdoyang rindang. Berjejer berderet, seakan ingin menutup cahaya langit, bertabur indah warna-warni bunga indah mekar tersapu angin bertaburan.

Karena terpuaku akan indahnya dunia yang penuh warna. Aku tersentak kaget. Serentak segera kupalingkan wajahku seketika. Kuhadapkan kearah suara memanggil keras “Jak , Rojak!” mengaung ditelingaku. Kemudian hilang begitu saja. Kutengok ke belelakang ke arahsuara, namun tidak ada apa-apa. Kupalingkan kembali pandanganku kearah semula. Tapi!!! Apa yang terjadi ?!! dunia yang penuh cahaya, kini berubah hitam pekat, Gelap gulita. Aku tak mengerti. Cahya yang menyilaukan mata kini lenyap begitu saja.

Busyet ada apa ini? sesungguhnya dimana aku? Apakah ini mimpi? Atau justru aku sudah mati. Oh tidak!

Biarlah apa yang terjadi kujalani saja. Aku lanjutkan dan terus kutelusuri dunia kegelapan penuh hati-hati. selangkah demi selangkah kutapaki bersama gemuruh yang memekakkan telinga. Tak pernah berhenti, berderet beterbanagn melayang, kemudian hilang dan muncul lagi. Hilang, muncul dan muncul lagi.

Kakiku mulai terasa pegal. Karena terus berjalan. Langkah demi langkah kakiku mulai lelah. Dan tidak tahu berapa jauh aku melangkah. Akhirnya dari kejauhan tampak sebuah cahaya besar. Mendekat dan menyinari tubuhku berrsama alam sekitar, hingga mataku mampu menangkap semua yang ada di sekelilingku, walau semua tampak sama putih dan serba putih.

Putih, bersih. Ketenangan yang penuh kemegahan. Laksana alam suci yang tak ternoda. Walau aku tak tahu, putih tak ternoda atau alam menjemukan yang penuh kejenuhan, perlambang tiada keinginan. Memusnahkan warna-warni kehidupan. Kesenangan, kegembiraan menuai harapan. Atau justru warna-warni itu sebuah noda. Agh, terserahlah.

Tidak sengaja dari kejauhan, mataku menangkap diatas. Di sana aku melihat ada dua orang yang sedang berjalan mendaki di jalan tinggi menjulang. Tinggi kemiringannya kira-kira lima puluh sampai enam puluh derajat. Hatiku akhirnya mulai merasa lega. Aku tidak sendiri.

Aku dekati dan ku perhatikan. Mereka berjalan di jalan yang berbeda. Di sana ada dua jalan. Jalan pertama merupakan deretan anak tangga menjulang tinggi. Sedangkan jalan yang ke dua berupa jalan biasa yang menanjak jauh ke angkasa.

Orang yang berjalan ditangga adalah seorang wanita bergaun putih. Wanita berparas tidak asing dan sungguh akrab seali di mataku. Emh… siapa yah?? Setelah perhatikan lebih. oh iya!! Dia kan kekasihku. Emh.. bukan,bukan. Tepatnya mantan kekasih. Semenjak orang tuanya tau. Aku orang tak punya, harta maupun tahta. Hanya seorang anak pengayuh becak.

Begitu juga orang di jalan ke dua. Seorang pria tua yang mendorong becak. Itulah ayahku. Kuingat dia memaki dan mengusirku dari rumah. Tapi biarlah. Ayah tetap ayah. Apalagi dengan cucuran keringatnya aku besar dan dibesarkan. Tapi apa yang mereka lakukan di sini.

Setelah aku perhatkan, ternyata dua jalan ini saja. Jalan yang dapat dilalui, walau tidak tahu. Kemana jalan ini menuju. Yang jelas aku harus memilih segera, jalan mana yang aku ambil. Jalan ke satu atau jalan ke dua. Mengejar wanita yang kucinta, atau berjalan bersama dan membantu ayah. Supaya kami bias mengarungi dunia yang aneh ini.

Biarlah aku ambil jalan ke dua. Aku langkahkan kakiku. Kucoba berlari. Mendaki menuju ayah. Lari dan terus berlari. Kutambah kecepatan supaya lebih cepat terkejar. Tapi tunggu! mana ayah?? Dia hilang. Kucoba berteriak memanggilnya.”Pak, bapak” tapi teriakan ku sia-sia, percuma. Lenyap begitu saja bersama dirinya.

Tunggu-tunggu!!! apalagi ini!? ada yang aneh dengan jalannya! jalan yang aku daki menjadi rata. Ternyata ketika aku terus berlari dan mendaki menuju ayah. Tanpa terasa tinggi kemiringan jalan menjadi datar nol derajat.

Apa maksud semua ini?! Ah entahlah. Yang penting aku harus keluar dari alam ini. Kulihat sekitar. Tidak ada jalan lain. Hanya jalan yang pertama yang tetap ada dan menjulang. Akan kucoba jalan pertama. Aku berlari kencang mendekati anak tangga. Kulangkahkan kakiku menapaki deretan anak tangga. Kudaki dan aku telusuri tangga demi anak tangga kudaki. Aku tambah kecepatan hingga kuberlari mendaki tinggi. Gadis itu dari bawah aku lilhat. Dia tapaki kakinya terus dan pasti. Gerakan yang anggun dan indah ia telusuri. Sungguh luar biasa betapa cantiknya dia. Tubuh yang tinggi semampai, rambut hitam legam merumbai, bergerak kanan kiri. Itulah Risma. Dari dulu dia tidak berubah cerdas dan menarik.

Aku daki dan terus kudaki. Kutancap kecepatan mengejar Risma. Jalan yang aku daki, semakin tinggi sulit. Selain licin juga semakin jauh aku berlari. Risma pun semakin menjauh dan akhirnya hilang. Tinggi kemiringan terus naik bertambah. Semakin terus kudaki kemiringan terus tiada henti-hentinya bertambah. Aku tak pedulikan semua itu. Yang penting kudaki dan terus kudaki. Ketika tinggi kemiringan mencapai derajat sembilan puluh, Kakiku terpeleset dan AAAAA …AAAA tolong AAAAaku terjatuh.

AAAAA… Serentak tiba-tiba aku terbanygun dari tidur. Hah, hah, hah… nafasku terengah-engah. Jantung berdebar kencang. Sekujur tubuh basah oleh keringat. Tanganku mencengkeram erat seprai tempat tidur. Mataku melotot seakan mau keluar dari kelopak. Ternyata mimpi. Ya Allah, dimana aku?

Aku melihat jarum infuse menusuk tangan. Aku tengok kiri kanan yang serba putih dan bersih. Dimana aku? Inikan Rumahsakit! Memang kenapa aku? Tak lama aku bertanya-tanya ada apa yang terjadi? Tiba-tiba aku kudengar disamping kananku terdengar suara memanggil. “Jak, Rojak!” serentak aku palingkan wajahku dan ku lihat. Tapi, aku tidak melihat siapa-siapa. Kuhela nafas untuk menenangkan fikiranku, sambil memalinghkan wajh ke arah semula. Namun, apa yang terjadi semua yag serba putih, menjadi gelap memekat. Agh … mulai lagi. Tidak-tidak, tidak, TIDAAA …K.

Rana Setiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun