Di tengah hiruk-pikuk pemilihan umum,
Calon-calon akan bertarung, janji-janji mereka pastinya bergaung,
Tapi calon-calon  yang memberikan janji,
Apakah sungguh-sungguh peduli ,
Dan tangan-tangan yang  memberi suara,
Benar-benar memilih atau hanya terhanyut dalam gejolak.
Keyboard tua berderak, merakamkan kata-kata,
Sebuah surat kecil dari seorang penyair,
Menyuarakan kegelisahan di tengah kampanye yang akan dilaksanakan.
Seperti air sungai yang tercemar oleh retorika,
Pemilih para calon-calon terombang-ambing, mencari kejelasan di tengah tawar-menawar,
Apakah nanti ada yang mengetuk pintu-pintu rumah, menawarkan selembaran yang membawa para pemilih berileran?
Jika iya, mereka seperti ikan diselokan, berenang di arus politik yang keruh,
Tetapi selalu berharap kedekatnya akan ada kejernihan,
Namun bagaimana akan jernih, jika ada budidaya yang seperti itu,
Lalu, ketika yang dipilihnya menang dan ternyata bobrok, lalu menyalahkan segala halnya, seakan-akan paling menderita.
Di tengah riuhnya kampanye, ada keraguan yang menghantui,
Penyair kecil ini ingin berkata,
Tapi kata-katanya tak sebanding dengan janji-janji manis,
Yang pastinya, nanti akan kita dengar di setiap panggung pemilihan.
Begitulah puisi dituliskan, ditengah-tengah para penduduk atau pemilih yang ingin perbaikan,
Sebagai penyair, aku hanya ingin menyampaikan cinta pada negara, pada tempat yang telah dilindungi dengan puluhan, ratusan, bahkan jutaan nyawa,
Demi keturunannya yang bisa sejahtera, aku ingin pemimpin yang bisa membawa semua itu dipundaknya.
Dalam ketidakpastian, aku menulis surat kecil ini,
Mencari makna di tengah pemilihanÂ
Apakah sudah dipertimbangkan dengan masing-masing pikiran?,
Sudahkah diterawang pikiran-pikiran para calon itu?,
Apakah sudah bulat?,
Atau hanya ikut-ikutan?,
Ataukah mungkin sudah menerima selembaran!