Mohon tunggu...
Ramli Ondang Djau
Ramli Ondang Djau Mohon Tunggu... Administrasi - Man In Black

Ayah dari 3 putri, penikmat kopi, sate kambing dan dengkur tinggal di Gorontao

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Imajinasi" Beragama dan "Kesalahan" yang Dipertontonkan

26 Mei 2020   14:59 Diperbarui: 28 Mei 2020   07:37 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Agak Meggelitik sebenarnya ketika saya membaca tulisan sahabat senior Romo Syamsi Pomalingo dengan judul KESALEHAN YANG "DIPERTONTONKAN" yang dimuat dalam situs nulondalo.online tanggal 25 Mei 2020.

Dari judulnya asumsi awal kita (pembaca) adalah tulisan ini hendak menyoal perilaku pamer dalam beribadah, riya, ataupun soal kenikmatan memperlihatkan ke hadapan orang tentang cara kita menjamah pahala Tuhannya.

Tulisan ini kemudian memancing "gairah" intelektualitas saya untuk menuangkan dalam tulisan yang sederhana ini. Dari tulisan tersebut setidak-tidaknya saya menangkap dua kondisi. 

Pertama, adanya sikap sebagian kita yang merasa bahwa tak Afdhal kiranya sholat Ied jika tidak dilakukan secara berjamaah di mesjid ataupun dilapangan, terlepas dari soal bisa tidaknya seorang kepala Rumah tangga menjadi imam dalam rumah tangga, saya kira ini hanya salah satu alasan dari sekian alasan kita dalam memahami Narasi teologis-formalistik; 

Kedua, Kecenderungan sebagian 'kita' yang lain soal kenikmatan beribadah jika bisa di pertontonkan ke orang lain. Kondisi yang juga terlihat marak di medsos di 30 hari ramadhan kemarin, tak hanya melulu soal sholat, memberi zakat, infaq dan sedekah juga adalah kegiatan yang ramai dipertontonkan di medsos. 

Dua kondisi ini setidaknya mewakili potensi manusia yang timpang dari kalangan kita dalam beragama, mari kita bahas dua kondisi tersebut.

Kondisi Pertama, semenjak Covid-19 mewabah tanpa kita sadari "imajinasi" beragama kita juga ikutan mewabah. Pasca kasus positif pertama Covid-19 di Indonesia, kekhawatiran kemudian muncul, apalagi setelah narasi-narasi ketakutan ramai disebar di sosial media dengan postingan-postingan sadis soal dampak dari corona ini.  

Maka, seiring dengan kondisi tersebut muncul berbagai fatwa Ulama dari berbagai belahan dunia akan pentingnya mewaspadai penyebaran virus ini.

Sebagai langkah antisipasinya muncul pula imbauan dari para ulama tersebut sebagai langkah kewaspadaan untuk menghindari kerumunan, tidak melaksanakan sholat jamaah di mesjid, sholat Jum'at diganti sholat Dhuhur di rumah, bahkan pada bulan Ramadhan sholat Tarawih di mesjidpun ditiadakan guna memutus mata rantai penyebaran virus ini. 

Imbauan ini tentunya tidak mendarat mulus pada pada sebagian "kita", imbauan ini dinilai mengusik mental arogan-spritual sebagian kita, dengan menyebar narasi-narasi.

Sebagai contoh, "kita tidak takut corona, kita hanya takut Allah", "kenapa mall dan pasar2 dibiarkan dibuka, tetapi mesjid ditutup?", "Allah tidak akan membiarkan Tamu-Nya sakit jika kita selalu dirumahNya dan berjamaah" serta beberapa narasi-narasi serupa. 

Narasi seperti ini kemudian laku terjual dengan dalil agama yang dimodif dengan logika bak penjual obat "Ikut saja yang ini, jika tidak maka keimananan dan ketakwaan anda dipertanyakan". 

Narasi dengan balutan Teologis-formalistik yang kaku, egois dan parahnya lagi dibalut dengan bahasa agama, sehingga terkesan merepresentasi keimanan dan kesalehan. 

Padahal sejatinya imbauan mengindari kerumunan, tidak melaksankan sholat berjamaah (sekelipun itu sholat Ied) di mesjid dan di lapangan, merupakan bentuk lain ketaatan kita kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri (lihat QS An-Nisa :59), tidak menjerumuskan diri pada kebinasaan (QS. Al-Baqarah " 195).

Lalu masih ada lagi seperti larangan orang yang sakit menularkan penyakit pada yang sehat (HR. Bukhari No. 5771, Muslim No. 2221), lari dari penderita lepra sebagaimana lari dari singa (HR.Bukhari No.126), mendengarkan fatwa Ulama untuk sholat dirumah saja merupakan bentuk ketaatan kita terhadap mereka dengan gelar Pewaris para Nabi. Lantas jika sudah begini, sebenarnya siapa yang paling beriman dan paling bertaqwa?

Kondisi Kedua, enggan rasanya membahas soal ini, namun kondisi ini sadar atau tidak memicu kritik atas cara beragama kita di era digitalisasi. bagaimanapun saat ini fenomena di era transformasi digital memaksa orang melek teknologi, tak heran kepemilikan teknologi dasar seperti internet, Akun medsos dan Gadget menjelma menjadi kebutuhan primer. 

Saya berasumsi hampir 80% (ini bukan data valid) penduduk bumi memiliki akun medsos bahkan anak baru lahirpun sudah dipersiapkan akun medsosnya oleh orang tuanya, hehe.. pengunaan medsos kemudian bertransformasi seiring dengan keinginan orang memposting kehidupan pribadinya.

Apa yang dilakukannya melalui akun-akun pribadinya, motifnyapun beragam, dari yang hanya sekedar menyimpan memory dalam akunnya sampai dengan yang ingin "mempertontonkan" kepada orang lain (public share). 

Saat ini banyak pengguna mempublish hal-hal baik di akunnya, mengunggah foto hingga yang sengaja mengunggah kegiaan ibadahnya, tak jarang orang mengunggah foto sholat, ketika bersedekah dan kegiatan ibadah lainnya, hal ini akan terasa "nikmat" bila bisa dipertonotonkan ke public apalagi banyak mendapat "like" dari followernya. 

Fenomena ini marak terjadi dan bahkan mungkin sadar maupun tidak, kita juga bahkan pernah malakukannya. Senada dengan Romo Syamsi, saya juga tidak sedang menggugat sisi Religiusitas seseorang.

Tetapi mengingatkan kepada kita bahwa cara kita "menjamah" Pahala Tuhan hendaknya tidak dinodai dengan hal-hal yang cenderung riya saperti sabda Rasullah bahwa orang riya itu ibaratnya orang menanam sesuatu atau menaruh air diatas batu di tengah padang pasir lalu diterpa angin, hilang tak berbekas. 

Tentunya kita tidak ingin seperti itu. Saya tidak ingin menjustisified kecenderungan ini, namun dengan mempertontontkan KESALEHAN justru menjerumuskan kita dalam kesalahan beribadah, "Kesalahan" yang di pertontonkan. 

Ini semua tentunya berangkat dari niat  kita memposting, tergantung niat individu masing-masing, namun demikian Niat pastinya bermuara pada kadar ibadah, niat mempengaruh ibadah kita diterima atau tidak. 

Seperti halnya diciptakannya Medsos adalah benar untuk "pamer", namun yang membedakan adalah "kadar" Noraknya. Wallahu ta'ala a'lam..

Selamat Hari raya Idul Fitri 1441 H, Mohon Maaf Lahir dan Bathin
Ramli Ondang Djau
Penulis : Pemerhati masalah-masalah sosial          

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun