Bahkan  pemilu satu putaran yang sejak awal terkesan dikemas  sebagai jurus psywar untuk lawan- lawan, kembali dikumandangkan. Tanpa malu dan dengan mengabaikan etika (menunggu  KPU)  pesta kemenangan pun dihelat di Istora Senayan, yang tentu saja persiapannya tak dirancang dalam satu hari.
Yang tak bisa dihindarkan adalah kesan yang ditimbulkan dari keikutsertaan para pejabat pemerintah pusat dalam perayaan tersebut, yang sehari kemudian dikukuhkan dengan ucapan selamat dari Presiden Jokowi.
Di tengah klaim kemenangan terus menerus Prabowo Gibran (Paslon 2), yang diimbangi tuduhan semakin nyaring  dari masyarakat  bahwa  pemilu curang, serta suara-suara yang semakin nyata menolak hasil pemilu, tiba-tiba saja Surya Paloh bertemu Jokowi (versi Istana: Paloh yang memohon bertemu).
Wajar kalau muncul kecurigaan, yang tentu saja dilandasi kekhawatiran. Khawatir bahwa pada akhirnya Surya Paloh dan Nasdem luluh dalam  rayuan Jokowi. Bukankah jurus yang sama berhasil dilancarkan Jokowi lima tahun lalu kepada  Prabowo selaku Ketua Umum Gerindra,  pesaing utama?
Kehebatan  Jokowi dibanding presiden presiden sebelumnya adalah kemampuan merangkul (menjinakkan?)  lawan atau  yang berpotensi sebagai lawan. Apakah melalui politik gula-gula maupun  --sebagaimana yang dituduhkan sementara orang (minjam Feisal Basri) -- politik sandera.
Semogalah Surya Paloh tidak sampai dianggap mengkhinati dan meninggalkan barisannya. (Penulis: Anggota PWI No.0900317190).***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H