Mohon tunggu...
Rana Baskara H.
Rana Baskara H. Mohon Tunggu... -

Seorang yang memilih sarana ibadah sebagai pendidik di PTN, pemerhati, peneliti, praktisi, dan konsultan di bidang Pendidikan (HRD), Teknologi Telekomunikasi, Informasi, dan Penerbangan, sebagai ladang amal untuk menggapai ridhoNya.\r\nAsal USA (Urang Sunda Asli) dan sekarang tinggal di Bandung Utara nan sejuk, Kota Bandung, Jawa Barat.\r\nSelain menulis dibidang utama, juga senang menulis apa saja menyangkut hidup, kehidupan, dan penghidupan manusia yang sekiranya bermanfaat untuk dibagi dengan yang lain.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demo sebagai Fraksi dan Kekuatan Lain dalam “Bargaining Position” di DPR

31 Maret 2012   10:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:13 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13331918551133709833

Sumber: www.google.com

Demonstrasi atau lazim disebut demo, adalah bentuk pengungkapan ketidakpuasan dalam bentuk aksi nyata yang ditujukan kepada satu pihak tertentu. Tujuannya adalah untuk menyampaikan sebuah pendapat atau aspirasi atau ide atau gagasan mengenai suatu isu yang sedang berkembang saat itu agar dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan yang dapat berdampak kepada suatu pihak atau masyarakat luas pada umumnya.

Demo umumnya adalah jalan terakhir yang ditempuh setelah sebelumnya semua saluran untuk menyampaikan gagasan itu tersumbat dan tidak didengar yang disebabkan baik oleh sistem pembatasan secara legal formal (hukum), maupun sistem pembatasan sosial yang menyebabkan saluran itu tersumbat sehingga aspirasi atau ide atau gagasan dari orang atau sekelompok orang itu tidak dapat disampaikan.

Dalam pengertian lainnya, ini yang acapkali terjadi dan akhir-akhir ini sering digunakan oleh pihak-pihak tertentu, demo adalah sarana untuk memaksakan kehendak suatu pihak kepada pihak lain dengan cara mobilisasi sehinga tujuannya diharapkan dapat tercapai dengan baik. Pengertian mobilisasi di sini bisa dalam konteks massa (mobilisasi massa atau pengerahan dan penggalangan massa) dapat pula mobilisasi pendapat umum (public opinion mobilization) mengenai suatu isu sehingga massa berpendapat sesuai yang dikehendakinya.

Tujuan demo dalam konteks ini bisa dalam konteks dari hanya sekedar menyampaikan aspirasi kelompok tertentu hingga pada yang paling ekstrim dalam bentuk perlawanan terhadap tirani dari rezim yang berkuasa. Dilihat dari dimensinya, demo dalam konteks ini bisa dalam bentuk kecil hingga dalam bentuk besar, baik dalam lingkup daerah, wilayah, hingga dalam lingkup nasional, bahkan regional hingga internasional.

Pendapat di atas adalah pendapat pribadi penulis yang didasarkan dari pengamatan dan pemahaman terhadap aneka ragam demo di dunia nyata atau maya melalui proses refleksi. Jadi jelas bukan pendapat ahli dengan terlebih dahulu membaca referensi ilmiah yang mengupas tentang demo, karena memang selain waktunya cukup sempit dan penulis juga bukan ahlinya di bidang itu. Selain itu tujuannya bukan untuk tujuan ilmiah yang berat yang syarat akan berbagai kaidah dan logika, melainkan untuk tujuan berbagi (share) dengan kadar ilmiah populer untuk membahas suatu fenomena yang akhir-akhir ini mengemuka dan menjadi perhatian banyak pihak di negeri kita tercinta ini, yaitu “Demo Menolak Kenaikan BBM” yang berakhir dinihari tadi.

Mengapa harus Demo?

Seperti telah dikemukakan di awal tulisan, demo ada atau terjadi karena saluran untuk menyampaikan suatu ide atau gagasan yang tersumbat sehingga ide atau gagasan atau aspirasi dari pihak tertentu tidak dapat disampaikan atau disalurkan dengan baik melalui saluran yang ada dan semestinya.

Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa saluran yang ada tidak mampu menyalurkan ide atau gagasan atau aspirasi itu? Banyak faktor penentu (determinatif), antara lain karena masalah legal formal maupun masalah sosial dalam konteks sosial yang lebih merupakan hambatan kultur. Dalam konteks “Demo Anti Kenaikan BBM” terjadi karena saluran itu sebenarnya ada, bukan tidak ada, namun “tersumbat” atau mungkin juga sengaja di “disumbat” oleh berbagai pertimbangan tertentu, kebijakan politik misalnya.

Demo mungkin tidak akan terjadi andaikata aspirasi masyarakat yang “tidak setuju kenaikan BBM” itu tersalurkan dengan baik melalui “wakil-wakil rakyat” di DPR. Bukankah mereka yang di DPR itu wakil rakyat yang seharusnya akomodatif menyalurkan dan menyuarakan aspirasi rakyat?

Dan oleh karena rakyat merasa aspirasinya tidak disalurkan dan tidak disuarakan di DPR, maka jalan terakhir adalah membentuk kekuatan dalam bentuk pengerahan massa dan opini massa untuk mengimbangi kekuatan di DPR dengan cara demo besar-besaran sehingga memaksa agar aspirasi itu dapat didengar dan dijadikan pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan di DPR. Seperti kita ketahui bersama, hasilnya adalah aspirasi pendemo “sedikit” diakomodasi dalam keputusan DPR pukul 01.00 WIB, Sabtu 31 Maret 2012 dinihari tadi.

