Utsman bin Affan naik menjadi khalifah ketiga setelah wafatnya umar. Naiknya Utsman menjadi khalifah tidak semata-mata dipilih secara langsung akan tetapi hasi dari musyawarah dewan syuro yang dibentuk Umar sebelum wafat. Dewan syuro ini orang pilihan Umar diantaranya Ali bin Abi Talib, Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan Sa'ad bin Abi Waqas.[1]
Kenaam orang ini bermusyawarah untuk menetukan khalifah selanjutnya yang akan menggantikan Umar bin Khattab yang kemudian hasil dari musyawarah tersbut adalah Utsman pantas yang akan melanjutkan kekhalifah seterusnya. Mereka memilih Utsman karena dianggap paling senior diantara mereka dan dia juga merupakan menantu Nabi Muhammad SAW.
Utsman bin affan memiliki julukan Zunnuarain Walhijarotin artinya Utsman memliki dua cahaya dan telah dua kali hijrah. Dia juga memiliki kedudukan yang terhormat dan memiliki panggilan khusus, Dzun Nur’aini diaman telah menikhai dua putri Nabi Rukayah dan Umi Kulsum.
Utsman merupakan salah satu sosok sahabat yang sangat dekat dengan Nabi Muhammad SAW dan dia juga adalah salah satu orang yang disegani diakalangan kaum muslim maupun diantara sahabat karean berasal sari keturunan bangsa saudagar Arab yang kaya raya.[2]
Tapi dengan gelar ataupun dengan kedudukannya yang terhormat baik telah menikahi dua putri Nabi maupun keturunan sodagar kaya raya Utsman memiliki sifat yang rendah hati. Hal ini terbukti ketika dia beristirahat di masjid dengan kedaan masjid masih banyak kerikil sehingga ketika beliau bangun maka kerikil tersebut berbekas di badan Utsman. Ummat muslim melihat hal tersebut serntak mereka berkata Hadza Amirul Mukminin.
Khalifah Utsman bin Affan memimipin umat islam saat berusia 73 tahun dan dia menjadi khalifah selama 12 tahun yaitu dari 23-35 H atau 644-655 M. Ketika awal pemerintahnya islam mengalami kemajuan dan kemakmuran dengan pesat karena kepemimpinan yang dibawakannya baik. Utsman juga dikenal mempunyai karakteristik yang mulia pandai dalam memimpin.
Hal ini terbukti pada saat Nabi Muhammad masih memimpin umat islam. Ketika perjanjian hudaibiyah yang dilanggar oleh kaum Qurasy pada saat itu, maka untuk menyelesaikan maslah ini Nabi Muhammad mengutus Utsman dengan tujuan untuk melakukan negosiasi atau musyawarah dalam rangka melakukan perdamaian untuk menjaga keamanan dan menghindari ancaman kepada ummat muslim lainnya.[3] Kemudain pada awal pemerintahannya Utsman menumpas bebagai pemberontakan yeng memanfaatkan wafatnya Umar. Terpilihnua Utsman menjadi khalifah tidak bisa diragukn kembali karena memiliki karakter dan sifat diantaranya:
Jujur
Amanat
Tabligh
Fathanah
Tempramen yang baik
Sabar
Setia
Kriteria-kriteria di atas telah mempengaruhi praktek diplomasi serta prinsip dalam menjalankan pemerinthan berdasarkan yang telah Nabi praktekkan pada masih hidupnya.
Utsman sendiri tidak pernah merubah administrasi negara baik dalam hukum ataupun keamanan, beliau tetap mengacu apa yang sudah dipraktekkan oleh Rasulallah SAW.
Dalam praktek diplomasinya Utsman juga mempraktekan demokrasi guna menjaga kedaulatan negara pada saat itu. Bagi Utsman sendiri khalifah bukan hanya sekedra badan pemerintahan atau hanay bertugas mengumpulkan pajak, namun juag sebagai pengabdi masyarakat. Kekhalifahan Utsman juga diikuti dengan keberhasilan, diantaranya keberhasilan dalam menangani pemeberontakan Umar, selain itu juag melakukan politik ekspansi dalam menaklukkan daerah-daerah guna menyebarkan agama islam seperti Azerbaijan, Ar-Ray, Alexandria, Tunisia, Cyprus, Armenia, Tripoli, An-Nubah, Kufah, Kerman.[5]
Dalam penerapan kebijakannya Utsman memiliki perbedaan dengan kebijakan Umar pada masa pemerintahannya. Hal itu bisa kita lihat dengan kebebasan yang diberikan Utsman pada rakyat. Pada saat itu rakyatnya diperbolhekan untuk keluar daerah yang dimana hal tersebut tidak ditemui pada zaman Umar bin Khatab.
