Sejak 1990 seniman-seniman Indonesia merasakan dampak globalisasi dan berbagai perubahannya itu. Ini pintu masuknya seniman-seniman Indonesia ke forum global. Namun di forum ini ada persaingan ketat. Dalam pengamatan saya posisi kita belum terlalu baik menghadapi persaingan ini.
T: Saya berpendapat, Abstrak-Ekspresionisme, misalnya, (Jackson Pollock) itu diposisikan sebagai panglima politik dalam medan perang kebudayaan oleh pemerintah Amerika Serikat di masa itu (1950-an). Pertanyaannya, apakah kita seharusnya berpikir seperti itu, menjadikan produk senirupa kita panglima dalam perang kebudayaan global? Kalau iya, apakah kita siap?
J: Ya cerita itu sudah beredar luas, dan menjadi aib Amerika Serikat sampai sekarang. Harus dicatat ini bukan politik resmi. Ini politik gelap yang terungkap karena masyarakat membongkar kebusukan dinas rahasia (CIA dan FBI). Sampai 60-an dinas rahasia ini berkuasa. Dengan merekayasa phobia komunisme dan phobia perang dingin mereka memasuki ranah politik, ranah soisial, dan ranah budaya. Kebetulan CIA, FBI berstatus sama dengan Endownment for The Arts yang lembaga federal juga.
Kita jelas-jelas harus menghindari politik seperti itu yang lebih buruk dari korupsi. Anda tahu kan paranoia di mana-mana selalu memunculkan gagasan-gagasan tolol yang celakanya bisa dilaksanakan dengan menyalah-gunakan kekuasaan. Yang kita perlukan politik resmi yang tidak pat-gulipat.
Perlu kita catat bukan cuma kapasitas seniman dan kemajuan karya-karya mereka yang harus kita andalkan. Perlu diperhitungkan kondisi di mana karya-karya ini muncul. Karya seni berkaitan dengan nilai-nilai dan bukan dengan kehebatan senimannya. Nilai-nilai ini seharusnya terungkap melalui art discourses yang melibatkan pembacaan dan akhirnya pengakuan masyarakat. Proses ini memerlukan infrastruktur budaya.
Infrastruktur itu menurut saya tidak tertalu abstrak. Prakasa harus diambil pemerintah. Pemerintah, seperti pemerintahan di mana pun (di negara maju) harus menyusun National Cultural Policy (disusun para ahli dan bukan pejabat pemerintah atau DPR) untuk menjalankan lembaga-lembaga kebudayaan negara (museum nasional, galeri nasional, perpustakaan nasional, pusat-pusat arkheologi dan sejarah, taman-taman budaya di berbagai daerah dan sebagainya).Jelas kan, bagaimana mau menjalankan lembaga-lembaga kebudayaan negara kalau tidak punya policy.
Melalui program lembaga-lembaga itu—dilaksanakan pamong budaya, jangan asal pegawai negeri—bisa tumbuh infraktruktur yang percaturannya akan melibatkan lembaga lembaga kesenian swasta (perkumpulan seni, galeri-galeri seni rupa), media massa dan masyarakat. Kondisi ini akan membantu seniman membuat karya yang “baik dan benar.” Dengan karya-karya ini berikut art discourses yang menopangnya kita bisa mencoba bermain di forum dunia.
Sampai sekarang pemerintah kita tidak pernah punya National Cultural Policy. Depdikbud di semua pemerintahan tidak berani menyusunnya karena ditakut-takuti seniman, budayawan, dan, orang-orang sok pinter yang khawatir National Cultural Policy akan menjadi politik seperti politik di negara komunis yang menyusun definisi kebudayaan, kesenian dan mengharuskan semua seniman dan masyarakat mengikutinya. Orang-orang ini tidak sadar bahwa National Cultural Policy ini bukan cuma hak, tapi kewajiban pemerintah.
Yang sampai sekarang terjadi Depdikbud pada pemerintahan mana pun menyerahkan tugas dan kewajibannya itu pada seniman dan budayawan melalui Kongres Kebudayaan yang diselenggarakan reguler. Hasilnya kan kita tahu. Rekomendasi kongres sebagai hasil diskusi amatiran karena terlalu banyak kepala, tidak pernah jelas bahkan tidak masuk akal.
T: Sejauh ini, bagaimana perkembangan seni rupa kita? Adakah sesuatu yang muncul sebagai representasi, ini lho karya seni Indonesia ?
J: Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini akan panjang banget untuk sesi wawacancara seperti ini dan akan menjadi terlalu teknis. Pada dasarnya saya optimistis representasi yang Anda bayangkan bisa ditegaskan suatu kali. Optimisme ini ditunjang kenyataan, tidak semua seniman berorientasi ke pasar. | sumber: www.koranopini.com