The Global Workplace
Situs ternama Forbes pada awal tahun 2006 pernah mengupas tentang "The Future of The Global Workplace". Dalam edisi tersebut berisi wawancara dengan Jeffrey A. Joerres, presiden dan CEO dari Manpower, sebuah perusahaan penyedia jasa tenaga kerja terbesar kedua di dunia yang berpusat di Milwaukee, AS. Pada tahun 2004, Manpower meraup pendapatan hampir $ 15 miliar dengan menempatkan sekitar 2 juta pekerja ke industri profesional dan perkantoran yang tersebar di 72 negara. Poin utama dari wawancara tersebut yaitu sifat perubahan pasar tenaga kerja global.
Dalam kesempatan tersebut, Joerres mengatakan bahwa pada era ini, perusahaan-perusahaan besar berusaha menjadi lebih efisien dengan menggunakan staf yang flexibel atau non regular. Sepuluh klien terbesar perusahaannya, mempunyai 10% sampai 25% tenaga kerja non regular dari total keseluruhan. Perusahaan besar tersebut merekrut tenaga kerja berdasarkan kebutuhan skill/keterampilan. Hal ini berdampak meningkatnya suasana kompetitif bagi calon tenaga kerja sehingga perusahaan bisa mendapatkan tenaga kerja terbaik. Namun demikian, dia menuturkan bahwa ke depan, akan terjadi krisis skill/keterampilan.
Krisis skill tersebut akan berdampak pada perubahan struktural dalam angkatan kerja. Perusahaan-perusahaan pun akan kesulitan mendapatkan tenaga kerja terbaik. Oleh karean itu kini banyak perusahaan besar fokus pada keseimbangan skill tenaga kerjanya. Hal ini karena mereka menyadari, “Jika ada sedikit pasir di gigi mereka maka seluruh organisasi rusak”, ujarnya. Tenaga kerja bagi perusahaan besar kini tidak lagi menjadi perhatian insidental, tetapi kebutuhan strategis. Dia mengatakan seperti itu melihat krisis tahun 2001. Istilah yang digunakannya "leaned out". Dalam artian, perusahaan besar berusaha menjadi lebih efisien dan lebih produktif dengan mengoptimalkan orang-orang yang mereka miliki. Sehingga tak ayal perusahaan menjadi organisasi yang ramping. Mereka fokus pada bagaimana melakukan optimalisasi tenaga kerja. Dalam sentilannya, Joerres mengatakan, "It's about deciding whether to stay in New Jersey or move to Chennai (India)'. Ya, keputusan memang harus segera diambil, agar perusahaan berjalan lebih efektif dan efisien.
Khusus mengenai tantangan yang akan dihadapi calon tenaga kerja saat ini, Joerres menganalogikan pekerjaan seorang Webmaster. Dulu pekerjaan tersebutnya adalah jenis pekerjaan yang 'cukup panas', namun kini dengan menggunakan software khusus kita bisa membuat situs Web dengan mudah. Sehingga keterampilan yang dulu dianggap signifikan kini di hadapan pasar seolah-olah begitu rendah. Banyak pekerjaan, ujarnya yang asalnya merupakan pekerjaan kelas 'panas' menjadi 'dingin' secepat perubahan siklus produk perubahan. Kalau dulu siklusnya adalah tiga tahun, sekarang sudah menjadi sembilan bulan. Setiap perusahaan tentu mempunyai keputusan masing-masing dalam menentukan siklusnya.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan skill tenaga kerjanya perusahaan besar melakukan pelatihan. Namun sekarang, seperti yang dituturkannya, perusahaan tidak lagi berkata, "Take four weeks off and go to our training school in Pasadena (Ambillah empat minggu off dan pergi ke sekolah pelatihan kami di Pasadena)". Tidak lagi seperti itu. Namun kini perusahaan mengefisienkannya dengan cara pelatihan diselenggarakan pada malam hari, akhir pekan, ataupun selama makan siang.
Dari wawancara tersebut, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa skill/keterampilan menjadi kebutuhan utama dalam dunia kerja. Namun tentu, seperti yang diungkapkan Joerres, bahwa dunia yang serba cepat ini menjadikan pekerjaan yang dulunya ‘panas’ bisa berubah cepat menjadi ‘dingin’. Oleh karena itu meningkatkan kualitas skill adalah hal yang harus menjadi kebutuhan, bukan lagi program insidental. Selain itu, tuntutan perusahaan untuk lebih efisien dan lebih produktif adalah tantangan tersendiri bagi calon tenaga kerja. Perusahaan-perusahaan besar hanya akan memilih mereka berdasarkan skill terbaik, sehingga kini tak ada batasan dari lembaga pendidikan mana dia berasal.
Sebagai penyumbang terbesar calon tenaga kerja, dunia pendidikan (formal, non formal dan informal) mempunyai andil besar dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Namun demikian, tujuan pendidikan tentunya tidak sebatas sebagai pemasok tenaga kerja semata. Oleh karena itu setelah mengulas bagaimana kondisi faktual dari dunia pekerjaan global yang terjadi, pada tulisan di bawah ini penulis menyampaikan bagaimana dunia pendidikan memandang dunia kerja sebagai salah satu tuntutan yang harus di hadapi dalam era globalisasi ini.
Sudut Pandang Pendidikan Indonesia
Mengawali bagian ini, ada baiknya kita melihat kembali tujuan pendidikan nasional sesuai UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam Pasal 3 disebutkan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional maka pemerintah membuat suatu kurikulum. Dalam pembuatan dan pengembangannya, kurikulum harus memperhatikan beberapa aspek yang tertuang dalam Pasal 36 ayat (3) seperti tuntutan dunia kerja, perkembangan iptek dan seni, serta dinamika perkembangan global.
Ketiga aspek tersebut menjadi hal penting sehingga masuk dalam salah satu misi pendidikan nasional yaitu meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global. Sebagai strategi mencapai misi tersebut, pemerintah menggunakan istilah ‘pembaharuan’. Istilah ini merespon keharusan penyelenggaraan pendidikan untuk lebih terbuka dengan melibatkan berbagai pihak. Kondisi ini diharapkan - merujuk Pasal 4 ayat (6) UU Sisdiknas -, dapat menciptakan suasana kemitraan dan kerja sama yang saling melengkapi dan memperkuat antar komponen di masyarakat.
Secara sistem, pendidikan di Indonesia yang terbuka dapat dimaknai bahwa penyelenggaraannya dilakukan secara fleksibel, baik dalam pilihan maupun waktu penyelesaian program lintas satuan dan jalur pendidikan. Sistem ini mengenal multy entry-multi exit system, yang berarti setiap orang dapat belajar sambil bekerja, bisa memilih program pada jenis dan jalur pendidikan yang berbeda seperti pendidikan formal, nonformal atau informal.