Mohon tunggu...
Aziddin Ramli
Aziddin Ramli Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Paling suka dipanggil BANG RAMLI. Berdomisili di kota Jogjakarta sejak SMP (dari masa remaja lulus SMP hingga saat ini). Beristrikan seorang wanita asli Jogjakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibunda, Izinkan Aku Mempersuntingnya.

22 Desember 2011   06:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:54 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

[caption id="attachment_158805" align="aligncenter" width="255" caption="sumber foto  : www.google.com"][/caption]

Seorang ibu yang bijaskana telah melahirkan 12 orang anak yang terdiri dari 4 orang laki-laki, 4 orang wanita, dan 4 orang anak kembar yang sudah meninggal dunia ketika masih bayi. Salah seorang anaknya yang masih hidup yaitu anak yang nomor 5 ditakdirkan untuk membina rumah tangga dengan seorang wanita yang berbeda adat, suku, dan agama. Padahal tradisi dalam keluarga kami belum ada sejarahnya seorang anak yang menikah dengan orang yang berbeda adat maupun agama. Dan pasti hal itu akan mendapat tantangan dan cercaan dari pihak kelarga besar kami. Resiko dikucilkan dan dibuang dalam pergaulan keluarga sudah pasti.

Namun itu adalah ancaman yang aku dapatkan di awal-awal aku mengutarakan keinginanku untuk menikah dengan seorang wanita Jawa yang nyata-nyata berbeda adat, suku, dan agama.

Namun seiring berjalannya waktu, kenyataannya bahwa cercaan dan tangtangan di awal kami menikah tersebut saat ini sangat berbeda seratus delapan puluh derajat, karena mendapat dukungan baik dari kedua belah pihak keluarga. Baik dukungan dari pihak keluargaku yang dulu sangat menentang pernikahan ini, maupun dari pihak keluarga istriku. Apalagi setelah ibundaku yang sangat bijaksana telah memberikan restu dengan keleluasaan pada diriku dalam menentukan jalan hidupku dengan membina rumah tangga dalam kehidupanku di masa depan.

Sebagai seorang anak yang berbakti, masih terngiang di telingaku pesan-pesan dan petuah dari keluargaku yang mengantarkan aku ketika mau berangkat ke Jogjakarta tempoe doeloe. Diharapkan agar aku selalu mengingat-ingat pesan kedua orang tuaku ketika aku masih SMP dulu di seberang sana. "Jangan sekali-kali kau melanggar adat dan peraturan keluarga kita", begitulah ultimatum yang ditujukan kepada diriku yang ketika hendak berangkat ke Jogjakarta melanjutkan SMA.

Namun sesuai dengan perkembangan zaman, dengan seiring usiaku yang semakin dewasa, akupun jatuh cinta dengan seorang gadis Jawa yang berbeda adat, suku, dan agama. Kisah cintaku sangatlah banyak menemui rintangan dari pihak keluargaku maupun dari pihak keluarga calon istriku.

Pada awalnya aku sangatlah ragu dalam menjalani kisah cintaku. Namun seiring berjalannya waktu, cintaku kepada wanita yang cantik jelita itu tidak bisa dibendung dan begitu juga sebaliknya cinta wanita yang cantik jelita itu semakin mendalam di kehidupan kami berdua. Saking besarnya rasa cinta diantara kami, maka kami bertekad untuk mempertahankan cinta kami dengan membina rumah tangga dengan apapun resikonya, sekaligus ingin membuktikan bahwa cinta kami itu tulus dan murni.

Dalam keadaan yang demikian, hatiku sangat bergejolak, karena membayangkan pertentangan antara keluarga besarku dan dengan keluarga besar pihak calon istriku. Bagaimana kelak kami akan menghadapai kehidupan orang yang berlainan keyakinan dan dengan banyak tantangan dari keluarga kami masing-masing?

