Maraknya fenomena FOMO (Fear of Missing Out) yang beken disorot sosial media digadang-gadang adalah buah tangan, hasil dari gangguan mental berupa insecure.Â
Bagaimana FOMO yang merupakan fenomena negatif dalam unsur produktivitas dan kesehatan mental dapat tercipta dari sebuah fenomena yang dianggap kecil oleh masyarakat, berupa'insecure', serta efek domino apa yang disebabkan oleh keduanya?
Adaptasi dalam lingkungan yang menuntut produktivitas adalah sebuah fase yang pasti akan dialami seseorang beberapa kali dalam masa hidupnya.Â
Kesulitan dalam beradaptasi akan ditemui lebih banyak pada mobilitas sosial yang bersifat vertikal dibanding dengan mobilitas yang bersifat horizontal.Â
Hal ini dikarenakan, mobilitas vertikal menandakan perubahan drastis yang terjadi pada pelaku mobilitas tersebut, baik secara peningkatan kualitas status (climbing) atau penurunan kualitas status (sinking[ Soekanto 1980]).Â
Sedangkan mobilitas horizontal tidak menunjukkan perubahan status yang drastis atau signifikan.
Sekalipun begitu, di antara fenomena climbing mobility dan sinking mobility, tuntutan akan produktivitas jauh lebih banyak ditemui dalam climbing mobility.Â
Ambil saja contoh anak sekolah menengah atas (SMA) yang kini memasuki perkuliahan, mahasiswa magang yang kini menjadi pekerja tetap, atau karyawan biasa yang kemudian naik pangkat.Â
Tuntutan profesionalitas pun dibebankan lebih kepada mereka bersamaan dengan munculnya ekspektasi-ekspektasi baru.
Ketika mereka yang dihadapkan pada lingkungan baru ini kemudian dipaksa untuk beradaptasi sedemikian rupa, mereka tentunya akan mencari banyak sumber yang kemudian dapat dijadikan olehnya patokan-patokan tertentu.Â
Seorang mahasiswa baru akan kemudian mencari kakak-kakak tingkatnya yang dianggap sudah lebih profesional karena telah melewati masa-masa adaptasi.Â
Begitu juga dengan mahasiswa magang akan banyak mencari-cari sumber-sumber yang dianggapnya valid lewat beragam aplikasi recruitment seperti Linkedin dan Facebook.Â
Mengingat betapa mudahnya akses informasi lewat internet dan sosial media sebagai pengaruh dari globalisasi, menjadikannya salah satu faktor yang memicu fenomena FOMO (Fear of Missing Out).
Fear of Missing Out dapat diartikan sebagai kekhawatiran yang mendalam, meresap, dan meluas terkait dengan pengalaman, skill, atau kompentensi, yang dianggap tidak dimiliki sehingga pelaku yang mengalami akan terus berusaha untuk menggapai standar yang ditetapkan atau dimiliki oleh orang lain (Przybylski dan kawan-kawan, 2013).Â
Hal ini kemudian berdampak pada adaptasi yang cacat karena hilangnya nilai dan arti dari produktivitas sejati. Paparan sosial media yang mengagung-agungkan kualitas yang dipaksakan 'sama' ke dalam masyarakat pun terkesan menarik bagi mereka yang mengalami FOMO. Â
Seperti yang disebutkan, Linkedin, Facebook, Twitter, dan Foursquares dianggap memberikan asuransi valid berupa koneksi dan keterlibatan sosial yang kemudian dikemukan sebagai motif yang kuat (Ellison, Steinfield, & Lampe, 2007 dalam Przybylski dan kawan-kawan, 2013).
Fear of Missing Out muncul ketika pelaku yang terpapar secara psikis merasa kurang puas dalam kebutuhan psikologis mereka.Â
Kebutuhan tersebut mencakup terutama tiga aspek yang dianggap dasar, yaitu, kompetensi yang dianggap efektif, kemandirian dalam mementukan pilihan yang dianggap 'bermakna', dan keterkaitan dikaitkan dengan hubungan terhadap relasi yang dimiliki (Przybylski dan kawan-kawan, 2013).Â
Sayangnya, banyak yang tidak cukup menaruh perhatian bahwasanya, merasa kurang dalam kebutuhan yang disebutkan sebenarnya sudah termasuk dalam indikasi insecure.
Menurut Abraham Maslow, insecure dapat diartikan sebagai perasaan yang tidak aman. Seperti seolah berada dalam hutan (ilustrasi dari tatanan masyarakat) dan dikelilingi binatang buas (manusia lainnya yang dianggap berbahaya, meresahkan, atau membuat kita merasa rendah dan tidak aman).Â
 Sehingga, dapat disimpulkan bahwa FOMO merupakan kreasi lanjutan dari sebuah perilaku gangguan kecil yang sering disepelekan bernama, insecure.
Tragedi beruntun ini beken disapa dengan efek domino. Disadur dari Kamus Merriam-Webster, efek domino diartikan sebagai kumpulan tragedi yang terakumulatif dari sebuah tragedi yang lebih dahulu memulai rangkaian kumulatif tersebut secara serupa.Â
Demikian dapat disimpulkan bahwa, pelatuk domio yang memulai eksistensi FOMO salah satunya yang berperan secara besar ialah insecurities, perasaan tidak terlindungi dan absensi dari kepuasan akan kebutuhan psikologis dasar.
Tetapi, apakah buah tangan dari insecure berhenti pada perilaku FOMO saja? Apakah ada runtutan lain yang disebabkan oleh tarikan benangnya? Dalam dunia produktivitas, runtutan ini tidak sesederhana berhenti pada perilaku FOMO saja.Â
Pada studi lanjutan yang dilakukan oleh Universitas Temple oleh Anna J dan kawan-kawan disebutkan bahwa FOMO lebih lanjut dapat memberikan efek negatif pada tiga aspek kehidupan : kepuasan sehari-hari, akademik, dan pekerjaan.
Disebutkan dalam penelitian di tahun 2016 tersebut bahwa, FOMO dapat menurukan kepuasan hidup terutama pada umur 30 tahun (umur produktif) dan berpotensi menyebabkan gangguan kecemasan sosial.Â
Sedangkan pada aspek akademik, FOMO berkaitan erat dengan hilangnya motivasi dan kompetensi dalam mencapai target si pelaku (underachiever).Â
Sedang untuk depresi, sulitnya beradaptasi dalam lingkungan kerja, dan PHK (pemutusan hubungan kerja) ditemukan pada ranah pekerjaan yang sering diasosiasikan dengan pendapatan pelaku yang rendah (Anna J. dan kawan-kawan, 2016).
Secara umum dapat dikatakan bahwa insecure yang menyebabkan FOMO dapat kemudian memberikan efek secara berkala pada kepuasan atau kegembiraan secara menyeluruh (Przybylski dan kawan-kawan, 2013).Â
Serta rasa kesepian (Burke, Marlow, & Lento, 2010 dalam Przybylski dan kawan-kawan, 2013) dan bosan yang kemudian akan diusahakan untuk dihilangkan melalui interaksi sosial media (Lampe , Ellison, & Steinfield, 2007 dalam Przybylski dan kawan-kawan, 2013 ).
Meninjau dari efek domino yang ditimbulkan, tentunya hal tersebut akan memengaruhi produktivitas seseorang, baik mereka yang sedang dalam masa transisi (adaptasi) ataupun yang sudah berkecimpung lama.Â
Meskipun begitu, mereka yang dalam masa transisi cenderung jauh lebih rentan terpapar fenomena dan gangguang yang telah disebutkan sebelumnya.Â
Berkaitan dengan itu, dikatakan bahwa factor yang memotivasi pelaku adalah kunci dalam memahami interaksi manusia dalam sebuah hubungan (dengan sesama, maupun dengan aspek non-hidup seperti produktivitas dan fenomena FOMO [Patrick, Knee, Canevello, & Lonsbary, 2007 dalam Przybylski dan kawan-kawan, 2013]).
Maka mulailah dengan memilah motivasi yang dimiliki agar tidak terjatuh ke dalam fenomena FOMO. Atur skala prioritas berlandaskan motivasi yang dirasa penting dan berguna untuk diri sendiri, bukan karena gengsi ataupun ikut-ikutan meniru orang lain.Â
Lihatlah diri sendiri lebih sering, apresiasi dengan penuh cinta, dan jangan lupa untuk senyum ketika melihat dirimu sendiri di kaca! Mari generasi muda, perangi insecure, hentikan FOMO, dan hindari fenomena lain yang dapat terjadi dengan memutus rantai domino yang berpotensi eksis!
Daftar Pustaka
Soekanto, S. (1980). Sosiologi hukum dalam masyarakat. Rajawali.
Maslow, A. H. (1942). The Dynamics of Psychological Security-Insecurity. Journal of Personality, 10 (4), 331--344. doi:10.1111/j.1467- Akses : Fakultas Psikologi - Universitas Tarumanagara (untar.ac.id)
Merriam-Webster. (n.d.). Domino effect. Merriam-Webster. Retrieved September 29, 2021, from https://www.merriam-webster.com/dictionary/domino%20effect.
 Przybylski, A. K., Murayama, K., DeHaan, C. R., & Gladwell, V. (2013). Motivational, emotional, and behavioral correlates of fear of missing out. Computers in Human Behavior, 29(4), 1841--1848. https://doi.org/10.1016/j.chb.2013.02.014
Swan, A. J., & Kendall, P. C. (2016). Fear and Missing Out: Youth Anxiety and Functional Outcomes. Clinical Psychology: Science and Practice, 23(4), 417--435. https://doi.org/10.1111/cpsp.12169
Oleh: Ismail Ramadhani | 202110230311597
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI