Keluhan Pelayanan Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Sosial (BPJS)
HUMAS Rumah Sakit Hardjolukito Yogyakarta, Bambang menjelaskan, beredarnya informasi bahwa sejumlah rumah sakit swasta di Jakarta memutuskan kerjasama BPJS, akan berpengaruh kepada RS swasta di daerah. Banyaknya persoalan, seperti minimnya pengetahuan dari masyarakat terkait pemahaman program BPJS, tidak masuknya plafon atau rate biaya yang diajukan BPJS, menjadi kendala bagi rumah sakit swasta.
“Kebijakan dari perubahan besaran plafon itulah yang terkadang membuat kita kerepotan. Namun komitmen awal yang masih membuat kami tetap bertahan untuk melayani masyarakat,” ujarnya saat ditemui di ruang kerjanya, kemarin (13/2).
Dikatakan Bambang, ada 144 diagnosa penyakit pada pasien yang harus ditangani dan dilayani untuk fasilitas kesehatan primer tingkat kecamatan atau puskesmas. Artinya, indikasi atau trombosit yang lebih di luar klasifikasi tersebut, perlu dirujuk ke rumah sakit. Hal itupun belum disosialisasikan kepada masyarakat. Pihaknya mengakui, jika program tersebut ditetapkan secara terpusat, padahal mekanisme di daerah berbeda. Oleh karena itu, kata Bambang, sistem dari syarat plafon harus diubah dan ditinjau ulang.
Ia menyebutkan, sejak mulai digulirkannya program tersebut pada awal Januari tahun ini, sudah ada dua sampai tiga pasien yang secara mendadak menjadi peserta BPJS, setelah diketahui bahwa plafonnya sangat besar akibat diagnosa penyakit pasien tersebut.
“Terus terang kita sangat kesusahan ketika ada pasien yang sudah masuk ke bagian umum. Namun tiba-tiba karena mengetahui biayanya besar dari diagnosa, si pasien itupun mendadak membuat BPJS dan dalam waktu dua hari sudah memegang kartunya. Di sisi lain, kita harus mengacu kepada pembayaran besaran plafon yang sudah ditetapkan BPJS. Tetapi besaran yang tidak spesifik itulah yang membingungkan pihak rumah sakit,” terangnya.
Jika hal itu terus terjadi di setiap pasien umum, lanjut Bambang, maka akan membuat rumah sakit swasta kelabakan. Padahal, pihak rumah sakit telah membayar besaran rate biaya kepada BPJS.
Warga juga masih mengeluhkan pelayanan BPJS. Seperti dikatakan Kurniadi (34). Pria yang bekerja sebagai buruh ini tidak begitu paham dengan BPJS. “Sosialisasinya sangat minim. Mestinya BPJS Kesehatan aktif melakukan sosialisasi di lapangan, baik dengan mendatangi pabrik atau lainnya,” katanya.
Saat ini, lanjut Kurniadi, masih banyak kekurangan terkait BPJS Kesehatan. Baik dari sisi infrastruktur maupun pelayanan. “Minimnya sosialisasi dan infrastruktur ini juga membuat para buruh kebingungan untuk mendaftar dan mengakses layanan BPJS Kesehatan, tambahnya.
Lain lagi dengan Yulia Wardhani SH MKn yang sebelumnya sudah memakai kartu Askes. Namun, sejak Askes berubah menjadi BPJS, Yulia mengatakan, program ini masih banyak yang harus diperbaiki.
“Saya sendiri pengguna Askes, karena suami saya PNS. Dengan sampul yang baru, yakni BPJS, diharapkan lebih unggul dari Askes. Terdepan melayani masyarakat, tanpa membeda-bedakan status sosialnya,” ujar wanita yang berprofesi sebagai notaris itu.
Yulia berharap, program kesehatan ini bukan hanya berubah sampul saja, melainkan harus memperbaiki kualitas pelayanannya. (Red.Ramita_akrb Yk)