Mohon tunggu...
Ramdoni Subing
Ramdoni Subing Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bukan seorang partisan yang cenderung tunduk pada keonaran. Menyukai pluralisme. Mengapresiasi perbedaan dalam konteks penghargaan, buka tata bertingkat. Yakin bahwa "damai" adalah esensi yang dicari banyak manusia. Ada: 10 September 1977

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Man & Moon

12 Agustus 2013   19:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:23 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mitri mengambil lagi sebatang rokok dan membakarnya. "Tidak, Rien harus lebih giat lagi menulis. Coba lihat ini, Niang. Lihat, cerpen siapa ini?" Mitri menyodorkan koran minggu yang dibacanya tadi ke pelupuk istrinya.

Muna melihat-lihat sekilas tulisan cerpen di salah satu halaman koran terbitan Jakarta itu. Terbaca olehnya nama sang pengarang yang tertera di bawah judul. Muna agak terpana dan memandang suaminya. "Ini cerpen Ellen, Puang? Cerpen Ellen bisa masuk ke koran ini? Bisa juga dia."

"Sudah sering!" sahut Mitri, sambil menggigit-gigit busa rokoknya.

"Aku tak mengira anak ini berbakat," komentar Muna.

Mitri menarik napas. Setelah menyedot rokoknya dalam-dalam ia berceloteh lagi. "Seharusnya Rien bisa lebih baik dari dia. Ellen ini baru setahun lalu belajar menulis di sanggarku. Aku masih ingat, pertama kali melihatnya di sanggar, dia malas-malasan. Tulisannya seperti angin lalu. Titik dan koma saja belum mengerti. Sekali waktu dibawanya ke mejaku karangan pertamanya. Aku dapati selain kalimat-kalimatnya simpang siur, plotnya pun kacau berputar-putar seperti kumbang patah sayap. Sekarang, inilah buktinya, dia menunjukkan bisa belajar dari kesalahan-kesalahan itu. Di kota ini, dia sejajar dengan Arman sekarang." Nama "Arman" yang dimaksud Mitri adalah penulis muda lain di kotanya yang karya-karyanya sedang menonjol.

Muna meraih asbak di meja, lalu melangkah sebentar menumpahkan isinya ke kotak sampah di luar. Kemudian ia meletakkan kembali asbak di meja sambil berkata, "Pasti Ellen sangat tekun menulis. Mungkin waktu luangnya lebih banyak dari Rien. Memang Rien pernah cerita padaku, bahwa Ellen berhenti dari pekerjaannya seusai dia belajar menulis. Rien bilang, Ellen ingin total menulis. Artinya seluruh waktu Ellen sudah dicurahkan untuk mengarang, samalah seperti kau dulu. Kenapa itu harus jadi pikiran dan kenapa kita harus memaksa Rien. Masing-masing orang bebas menentukan langkah dewasanya sendiri. Mungkin karena Rien perempuan, jadi dia merasa tidak cocok menjadi penulis."

Mitri menyedot lagi rokoknya dalam-dalam. Lalu tangannya meraih kopi dan menghirupnya. Ia kemudian berujar, "Sekarang ini banyak perempuan menjadi penulis hebat. Hati dan pikirannya saja yang tidak mau serius belajar menulis. Aku tahu jalan pikiran anak muda sekarang. Melihat mereka membuat nuraniku sering mengamuk sendiri. Pilihan-pilihan mereka absurd, begitu pula cara mereka memilih pekerjaan. Mereka mabuk oleh gula-gula kehidupan. Aku heran kenapa Ellen bisa memilih yang baik, tapi anak kita tidak. Menulis juga pekerjaan. Halal. Dalam roti kehidupan rasanya selegit keju dan mentega. Ini bisa menjadi mata pencaharian tetap sebagaimana aku telah menghidupi kalian semua."

Muna kurang nyaman mendengar kalimat-kalimat terakhir suaminya. Sudah hampir tigapuluh tahun ia hidup bersama penulis, sebenarnya baru sepuluh tahun terakhir pekerjaan Mitri bisa melipurnya. Sebelumnya, segala sesuatu berjalan kurang baik. Muna ingat bagaimana ia pernah berputus asa bertahun-tahun dalam kehidupan Mitri yang dipandangnya sudah tak mungkin lagi mempercerah masa depan. Dalam masa-masa sulit itu Mitri menulis sambil bekerja serabutan. Waktu itu tulisan-tulisan Mitri masih tak laku di koran atau majalah manapun. Pada masa itu bukan hanya empat atau lima tahun, tapi belasan tahun, Muna merasa tak memiliki apa-apa lagi kecuali hanya kepedihan, dan yang dipandangnya berharga waktu itu hanya bagaimana Rien bisa terus sekolah dan ia memiliki beras di rumah. Muna masih bisa mengenang bagaimana dulu waktu mereka masih tinggal di rumah kontrakan sempit di atas bukit, tak jauh tempatnya dari rumah yang mereka tinggali sekarang, yang untuk kesana harus mereka capai dengan mendaki jalan setapak, menanjak ke lereng bukit. Di rumah papan bersekat-sekat kain itu ia terbiasa termenung di jendela, memandang jalan dan rumah-rumah di bawah, atau memandang hamparan hijau bidang-bidang tanah warga yang ditanami palawija dan sayur-sayuran, namun yang sangat disukainya tentu saja melihat pemandangan laut wilayah pesisir kota yang setiap hari nampak nyata dari jendela. Dulu ia banyak tenggelam memikir-mikirkan terus hidupnya, merasa bahwa semua tak mungkin diselamatkan lagi. Ia tak mengerti waktu itu bagaimana suaminya masih yakin akan bisa hidup terus dengan tujuan-tujuannya, atau bagaimana Mitri tidak pernah jeri dan lelah memperjuangkan tujuan-tujuan itu. Setiap pulang dari pekerjaan yang Mitri sebut "serabutan" itu, ia langsung tenggelam di meja bersama kertas-kertas tulisannya, berjam-jam menekuni karangan dengan penuh semangat hingga ia tak mau menyentuh apa-apa lagi selagi asyik mengerjakan itu. Muna sudah terbiasa mendengarkan tuts-tuts mesin tik tua suaminya yang mengamuk hingga tengah malam atau kadang-kadang sampai subuh. Kemudian Mitri membawa setiap karangan yang sudah selesai ke kantor pos dan mengirimnya ke koran atau majalah-majalah cerita. Pada masa-masa sulit itu Muna hanya bersabar karena ia tahu berpuluh-puluh karya suaminya selalu pupus tak berkabar lagi. Apa yang baru Muna dengar dari mulut suaminya bahwa menulis "bisa menjadi pekerjaan tetap sebagaimana aku telah menghidupi kalian semua" tentulah tidak tepat jika ia membanding-bandingkan keadaan yang dialaminya dulu. Dulu dalam keadaan serba susah dì rumah kontrakan sempit itu, suaminya hanya asyik digoda isi pikiran sendiri, seakan lupa hal utama dan paling mendasar di rumah yang harus ia pikirkan juga seperti kebutuhan untuk makan yang tak bisa ditunda serta biaya sekolah Rien. Waktu itu Muna merasa Mitri hanya membela pendirian-pendiriannya sendiri karena simpul impian yang Mitri bawa dari dunia lampaunya begitu kuat mengikat. Dunia lampau itu adalah persentuhan singkat Mitri dengan kehidupan intelektualnya. Sebelum mereka menikah Mitri memang sempat mencicipi kehidupan universitas. Di universitas itu Mitri pernah aktif mengikuti kegiatan-kegiatan menulis karangan. Selain Mitri gemar membaca apa saja, kegiatan itu berandil menimbulkan pikiran-pikiran baru dalam kehidupannya. Sepak terjang kesusastraan yang dibumbui dongeng-dongeng hebat tentang para penulis sukses, itulah yang terus-menerus menggoda Mitri dan menghadapkannya pada dunia mengarang yang dianggap lebih menantang dan berharga ketimbang bekerja lain. Mitri memandang bahwa menulis adalah pilihan spektakulernya. Sejak saat itu Mitri tak mau berhenti lagi. Setelah menikahinya, memiliki anak, Mitri tetap teguh memelihara tujuannya tak peduli apakah pilihannya benar atau tidak. Muna berpikir waktu itu Mitri telah berdosa, tidak saja pada dirinya, tetapi juga pada Rien, yang membiarkan mereka bertahan dalam keterluntaan, membiarkan mereka tersekap suram di gubuk sempit yang sekedar hidup dengan nasi dan ikan kering yang diasinkan. Muna sudah merasakan sendiri betapa banyak teror kepedihan dan pahit getir yang tak pantas diingat lagi selamanya. Sebagaimana ia melihat perjuangan suaminya dulu, Muna yakin kebanyakan penulis menjalani hari-hari berat seperti itu. Mereka gila, dalam artian gila merenung sendiri, gila bicara sendiri, gila dalam cara menyikapi hidup, gila memimpikan hal yang tak pasti, makan tak teratur, kurang tidur, banyak merokok, merasa kesepian, dan hal-hal absurd lain. Terlalu naif bila ada yang berkata "sungguh indah menyulam hidup dari menulis" sebab kenyataannya akan banyak pengorbanan. Hidup penulis itu indah namun permulaan yang ditempuh tak semudah membalik telapak tangan. Itu sebab Muna tak ingin Rien mengikuti jejak Mitri. Muna tahu Rien pun tak terlalu serius menekuni dunia ayahnya. Itulah yang kerap membuat Mitri kecewa.

Muna memandang dalam-dalam wajah Mitri. "Menurutku lebih Rien menekuni pekerjaannya sekarang, menulis dijadikan sampingan saja. Susah mencari kerja seperti itu. Apalagi gajinya lumayan dibanding tempatnya bekerja dulu."

"Terserah. Tapi Rien harus tetap menulis," sahut Mitri. "Ini berarti buatku. Rien harus jadi penulis penerusku di kota ini. Ingat, bagaimanapun pekerjaannya itu belum tentu abadi. Belum aku dengar bekerja di lembaga pembiayaan seperti itu bisa abadi. Bisa-bisa malah celaka."

"Semoga tidak," kata Muna. "Apalagi aku lihat Rien serius pada pekerjaan itu. Sekalipun Rien perempuan, anakmu itu sudah biasa bekerja di dunia laki-laki. Rien itu keras, aku belum berpikir ada orang menganggapnya sepele. Bekerja sebagai field survei di lembaga pembiayaan itu agaknya dia sukai. Tidakkah kau lihat anakmu sekarang lebih bersemangat dari sebelumnya?" ia coba menepis pendapat suaminya. Muna berkeras karena ia ingin anaknya memiliki pekerjaan terbaik. Tak ada yang lebih tahu apa yang terbaik untuk anaknya selain pengetahuan seorang ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun