Mohon tunggu...
Aziddin Ramli
Aziddin Ramli Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Paling suka dipanggil BANG RAMLI. Berdomisili di kota Jogjakarta sejak SMP (dari masa remaja lulus SMP hingga saat ini). Beristrikan seorang wanita asli Jogjakarta.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sekadar Menyikapi Komentar-Komentar "Kompasianer" Ya Mustafa

16 Januari 2012   18:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:48 807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini adalah Komentar Kompasianer

Ya Mustafa

yang ada di Kolom Komentar pada Tulisan mbak Daveena.

Dimana tulisan komentarnya saya salin ulang menjadi tulisan tersendiri, yang sebenarnya saya sendiripun terserang “penyakit bingung” dalam hal menyikapi apa maksud dan tujuan yang sebenarnya atas komentar tersebut mengapa ditulis dengan sengaja pada kolom komentar milik orang lain, yang seolah-olah beliau ini berkomentar pada kolom komentar yang ada pada tulisan saya, padahal jelas-jelas tulisan komentar tersebut adalah ditulis pada kolom komentar yang ada pada tulisan milik orang lain. Di sisi lain, saya melihat bahwa beliau ini sepertinya sedang curhat kepada saya atas dua tulisan Kompasianer lainnya yang membahas masalah Jasa Uang Tip dan masalah fenomena kisruh di tubuh PSSI dalam konteks dunia sepakbola nasional saat ini.

Untuk itu, melalui tulisan ini saya ingin membantu beliau dalam mengungkapkan isi hatinya melalui tulisan saya yang saya copy paste dari komentar-komentarnya yang ada pada lapak-lapak Kompasianer para sahabat saya. Mudah-mudahan dengan cara yang seperti ini, kiranya dapat membuat beliau senang apabila ada di antara sahabat-sahabat yang mau menanggapi tulisan komentar tesebut.

Dan melalui postingan ini pula, saya serahkan sepenuhnya kepada saudara Kompasianer Ya Mustafa, atas hak jawab tentang komentar atas komentar yang timbul akibat postingan ini demi kenikmatan bersama berkompasiana ria di Kompasiana ini.

Mohon maaf apabila ada pihak-pihak yang tidak berkenan dengan cara postingan ini. Saya hanya berusaha menempatkan duduk permasalahan yang sebenarnya. Karena terus terang, dengan adanya komentar-komentar seperti yang saya maksudkan di atas, saya merasa sedikit tidak nyaman terhadap teman-teman Kompasianer lainnya khususnya bagi pemilik lapak asli, yaitu mbak Daveena. Atas pengertian dari semua pihak dalam menyikapi hal ini, saya mengucapkan banyak terimakasih.

Di bawah ini ada 2 (dua) item yang saya copas tentang tulisan komentarnya:

1). Uang Tip.

Bang Ramli, jujur saja saya masih dibuat heran dari judul di atas. Ya uang tip, uang yang dikasih seikhlasnya kepada seseorang karena telah menggunakan jasanya yang besarannya variatif sebagai bentuk ucapan terima kasih. Yang saya tahu itu berlaku di hotel-hotel atau cafe-cafe mewah yang sering saya liat di tv. Biasanya saya liat di film atau sinetron. Entah benar atau tidak karena saya tidak pernah melakukannya hehe… Saya hanya pernah memberikan kepada jasa portir di bandara dan pelabuhan. Karena yang saya tahu mereka bukan digaji dari perusahaan tapi dari para pelanggan.

Sejak dipindahkan kerjanya di Jakarta belum lama ini ada 2 (dua) kejadian yang membuat saya heran dan terus berpikir sampe sekarang. Yang pertama adalah kejadian di salon. Selama saya nyalon di Batam, saya tidak pernah memberikan uang tip kepada orang yang telah melayani saya. Teman-teman saya juga tidak pernah memberi tahu saya soal uang tip, jadi saya biasa-biasa saja. Walau bolak-balik ke salon yang itu-itu juga.

Nah sewaktu di Jakarta saya sekali nyalon untuk pertama kalinya juga tidak ngasi uang tip kepada mereka. Enjoy saja. Kemudian saya diajak teman lama saya untuk menemani ke salon di sebuah Mall. Sambil menunggu, saya baca-baca majalah yang disediakan. Waktu itu pengunjung lagi ramai-ramainya sehingga teman saya yang mau creambath saja masih dibiarkan agak lama sehabis keramas . Sambil menunggu, teman saya mendekati saya dan berbisik,

“Mbak, biasanya mbak'e ngasi uang tip berapa kepada mereka?”, tanyanya.“Uang tip? waduh saya ga pernah ngasih kepada mereka kok. Emang harus begitu ya?”, jawab saya dengan penuh keheranan.

”Ya, nggak sih, seikhlasnya saja. Tapi sudah lazimnya kok kalau ke salon mesti ngasih uang tip, biasanya sih variatif 10rb - 20rb gitu”, jelas teman saya.

“Ooow begitu, saya bener-bener tidak tahu”, jawab saya.

Sejak saat itu sampai saat ini saya belum ke salon lagi. Di benak saya masih saja ada perang bathin, bagaimana jika nanti saya ke salon, antara ikhlas ngasih, terpaksa ataukah menjadikan sebuah kebiasaan yang lama-lama bisa mejadikan budaya. Kejadian berikut di bengkel resmi sepeda motor. Minggu kemarin saya mau menyervis motor saya kebengkel sendiri. Sebelumya memang kalau mau pergi kebengkel itu urusan kakak saya yang laki-laki. Berhubung beliau sibuk, terpaksa saya sendiri yang minta ngotot ditemani calon suami saya. Maklum ga tau bengkel yang bagus di Jakarta. Lagian banyak cowok-cowok semua jadi agak malu kalau kesana sendirian hehehe.... Nah sambil, menunggu servis motor di bengkel resmi calon suami saya bilang begini,

“Hun.. siapin uang 10-rb pas buat ngasi uang tip kepada mereka nanti kalau sudah selesai, ya! Ga ada receh, ini ada 100-rb an. Kasi uang pas saja” katanya.“Uang tip? emang ngasi kepada mereka juga? bukannya sudah digaji oleh perusahaan dimana dia bekerja?, tanyaku heran.

”Ya kalau di sini emang kaya gitu, cuma di bengkel yang resmi saja. Kalau bengkel biasa mah ga usah. Nanti kita bayar juga ke kasir berapa habis ongkosnya gitu”

Dan benar saja saya lihat langsung melihat orang yang servis motor memang ngasi uang tip kemereka secara sembunyi sambil menyerahkan kunci kepelanggan. Dan Setelah calon suami saya bayar di kasir, baru ngasi juga keorang yang nyervis motor saya pake uang yang saya sediakan dari tadi. Saya bener-bener baru tahu, mesti ngasih uang tip kepada mereka. Hampir 3 tahun saya di Batam sejak beli motor baru, terus dapat gratis servis 3 kali di bengkel resmi dan seterusnya saya ke bengkel itu juga. Tapi tidak pernah sekalipun ngasih uang tip ataupun dikasi tahu sama teman-teman disana harus meberikan uang tip seikhlasnya. Mungkin tiap daerah punya kebiasaaan yang berbeda-beda kali ya.

Nah sekarang saya mulai bingung lagi jika nanti mau ke salon atau ke bengkel, perlukah memberikan uang tip?. Sejak kapan ada uang tip seperti itu? atau memang saya yang kurang tahu keadaan atau bagaimana? terus terang, setelah dikasi tahu saya agak keberatan untuk memberikan uang tip kemereka. Lebih baik kepengemis, pengamen atau anak jalanan, fakir miskin atau yang lainnya yang benar-benar membutuhkan.

Namun disatu sisi saya sebagai orang jawa merasa tak enak hati kalau tidak memberikan uang tip karena sudah terlanjur dikasih tahu. Karena itu sudah menjadi kebiasaaan. Kebiasaan yang membudaya. Yang ditakutkan jika tidak memberikan uang tip, besok-besoknya jika ke tempat yang sama akan dilayani tidak memuaskan.

Mungkin banyak juga uang tip di tempat-tempat lain yang belum saya ketahui. Sah-sah saja ngasih kepada mereka. Tergantung dari pelanggannya. Apalagi di pemerintahan jumlahnya pastilah banyak. Menurut saya itu termasuk suap menyuap kecil-kecilan yang tidak kita sadari dan akan membentuk pola pikir yang tidak baik dimasyarakat. Seperti guyonan adik saya, “mau mulus pake fulus dong” Apalagi yang sudah membudaya dimasyarakat. Jadi orang mau bekerja lebih baik jika dikasi uang lebih. Banyak korupsi, suap menyuap dimana-mana, baik kecil maupun yang besar-besaran. Salah siapa? salah orangnya? masyarakat? budayanya? pemerintah?