Namun segala pertentangan dan gejolak yang ada di hati kami masing-masing, kami kesampingkan semua perasaan yang menghambat jalinan kisah asmara kami. Karena kami yakin bahwa cinta kami ini adalah cinta yang memang diberikan oleh Tuhan kepada kami untuk menunjukkan kepada dunia bahwa cinta itu adalah suci dan tidak memandang suku dan agama apalagi kasta. Dan kenyataannya memang begitu, setelah dengan kisah yang berliku-liku, dengan seizin Yang Maha Kuasa, kamipun mendapat restu segenap keluarga dengan segala resikonya, yang dulunya sangat menentang pernikahan ini,

Dengan penuh keyakinan, aku menghadap ibu tercinta bermaksud ingin mengutarakan bahwa aku ingin menikah dengan seorang wanita yang beda keyakinan. Setelah aku menerangkan bahwa wanita yang aku cintai itu adalah seorang wanita yang baik dan memang pantas bagi diriku dan dijadikan mantu oleh ibundaku.

"Ibu, izinkanlah aku mempersuntingnya", dengan mata berkaca-kaca beliau menjawab,

"Silahkanlah nak, asalkan dirimu bahagia, maka Ibu mendukung apa yang sudah menjadi keputusan kalian berdua, walaupun sebagian keluarga kita sangat menentang pernikahanmu ini".

Mendengar jawaban beliau yang sungguh membesarkan hati ini, maka dengan mantab kabar ini aku kabarkan kepada calon istriku yang cantik jelita. Dengan berlinang air mata, kami berdua berpelukan layaknya tele tubies, kami saling mencurahkan kebahagiaan atas restu seorang ibu yang sangat kami hormati.

Dilain kesempatan, ibundaku menyempatkan diri berkirim surat, dengan nada yang bersemangat dia menuliskan dukungan yang sepenuhnya serta menekankan agar kami berdua jangan terpengaruh terhadap rintanganyang ada maupun pihak keluarga yang menentang pernikahan kami tersebut. Diiringi doa dari beliau agar keluarga kami kelak bahagia dan harmonis. Beliau juga menyarankan kepada kami berdua, agar sesegera mungkin pulang kampung untuk memenuhi undangan pemberian gelar dan marga kepada istriku yang sejak semula tidak memiliki gelar dan marga yang sesuai dengan gelar marga dari pihak keluarga yang ibu miliki.

Maka setelah kami menikah, kamipun pergi "berbulan madu" ke daerah asalku di seberang sekaligus untuk memperkenalkan istriku kepada segenap keluarga yang ada nun jauh disana. Sesampainya kami disana, kami disambut dengan meriah layaknya pernikahan seorang Pangeran dan Putri yang memang tampan dan cantik jelita (ha ha ha ha ha ha......... narsisnya keluar).

Tidak dapat aku bayangkan suasana yang semarak dalam acara penyambutan dan pemberian gelar marga yang kami dapatkan. Semua keluarga yang dulunya kontra dengan pernikahan kami ini, Alhamdulillah saat pesta pemberian gelar dan marga ini, tidak terlihat adanya protes dan bantahan dari pihak keluarga ibuku yang memang mereka inilah pihak-pihak yang jika menurut adat disana merekalah pihak yang paling aku khianati secara adat.

Setelah usai pesta pemberian gelar, kami berdoa dalam hati, terimakasih Tuhan dan terimakasih buat ibuku yang telah mendukung dan merestui hubungan kami ini. Berkat doamu yang tulus dan suci, maka sampai saat ini kami hidup bahagia dengan dikarunai seorang anak laki-laki yang saat ini sudah duduk di kelas 3 SMP di kota Jogjakarta.

Untuk itu, aku tidak lupa jasa-jasa seorang ibuku yang kucintai. Doaku selalu mengirimu di alam sana. Doa dari menantumu, cucumu, dan anakmu senantiasa setiap waktu selalu kami panjatkan dan selalu kami kirim untukmu di alam sana. Kami yakin, ibu selalu berbahagia disana melihat keharmonisan keluargaku seperti apa yang ibu harapkan ketika ibu masih hidup dulu. Beristirahatlah ibuku yang aku cintai. Kami sangat mencintai dan menghormatimu segenap jiwa raga.

Seandainya saat ini ibundaku masih hidup, aku yakin beliau sangat bahagia mendapat ucapan selamat hari ibu. Yang bertepatan Hari Ibu pada hari Kamis 22 Desember 2011 hari ini.

Tulisan ini aku dedikasikan kepada ibunda tercinta yang telah mendahului menghadap keharibaan Yang Maha Kuasa. Semoga arwahmu mendapat tempat yang baik disisiNya. Amin

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun