Narasi seperti ini kemudian laku terjual dengan dalil agama yang dimodif dengan logika bak penjual obat "Ikut saja yang ini, jika tidak maka keimananan dan ketakwaan anda dipertanyakan".Â
Narasi dengan balutan Teologis-formalistik yang kaku, egois dan parahnya lagi dibalut dengan bahasa agama, sehingga terkesan merepresentasi keimanan dan kesalehan.Â
Padahal sejatinya imbauan mengindari kerumunan, tidak melaksankan sholat berjamaah (sekelipun itu sholat Ied) di mesjid dan di lapangan, merupakan bentuk lain ketaatan kita kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri (lihat QS An-Nisa :59), tidak menjerumuskan diri pada kebinasaan (QS. Al-Baqarah " 195).
Lalu masih ada lagi seperti larangan orang yang sakit menularkan penyakit pada yang sehat (HR. Bukhari No. 5771, Muslim No. 2221), lari dari penderita lepra sebagaimana lari dari singa (HR.Bukhari No.126), mendengarkan fatwa Ulama untuk sholat dirumah saja merupakan bentuk ketaatan kita terhadap mereka dengan gelar Pewaris para Nabi. Lantas jika sudah begini, sebenarnya siapa yang paling beriman dan paling bertaqwa?
Kondisi Kedua, enggan rasanya membahas soal ini, namun kondisi ini sadar atau tidak memicu kritik atas cara beragama kita di era digitalisasi. bagaimanapun saat ini fenomena di era transformasi digital memaksa orang melek teknologi, tak heran kepemilikan teknologi dasar seperti internet, Akun medsos dan Gadget menjelma menjadi kebutuhan primer.Â
Saya berasumsi hampir 80% (ini bukan data valid) penduduk bumi memiliki akun medsos bahkan anak baru lahirpun sudah dipersiapkan akun medsosnya oleh orang tuanya, hehe.. pengunaan medsos kemudian bertransformasi seiring dengan keinginan orang memposting kehidupan pribadinya.
Apa yang dilakukannya melalui akun-akun pribadinya, motifnyapun beragam, dari yang hanya sekedar menyimpan memory dalam akunnya sampai dengan yang ingin "mempertontonkan" kepada orang lain (public share).Â
Saat ini banyak pengguna mempublish hal-hal baik di akunnya, mengunggah foto hingga yang sengaja mengunggah kegiaan ibadahnya, tak jarang orang mengunggah foto sholat, ketika bersedekah dan kegiatan ibadah lainnya, hal ini akan terasa "nikmat" bila bisa dipertonotonkan ke public apalagi banyak mendapat "like" dari followernya.Â
Fenomena ini marak terjadi dan bahkan mungkin sadar maupun tidak, kita juga bahkan pernah malakukannya. Senada dengan Romo Syamsi, saya juga tidak sedang menggugat sisi Religiusitas seseorang.
Tetapi mengingatkan kepada kita bahwa cara kita "menjamah" Pahala Tuhan hendaknya tidak dinodai dengan hal-hal yang cenderung riya saperti sabda Rasullah bahwa orang riya itu ibaratnya orang menanam sesuatu atau menaruh air diatas batu di tengah padang pasir lalu diterpa angin, hilang tak berbekas.Â
Tentunya kita tidak ingin seperti itu. Saya tidak ingin menjustisified kecenderungan ini, namun dengan mempertontontkan KESALEHAN justru menjerumuskan kita dalam kesalahan beribadah, "Kesalahan" yang di pertontonkan.Â