Jika mau memutuskan mata rantai itu memang dari diri sendiri dulu dan jika sudah tahu jangan memberi tahu yang tidak tahu.. lama-kelamaan juga akan hilang dengan sendirinya. Mungkin saja begitu.

2). Tentang Sepakbola dan PSSI.

Tapi bang Ramli, kisruh sepak bola di negeri ini tak kunjung menemui ujungnya. Kalau meminjam judul lagu Armada “Mau dibawa Kemana” sepakbola Indonesia ini. Padahal banyak event tengah menanti untuk kita ikuti. Mulai dari Hassanal Bolkiah Trophy 2012 sampai Piala AFF dengan timnas U-23. Namun di tengah kondisi yang seperti sekarang ini, prestasi apa yang bisa di harapkan. Sementara banyak pemain berbakat tak bisa ikut karena terganjal peraturan yang di terapkan PSSI yang jadi senjata makan tuan buat sepakbola Indonesia.Ibarat Gadis Cantik yang tengah bersiap-siap ikut berbagai kontes ratu kecantikan tapi apalah daya, sepakbola Indonesia tengah digagahi secara beramai-ramai. Mulai dari PSSI, kemudian pihak yang bernama KPSI, belum lagi oknum-oknum yang ikut serta demi keuntungannya masing-masing. Kenapa? Padahal seharusnya PSSI bertindak selaku Induk Sepakbola Indonesia, tetapi begitu tega malah ikut menggagahi nya. Belum lagi KPSI yang merupakan kepanjangan dari “Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia” malah bertindak sebaliknya. Lantas kemana lagi sepakbola Indonesia harus memohon perlindungan?

Daya “magnetis” gadis yang bernama sepakbola Indonesia ini tak lepas dari Anggaran besar yang di gelontorkan Kementrian Olahraga kepadanya, belum lagi akibat pengaruhnya yang begitu luas di masyarakat Indonesia ini. Gadis itu bisa dimanfaatkan sebagai motor politik di berbagai tingkatan, mulai dari tingkat kabupaten sampai tingkat nasional sekalipun. Sehingga persaingan besarpun dimulai untuk dapat mengusai sepakbola indonesia, mengangkanginya demi kepentingan segelintir pihak yang mengatas namakan pecinta sepakbola.

Ditengah geliat sepakbola yang cenderung meningkat tajam di beberapa musim terakhir ini, carut-marutnyapun tak kunjung usai. Mulai dari dua liga yang akhirnya di “sembelih” PSSI dengan menjatuhkan sanksi kepada beberapa klub yang bernaung di bawah bendera ISL, seperti Persipura, Persib Sriwijaya FC, Persiwa Wamena dan lain-lain. Padahal tak jelas apa dampak yang diharapkan dari dijatuhkan sanksi ini? Bukankah sanksi seharusnya merupakan tindakan tegas dengan maksud membina, tapi apa lacur malah mengebiri klub-klub yang dianggap “nakal”. PSSI yang seharusnya bertindak selaku pelindung bagi Klub-klub tersebut, malah berubah jadi “anak manja” yang sebentar-sebentar mengadu ke FIFA. KPSI yang awalnya mengaku didukung oleh 2/3 anggota PSSI, belakangan terbongkar kedoknya. Hanya akal-akalan saja, tentu “ada udang di balik batu”.

Harapan satu-satunya Menpora menengahi kekisruhan yang terjadi, mengajak para pihak yang merasa berhak untuk ikut sama-sama kembali ke tujuan semula yaitu demi kemajuan sepakbola Indonesia. Harus di murnikan kembali dengan meng-eliminir kepentingan-kepentingan yang ada. Membatasi ego-ego pemegang kekuasaan agar tidak bertindak gegabah. Semua pihak harus “bersatu” demi tercapainya tujuan kita bersama. Demi para insan pecinta sepakbola Indonesia, para suporter dari masing-masing klub sepakbola

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun