Mohon tunggu...
Rama Zikri
Rama Zikri Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Resume Peran Munasabah Sebagai Instrumen Penafsiran Al-Qur’an

9 November 2015   20:24 Diperbarui: 9 November 2015   20:30 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buku                : Diskurus Munasabah Al-Qur’an dalam Tafsir Al-Mishbah

Penulis             : Dr. Hasani Ahmad Said, M.A.

Penerbit          : AMZAH

Perihal             : Resume buku Diskurus Munasabah Al-Qur’an dalam Tafsir Al-Mishbah hal 1-80

Peresume        : Rama Zikriyadi, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah, Fakultas Ekonomi dan  Bisnis, Jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan A Semester 1, NIM: 11150840000005

 

A. Munasabah dalam Kajian Al-Qur’an

Kajian tentang munasabah berawal dari kenyataan bahwa sistematika urutan ayat-ayat atau surah-surah Al-Qur’an. Kendati demikian, setiap kali ayat turun, Nabi member i tahu tempat ayat-ayat itu dari segi sistematika urutannya dengan ayat-ayat atau surah-surah yang laiinya sambil memerintah sahabatnya untuk menulisnya. Dalam Al-Qur’an, ada beberapa indikasi yang mempunyai sinyal kuat yang menunjukan bahwa Al-Qur’an adalah satu kesatuan yang memiliki keserasian (munasabah). Misalnya

 

“maka tidakakah mereka menghayati (mendalami) Al-Qur’an? Sekiranya (Al-Qur’an) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya” QS.An-Nisa : 82

 

 

“Alif Lam Ra. (Inilah) Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi kemudian dijelaskan secara terperinci, (yang diturunkan) dari sisi (Allah) Yang MahaBijaksana, MahaTeliti” QS.Hud : 1

 

            Kajian terhadap Al-Qur’an dan hadis telah berjalan dalam sejarah yang cukup panjang. Al-Qur’an adalah wahyu Ilahi yang berisi nilai-nilai universal kemanusiaan. Ia diturunkan untuk dijadikan petunjuk, tidak hanya untuk sekelompok manusia, tetapi juga untuk seluruh manusia hingga akhir zaman. Meskipun demikian, Al-Qur’an bukanlah kitab ensiklopedi yang memuat segala hal. Al-Qur’an semestinya tidak ditonjolkan sebagai kitab antik yang harus dimitoskan karena hal tersebut bisa menciptakan jarak antara Al-Qur’an dengan realitas sosial.

            Ilmu munasabah (ilmu tentang keterkaitan antara satu surah/ayat dan surah/ayat lain) merupakan bagian dari ‘ulum Al-Qur’an. Ilmu ini posisinya cukup urgen dalam rangka menjadikan keseleruhan ayat Al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh. (hal-7)

            Secara garis besar munasabah dibagi menjadi dua aliran:

  1. Pihak yang menyatakan bahwa memastikan adanya pertalian erat antar surah dan surah juga antara ayat dan ayat sehingga perlu adanya munasabah. Menurut kelompok ini, munasabah adalah ilmu yang menjelaskan persyaratan baiknya kaitan pembicaraan apabila ada keterkaitan antara permulaan pembicaraan dan akhir pembicaraan yang tersusun menjadi satu kesatuan.
  2. Pihak yang menganggap bahwa tidak perlunya munasabah ayat karena peristiwanya saling berlainan. Paling tidak ada dua alasan mengapa golongan ini enggan atau menganggap tidak perlu adanya munasabah. Pertama, berargumen bahwa Al-Qur’an diturunkan dan diberi hikmah secara tauqifi karena hal ini atas petunjuk dan kehendak Allah. Kedua, satu kalimat akan memiliki munasabah apabila diucapkan dalam konteks yang sama.

Pro-kontra antara pentingnya mengedapnkan munasabah dan tidak adanya munasabah telah menjadi konsumsi publik yang tidak terpisahkan dari kajia ‘ulum Al-Qur’an. (hal 17-18)

 

B. Melacak Tradisi Awal Munasabah

Diakui secara umum bahwa susunan ayat dan surah dalam  Al-Qur’an memiliki keunikan yang luar biasa. Sesungguhnya tidak secara urutan saat wahyu diturunkan dalam subjek bahasan. Rahasianya hanya Allah Yang Mahatahu karena dia sebagai pemilik kitab tersebut. Jika seseorang bertindak sebagai editor yang menyusun kembali kata-kata buku orang lain dan mengubah urutan kalimat, tentu akan mudah memengaruhi seluruh isinya. Oleh sebab itu, hasil akhir tidak dapat diberikan kepada pengarang karena hanya sang pencipa yang berhak mengubah kata-kata dan materi guna menjaga hak-haknya. Deimikian ungkapan M.M. Al-Azhami (seorang cendikiawan terkemuka di bidang ilmu hadis).

Secara khusus Amir Faishal Fath memetakan abad, tokoh, dan karya-karya yang membuktikan adanya munasabah, keterkaitan, dan kesatuan Al-Qur’anyang komprehensif sebagaimana berikut.

Abad

Tokoh

Karya

II

Ma’mar bin Al-Mutsanna

Majaz Al-Qur’an

Al-Farra (w.270 H)

Ma’an Al-Qur’an

III

Al-Jahizh (w.255 H)

-    Nazhm Al-Qur’an

-    Al-Bayan wa Al-Thibyan

Ibnu Qutaibah (w.276 H)

Ta’wil Musykil Al-Qur’an

IV

Al-Rummani (w. 386 H)

Al-Nukah fi I’jaz Al-Qur’an

Al-Khaththabi

Bayan I’jaz Al-Qur’an

V

Al-Baqillani

I’jaz Al-Qur’an

Al-Jurjani (w.471 H)

-    Dala’il Al-Qur’an

-    Al-Muqtadab fi Syarh Kitab Al-Wasith fi I’jaz Al-Qur’an

-    Asrar Al-Balaghah

-    Dala’il Al-I’jaz

-    Risalah Al-syafiyyah fi I’jaz

VI

Ibnu Athiyah (w.545 H)

Al-Mihrar Al-Wajiz

Qadhi Iyadh (w.544 H)

Al-Syifa bi Ta’rif Huquq Al Mushthafa

Al-Zamakhyari (w. 538 H)

Al-Kasysyaf

VII

Imam Al-Razi (w. 606 H)

Nihayah Al-Ijaz fi Dirasah Al-I’jaz

VIII

Ibnu Al-Qayim Al-Jauziyah (w. 751 H)

Al-Tibyan fi Aqsam Al-Qur’an

IX

Burhanuddin Al-Biqa’I (w. 885 H)

Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar

X

Al-Suyuthi (w. 911 H)

Tanasuq Al-Durar fi Tanasub Al-Suwar

Abu Al-Su’ud (w. 982 H)

Irsyad Al-‘Aql Al-Salam ila Mazaya Al-Qur’an Al-Azhim

XIII

Syihabuddin Mahmud Al-Alusi (w. 1270)

Ruh Al-Ma’ani fi Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim wa Al-Sab’ Al-Matsani

XIV

Muhammad Abduh (w. 1323 H)

Tafsir Juz Amma

Rasyid Ridha (w. 1354 H)

Tafsir Al-Qur’an Al-Hakim

Mahmud Syaltut (w. 1963 H)

Ila Al-Qur’an Al-Karim

XV

Sa’id Hawwa

Al-Asas fi Al-Tafsir

 

C. Munasabah Perspektif Pakar Ilmuwan Al-Qur’an dari Klasik hingga Premodern

Kajian mendalam berkenaan dengan munasabah Al-Qur’an  telah sering dilakukan oleh beberapa kalangan ulama ‘ulum Al-Qur’an dari klasik sampai pramodern. Adapun yang paling focus mengupas tuntas, diantaranya Abu Bakar Al-Naisburi (w.324 H), Imam Al-Zarkasyi (745-794 H), Ibnu Ahmad bin Ibrahim Al-Andalusi (w.807 H), Al- Suyuthi (849-911 H/1455-1505 M), Burhanuddin Al-Biqa’i (w.885 H/1480 M), dan Al-Zarqani (w.1367 H).

Pada dasarnya perdebatan munasabah berkaitan dengan tartib al-suwar dan tartib al-ayat. Al-Suyuthi dalam Al-Itqan memberikan informasi bahwa ada tiga sumber kronologis pewahyuan surah, yaitu Ibnu Abbas, manuskrip karya Umar bin Muhammad bin Abdil Kafil, serta Ikrimah dan Husain bin Abi Al-Hasan. Sumber yang berasal dari Ibnu Abbas dan Umar ternyata berbeda dengan mushaf yang ada sekarang. Dua sumber itu hanya menyebutkan 113 Surah (minus surah Al-Fatihah) yang terbagi menjadi dua periode, yaitu Mekkah (Makkiyah) sebanyak 85 surah dan Madinah (Madaniyah) sebanyak 28 surah. Sementara itu, sumber dari Ikrimah sedikit tampil beda dengan 111 surah, 82 surah diantaranya termasuk ke dalam kategori Makkiyah dan 29 surah lainnya termasuk ke dalam kategori Madaniyah.

Tokoh yang bisa dibilang pencetus pertama kajian munasabah adalah Al-Naisaburi (w.324 H). namum Muhammad Husain Al-Dzahabi memaparkan bahwa karya ini sayangnya sudah tidak ditemukan lagi. Selanjutnya, paling tidak ada dua ulama klasik yang dijadikan acuan dalam pemikiran munasabah, yaitu Al-Zarkasyi dan Al-Biqa’i.

Al-Zarkasyi (745-794 H) muncul jauh setelah Al-Naisburi (w.324 H). Kajiannya tentang munasabah tertuang dalam kitab Al-Burhan fi ‘Ulim Al-Qur’an. Ada munasabah antar surah dan ada munasabah antar ayat.

Ulama klasih yang kedua adalah Burhanuddin Al-Biqa’i  (809-885 H/1406-1480 M). ia mampu merangkum pemikirannya mengenai munasabah dalam Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar.  Di dalamnya terdapat tafsir komprehensif dan cermat terhadap Al-Qur’an. Dalam karya ini, Al-Biqa’I banyak menyebut tokoh yang mempunyai peranan penting dalam pengembangan ilmu munasabah, hal ini menunjukan ia bukan orang yang pertama memulai kajian munasabah. Dalam pandangannya, ilmu munasabah pada umumnya adalah kajian tentang hubungan logis antara sejumlah susunan ayat atau ide sehingga diperoleh keterkaitan satu ayat atau kandungannya dengan ayat atau kandungan sebelum dan sesudahnya.

Keseriusan Al-Biqa’i mencari titik munasabah Al-Qur’an terbukti setelah melakukakn penelaahan secara mendalam yang menghabiskan waktu lebih kurang empat belas tahun untuk menyusun kitab Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar. Tidak hanya itu, dalam pengantar tafsirnya, ia merenung berbulan-bulan memikirkan hubungan ayat seperti ketika mengamati QS. Ali Imran : 121 dan QS. Al Nisa. Al-Biqa’i menegaskan bahwa siapa yang memahami kehalusan dan keindahan susunan kalimat yang terdapat pada surah ini, ia akan mengetahui bahwa Al-Qur’an adalah mukjizat dari segi kefasihan lafalnya dan kemuliaan makna yang terkandung di dalamnya; di samping kemukjizatannya juga disebabkan oleh susunan kata dan surahnya.

 

D. Munasabah dalam Tinjauan Ilmuwan Al-Qur’an Kontemporer

Ketika berbicara tentang kajian Al-Qur’an, atau lebih spesifik lagi pada tataran Al-Qur’an kontemporer, terdapat tiga bidang kajian yang mesti dibedakan, yaitu teks orisinal Islam, pemikiran Islam yang dianggap sebagai bentuk interpretasi atas teks, dan perwujudan praktik sosio-historis yang berbeda-beda. Modernitas yang didefinisikan sebagai jalan hidup (way of life) industrial dan urban khususnya berpihak kepada susunan konsep Barat yang berakar pada abad 19 M. Sementara itu, modernism menurut Joyce Appleby serta Lynn dan Margaret Jacob dalam Post Modernism and The Crisis of Modernity sebagaimana dikutip Abu Zaid, didefinisikan sebagai perkembangan dalam seni dan sastra yang bertujuan menangkap esensi jalan hidup. Modernitas melahirkan sebuah periodisasi baru sejarah (kuno, abad pertengahanm dan modern) di mana modern mendenotasikan periode ketika akal dan ilmu pengetahuan lebih tinggi di atas kitab suci, tradisi, dan kebiasaan. Inti modernitas adalah konsep kebebasan bertindak.

 

E. Menyoal Munasabah: Respons Terhadap Kritik Ilmuwan Barat dan Orientalis

Al-Qur’an menyatakan dirinya sebagai kita yang terhindar dari keraguan, dijamin autensitasnya dan bahkan sampai saat ini tidak ada kitab tandingannya (‘ala an ya’tu bimitsli hadza Al-Qur’an la ya’tuna bimitslih).

            Para ilmuwan barat tidak sependapat bahwa susunan teks Al-Qur’an, baik ayat maupun surahnya, yang ada di tangan kita sekarang sama dengan apa yang terdapat pada zaman Nabi Muhammad.

            Beberapa penulis dari kalangan Barat dan orientalis membuat teori miring tentang Al-Qur’an, diantaranya Theodor Noldeke, penulis Geshichte des Qorans. Ia beranggapan bahwa Nabi Muhammad pernah lupa tentang wahyu sebelumnya. Alphonse Mingana mengatakan bahwa Nabi Muhammad ataupun masyarakat muslim tidak pernah menganggap Al-Qur’an secara berlebiham kecuali setelah meluasnya negara Islam.

            Upaya orientalis merekonstruksi Al-Qur’an begitu besar. Oleh sebab itu, sudah seharusnya kita termotivasi untuk selalu menjaga dan mengkaji Al-Qur’an. Adapaun munculnya stigma miring mengenai Al-Qur’an, tidak melunturkan keimanan atau memurtadkan keyakinan kita karena upaya orang-orang yang ingin mengubah Al-Qur’an terbukti sampai sekarang tidak berhasil. Sebaliknya, untuk mengkaji Al-Qur’an dan meyakini kebenarannya semakin tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun