Pada 12 Oktober 1492, sebuah kapal besar merapat di daratan yang begitu luas, setelah perjalanan panjang melintasi lautan yang begitu kejam. Si pemimpin kapal beserta anak buahnya turun di tempat tersebut, dan benua yang terhampar luas itu kelak kemudian hari dikenal sebagai Benua Amerika.
Christopher Columbus, sang pengarung lautan itu pun menuliskan perjalanannya, mengabarkan kepada seluruh dunia, bahwa dialah penemu benua Amerika. Columbus menjadi sangat terkenal dan diagung-agungkan oleh Raja dan seluruh rakyat. Columbus pun diangkat menjadi bangsawan kehormatan kerajaan. Padahal misi asal Columbus bukannya untuk mencari tanah baru bagi Sepanyol dan Queen Isabella, tetapi ia pergi kesana untuk mencari jalan alternatif ke India.
Kekuatan Tulisan
Ratusan tahun kemudian, setelah ilmu pengetahuan berkembang sesuai zamannya, ternyata sebelum Columbus beserta pengikutnya terdampar di Benua Amerika, tempat tersebut telah disinggahi bahkan ditinggali oleh penjelajah dunia yang lain. Sebab, 603 tahun sebelum penjelajah Spanyol itu menemukan benua tersebut, para penjelajah Muslim dari Afrika Barat telah membangun peradaban di Amerika. Klaim sejarah Barat yang menyatakan Columbus sebagai penemu benua Amerika akhirnya terpatahkan. Sederet sejarawan menemukan fakta bahwa para penjelajah Muslim telah menginjakkan kaki dan menyebarkan Islam di benua itu lebih dari setengah milenium sebelum Columbus. Namun dunia kadung mengabarkan, bahwa Benua Amerika telah ditemukan oleh Columbus.
Itulah sebuah kekuatan tulisan, bagaimana dari catatan yang dikabarkan oleh Columbus, akhirnya menyebar ke berbagai penjuru dunia, secara politis ia diuntungkan bahwa namanya telah dicatat dalam peradaban dunia, “sang penemu dunia baru.”
Kekuatan tulisan dalam mempengaruhi pikiran dan juga pengetahuan ini pun pernah dilakukan oleh penguasa Mongolia – Jengis Khan, yang pada masa kekuasaannya, hampir separuh dunia berhasil ia kuasai.
Meskipun buta huruf, Jengis Khan paham betul akan kekuatan tulisan. Maka ia pun mengumpulkan para cendikiawan yang dimintanya untuk menuliskan semua gagasannya dalam dalam bentuk tulisan, agar warisan kekuasaanya tercatat untuk generasi mendatang.
Catatan yang dikumpulkan Jengis Khan itu, yang telah dicatat oleh para cendekiawan dari gagasan dan peraturan yang dibuat olehnya, menjadi cikal bakan hukum dan perundang-undangan selama klan Khan berkuasa.
Itulah kekuatan dari sebuah tulisan. Bahkan Napoleon Bonaparte (15 Agustus 1769 – 5 Mei 1821), sang penguasa Prancis ini pernah berkata; “Seribu mariam tidak akan membuat aku mundur dari peperangan, tetapi satu ujung pena membuatku berpikir seribu kali untuk melawan.”
Semakin jelas, bagaimana sebuah tulisan dapat menggenggam dunia. Melalui catatan-catatan yang dibuat, sehingga kejayaan masa silam, atau bahkan peradaban yang pernah ada, bisa di-“jungkilbalikkan” oleh tulisan. Seperti halnya Columbus, yang dengan bangga memproklamirkan dirinya penemu Benua Amerika, masalah selanjutnya dikemudian hari ternyata adalah salah besar – itu lain hal. Yang terpenting semua dunia selama ratusan tahun sudah dicuci otaknya – bahwa Columbuslah sang penemu Benua Amerika.
Pernyataan Napoleon juga sebuah isyarat, bahwa pena (tulisan) lebih dasyat daripada dentuman meriam.
Bangsa Nusantara (Indonesia) ini, sudah begitu jaya sejak masa silam. Sebelum zamannya penaklukan, Nusantara telah memiliki peradaban yang jauh lebih gemilang dari bangsa-bangsa yang sekarang muncul ke permukaan. Masalahnya adalah, bangsa Nusantara jarang merealisasikan pemikiran dan pengetahuannya secara tertulis. Sehingga pemikiran dan pengetahuannya lambat laun hilang ditelan zaman.
Nampaknya, pernyataan Syaidina Ali bisa kita jadikan bahan renungan: “Ikatlah ilmu itu dengan tulisan, agar ia tidak menguap ditelan zaman.” *** (Putra Gara)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H