Fraksi Jalanan dan Kekuatan lain

Kita semua mengamati dan mengikuti proses yang terjadi akhir-akhir ini mengenai “Demo Anti Kenaikan BBM” hingga akhirnya aspirasi pendemo itu sedikit terakomodasi dalam Keputusan Sidang Paripurna DPR. Hal ini membuktikan bahwa demo dapat dikatakan sebagai salah satu fraksi tidak formal yang sebenarnya secara maya atau abstrak turut hadir di Sidang Paripurna DPR. Oleh karena itu pantaslah jika demo adalah merupakan “Fraksi Jalanan” yang kehadirannya diperhitungkan dalam proses pengambilan keputusan penting di negeri ini.

Mengapa diperhitungkan? Karena jika tidak turut diperhitungkan dalam arti aspirasi mereka tidak terakomodasi dalam proses pengambilan keputusan itu, maka sudah pasti akan terjadi ketidakstabilan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, yang pada gilirannya mimbulkan instabilitas dan disintegrasi bangsa. Justru dalam potensi yang dikandungnya itulah terletak kekuatan sehingga aspirasi demo mau tidak mau harus diperhitungkan, didengar, dan diakomodasi.

Jadi dengan demikian demo selain dapat disebut “Fraksi Jalanan” juga merupakan bentuk “Kekuatan Lain” yang tidak dapat diabaikan disamping kekuatan yang ada di negeri ini yang dalam “bargainning position” (posisi tawar) yang kuat sehingga mampu memperngaruhi proses pengambilan kepustusan penting dalam proses jalannya pemerintahan di negeri tercinta ini.

Eloknya Kewajiban Azasi Manusia (KAM)

Banyak hal yang harus dipahami mengenai penyebab munculnya demo dan harus menjadi PR (Pekerjaan Rumah) serta menjadi pemikiran dan solusi serius agar di masa depan proses pengambilan kebijakan publik dan proses pengambilan keputusan di negeri ini berjalan mulus dan tanpa ongkos demokrasi yang mahal.

Seperti telah diulas di muka bahwa demo terjadi akibat saluran demokrasi yang tersumbat. Hal lain yang selalu mengganggu penulis selama ini dan sekaligus menjadi hipotesis adalah sangat mungkin demo terjadi juga disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban dalam berbagai aspek kehidupan di negeri ini. Artinya karena ketiadaan yang menjadi hak suatu pihak sebagai akibat tidak dilaksanakannya kewajiban oleh pihak lain. Jadi hak itu ada dan dapat digunakan sebagaimana mestinya jika hanya kewajiban telah dilaksanakan, bukan sebaliknya.

Dalam konteks inilah demo terjadi karena apa yang menjadi hak pendemo, yaitu didengarnya aspirasi mereka, tidak dapat digunakan sebagai akibat tidak ditunaikannya kewajiban oleh wakil rakyat dalam melaksanakan kewajibannya, yaitu mendengar aspirasi mereka para pendemo. Akibatnya pemegang hak dalam upaya memperjuangkan hak-haknya itu harus melalui cara-cara lain yang sifatnya memaksa agar haknya untuk di dengar itu tercapai. Disinilah terjadi ketimpangan akan hak dan kewajiban. Oleh karena itu Kekwajiban Azasi Manusia harus lebih dikedepankan ketimbang Hak Azasi manusia. Karena hak itu timbul hanya jika kewajiban telah dilaksanan, bukan sebaliknya.

Apakah harus selalu demo? Tentu tidak diharapkan, hanya jika apa yang menjadi hak mereka dan menjadi berbarti kewajiban wakil rakyat diberikan. Jadi seharusnya kewajibanlah yang harus diutamakan, bukan haknya. Orang menuntut hak hanya jika kewajiban telah ditunaikan, bukan sebaliknya seperti selama ini dianut dengan apa yang disebut Hak Azasi Manusia yang telah menjadi “agama baru” di dunia internasional yang dihembuskan oleh suatu negara dengan sanksi yang dijatuhkan yang terkadang meluluh-lantakkan kedaulatan suatu bangsa dan negara.

Dalam konteks kehidupan demokrasi lainnya, di kampus misalnya, Rektor tidak akan di demo oleh Mahasiswa jika apa yang menjadi Hak Mahasiswa diberikan oleh Rektor yang menjadi kewajiban Sang Rektor. Di suatu perusahaan, Pimpinan tidak akan di demo oleh karyawannya jika hak dan sekaligus menjadi kewajiban pimpinan telah ditunaikan. Demikian juga dalam kehidupan rumah tangga dan kehidupan lainnya. Jadi kehidupan yang demokratis akan harmonis, aman, damai, tentram dan bahagia sentausa jika ada keseimbangan kewajiban dan haknya.

Semoga bermanfaat dan menjadi bahan refleksi dan kontemplasi bagi kita semua dalam melaksanakan setiap kewajiban yang melekat pada diri kita masing-masing, baik sebagai individu, pegawai, masyarakat, bangsa dan negara sehingga tidak dituntut pihak lain yang menjadi haknya.

Bandung Utara, 31 Maret 2012.

Salam.. :)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun