[caption id="attachment_315780" align="aligncenter" width="545" caption="Ilustrasi (liputan6.com)"][/caption]
Jokowi dicapreskan PDIP menjadi berkah tersendiri bagi Ahok. Elektabilitas dan euforia Jokowi yang kian mocer takterbendungkan pasca pencapresan dirinya semakin menguatkan keyakinan publik bahwa Jokowi memang akan menjadi the next president Indonesia. Di sisi lain, pencapresan Jokowi sebelum pileg menjadi momentum pemetaan secara jelas siapakah kawan dan siapakah lawan PDIP. Serentak untuk memperjelas apakah aneka survei yang selama ini melambungkan nama Jokowi apakah fakta ataukah fiktif, apakah nyata ataukah fatamorgana, apakah hanya rekayasa lembaga survei ataukah benar-benar mencerminkan kerinduan masyarakat Indonesia. Megawati dan PDIP pasti telah memperhitungkan semuanya itu secara matang jauh-jauh hari sebelum memutuskan mencapreskan Jokowi sebelum pileg 2014.
Buktinya, pasca pencapresan Jokowi, para lawan politik mulai bermunculan secara terang-terangan dan terbuka. Mulai dari yang selama ini 'menggonggong' seperti halnya Amin Rais dan Ruhut Sitompul, sampai dengan para kandidat yang dikalahkan Jokowi-Ahok pada Pilgub DKI Jakarta seperti Bang Nara. Semuanya mulai bermunculan ke permukaan bak larong di musim hujan dengan aneka dalil sebagai amunisi untuk menyerang Jokowi. Tidak terkecuali juga kelompok-kelompok yang selama ini belum sanggup menerima kehadiran Ahok sebagai Wagub DKI Jakarta oleh karena faktor SARA yang sudah mereka mainkan sejak Ahok maju bertarung bersama Jokowi merebut kursi DKI 1 dan 2.
Karena itu, bukan tidak mungkin tekanan tidak hanya dialami oleh Jokowi dan PDIP tetapi juga oleh Ahok selaku wagub, karena jika Jokowi terpilih, secara konstitusional Ahok akan otomatis dinobatkan sebagai Gubernur DKI Jakarta menggantikan posisi Jokowi. PDIP tinggal mencarikan siapakah pengganti mumpuni untuk mendampingi Ahok.
Tekanan yang akan dialami Ahok ini perlu dipertimbangkan oleh internal PDIP guna mencarikan pasangan Ahok yang lebih bersikap asertif sama seperti Jokowi untuk mengimbangi ketegasan Ahok. Tujuannya, agar ada kolaborasi kepemimpinan yang bisa diterima semua pihak. Karena jika keduanya 'main labrak' kaya Ahok, maka bisa dipastikan resistensi terhadap kepemimpinan Ahok semakin tinggi/menguat. Calon wakil Ahok haruslah yang bisa menjadi ibarat es yang menyejukkan di tengah teriknya Jakarta dan keras-nya Ahok mendobrak segala kemapanan korupsi di birokrasi DKI Jakarta.
Soal kemampuan Ahok untuk membawa DKI Jakarta menjadi Ibu Kota yang lebih baik, saya pikir Ahok cukup mumpuni. Dia punya kemampuan untuk itu, meskipun ditinggalkan Jokowi. Yang dibutuhkan Ahok saat ini hanyalah kepercayaan dan kerelaan seluruh masyarakat DKI Jakarta untuk membiarkan diri mereka dipimpin oleh Ahok dengan gaya kepemimpinannya.
Sebenarnya ketika Ahok dipercaya menjadi Gubernur DKI Jakarta, ada beberapa kemungkinan positif yang bisa saja akan secara langsung mengontrol Ahok. Posisi Ahok sebagai pemimpin minoritas di tengah mayoritas akan mempermudah kontrol diri Ahok. Sebagai seorang pemimpin minoritas di kalangan mayoritas, Ahok pasti akan lebih mawas diri dalam kepemimpinannya. Dia tidak akan berani macam-macam terhadap uang rakyat. Mengapa? Di mana-mana fakta membuktikan ketika mayoritas dimpimpin kalangan minoritas, maka kontrol sosial terhadap kepempinan makin tinggi dan efektif. Sebaliknya, ketika mayoritas dipimpin dari kalangan yang sama, maka kontrol sosial menjadi lemah dan kurang efektif sehingga banyak menghasilkan pemimpin-pemimpin korup. Fakta di Indonesia membuktikan itu. Nah, dari segi ini sudah ada satu keuntungan apabila DKI Jakarta dipimpin oleh Ahok dengan latar belakangnya yang demikian.
Faktor ketegasan Ahok juga menjadi salah satu kekuatan seorang pemimpin untuk menata kerasnya Ibu Kota. Ibu Kota yang dikatakan lebih kejam dari Ibu Tiri memang perlu dipimpin oleh Gubernur yang tegas seperti Ahok guna melibas maunusia-manusia nakal penghisap sumber daya rakyat. Semerawutnya Ibu Kota harus bisa ditata dengan ketegasan seorang pemimpin yang jeli  mulai dari tingkat perencanaan, eksekusi, sampai pengontrolannya. Ahok memiliki kualitas itu. Ia mampu menjalankan itu, meskipun pengadaan Bus Trans Jakarta baru-baru ini memperlihatkan bahwa Jokowi-Ahok sedikit kecolongan. Namun, Ahok bisa belajar dari pengalaman ini untuk lebih ketat dalam pengawasan.
Oleh karena itu, Ahok tidak perlu ragu ataupun takut untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta, jika Jokowi akhirnya dipilih oleh rakyat Indonesia satu putaran menjadi presiden RI. Ahok harus siap menerima tanggung jawab baru sebagai Gubernur DKI Jakarta. Apalagi dengan model kepemimpinan sharing kekuasaan yang dilakukan Jokowi selama ini, sebenarnya secara tidak langsung Jokowi telah mempersiapkan Ahok untuk ditinggal sewaktu-waktu, tanpa wakilnya harus kebingungan memulai dari mana.
Dengan Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta dan Jokowi menjadi Presiden RI pada 2014, sekali dayung Jakarta dan Indonesia Baru akan benar-benar terwujud. Maju terus, pantang mundur!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H