“Saya hanya meng-appeal, segera perbaiki situasi, ini bukan situasi biasa-biasa saja. Ini lampu kuning bagi jalannya administrasi pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi.”
Untaian kalimat di atas merupakan penjelasan singkat Surya Paloh yang dapat diikuti melalui media sosial Senin siang (19/2), usai malamnya bertemu Presiden Joko Widodo alias Jokowi di istana presiden.
Pertemuan itu tentu saja menjadi fokus perhatian para politisi dan pengamat, dan menjadi salah satu topik paling menarik di tengah hiruk-pikuk penyelenggaraan Pemilu 2024 yang dipenuhi protes. Pertemuan tersebut kita sebut saja di balik rayuan Jokowi.
Di media X (twitter) nama Ketua Umum Partai Nasdem itu menjadi trending. Menduduki posisi kedua dari 10 trending topic dengan cuitan mencapai 34,1 ribu pada pukul 13.21 WIB, lalu bergeser ke posisi keenam pada pukul 17.03 WIB dengan 43 ribu cuitan.
Pertemuan Paloh-Jokowi melahirkan banyak spekulasi, keyakinan dan kecurigaan. Maklum, posisi Nasdem selaku partai utama pengusung Capres Anies Baswedan sampai saat ini masih “sejalan” dengan pemerintah dan masih menempatkan kadernya di kabinet.
Tulisan ini tidak akan membahas tentang keyakinan orang bahwa Surya Paloh atau Nasdem tidak akan mengkhianati barisan para pendukung perubahan. Tapi lebih tertarik membahas kenapa orang (baca: barisan pemilih capres Anies Baswedan) curiga dengan pertemuan Paloh dan Jokowi.
Harus diakui jalannya Pemilu 2024 sangat tidak memuaskan para pendukung Paslon 1 dan Paslon 3. Sejak awal, bahkan sampai menjelang pelaksanaan dan pada pelaksanaan rangkaian pemilu itu sendiri yang disertai cawe-cawe presiden, kenyataan sangat tidak memuaskan barisan pendukung Paslon 1 dan Paslon 3 sebagai pesaing Paslon 2.
Bahkan berkembang sampai ke tengah masyarakat luas, yang pada akhirnya membuahkan kritik dan kecaman dari hampir seluruh civitas perguruan tinggi di tanah air.
Hari pertama, di tengah buruknya pelaksanaan pemilu, ketidakpuasan (baca: masyarakat luas) berkembang menjadi kecurigaan disertai serangkaian tuduhan, dilengkapi sejumlah bukti bukti penyimpangan yang tak sedikit.
Bahkan system hitung cepat (quick count) yang belakangan bertambah lagi dengan Sirekap (alat bantu rekapitulasi suara), hanya melahirkan tuduhan betapa kecurangan-kecurangan dalam pemilu sudah dirancang sejak awal.
Di sisi lain, Paslon 2 yang hanya dalam tempo beberapa jam usai pencoblosan, langsung didaulat sebagai pemenang dengan selisih suara sangat jauh dibanding dua Paslon lainnya.