Dalam pemilihan Usman Bin Affan, dilakukan dengan musyawarah dan kemudian mengkerucut dengan dua nama yaitu Ustman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib. Dan pada akhirnya dengan hasil musyawarah, terpilih lah Ustman Bin Affan sebagai Khalifah. Dalam dunia yang modern ini, praktik politik tersebut dikenal dengan ‘’Demokrasi’’. Adapun tugas-tugas dan wewenang yang belum terselesaikan oleh Umar diteruskan kembali oleh Ustman. Tugasnya ialah usaha-usaha dalam pembebasan wilayah.
Sementara dalam perluasan kearah timur, pasukan islam dapat membebaskan Armenia utara, beberapa bagian dari Tabaristan yang belum ditaklukkan sebelumnya, daerah-daerah disebelah sungai Jihun, Baktria, Kabul, Ghazna dan Turkistan, yang semuanya terletak di Asia Tengah. Daerah-daerah yang telah berhasil di bebaskan oleh nya ialah Barqoh, Tripoli bagian Barat, Nubia daerah utara selatan dan Tunisia. Semua daerah tersebut terletak di Afrika Utara. Dan pada massa khalifah Usman inilah pasukan islam mulai membangun angkatan laut dan berhasil menaklukkan pulau Siprus dan Rhodes. Dalam politik luar negri Utsman menerapkan politik ekspansi untuk pembebasan-pembebasan daerah-daerah islam.[6]
Semua pembebasan wilayah tersebut berhasil dilakukan oleh Ustman dengan cepat dan baik yaitu dengan Berdiplomasi. Konteks diplomasi yang di aplikasikan oleh Ustman ialah melalui cara kelembutan, kebijakan, ketidak paksaan, atau yang dapat kita sebut pada zaman politik modern ini adalah “Soft Diplomacy”. Dalam diplomasi nya, ustman sangat akrab dengan tiap-tiap suku yang dipimpin nya untuk memahami karakter-karakter umat nya dan memperlakukan sikap nya dengan sesuai sifat-sifat masing-masing individu umat nya. Ia bersikap lembut dan adil kepada siapapun dan bahkan musuh nya sekali pun. Adapun kebijakan sikap nya ia lakukan demi terjalan nya kepemerintahan dengan sejahtera adil dan tentram demi kemajuan umat islam pada zaman itu menuju ke masa keemasannya.[7]
Berkat kedermawanan dan kelembutan nya dalam menjalankan kepemerintahan menjadi khalifah, Ustman mampu menjabat selama 12 tahun dan berhasil membawa kemajuan umat islam ke masa keemasannya. Soft Diplomasi yang dijalankan oleh Ustman merupakan salah satu wujud hasil implementasi nya dari sifat Ustman itu sendiri. Sehingga sangat berpengaruh dalam praktek diplomasi serta prinsip kepemimpinan dalam kekhalifahan Ustman Bin Affan.
___________________________________________
Andnote:
[1] Musthafa Murad, Kisah Hidup Umar ibn Khattab (Jakarta: Zaman, 2014)
[2] Imam as-Suyuthi, Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah (Jakarta: Qisthi Press Anggota IKAPI, 2015) Hal. 83.
[3] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 84
[4] M. Ebrahim Khan, Kisah-Kisah Teladan; Rasulullah, Para Sahabat dan Orang-Orang Saleh (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2006), hal. 189
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 40
[6] Musthafa Murad, Kisah Hidup Utsman Ibn Affan (Jakarta: Zaman, 2009), hal. 62 (Murad, Kisah Hidup Utsman Ibn Affan , 2014)
[7] Ibid, hal. 65
___________________________________________
Daftar Pustaka
as-Suyuthi, I. (2015). Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah . Jakarta: Qisthi Press Anggota IKAPI .
Khan, M. E. (2006). Kisah-Kisah Teladan; Rasulullah, Para Sahabat dan Orang-Orang Saleh . Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Murad, M. (2014). Kisah Hidup Umar ibn Khattab. Jakarta: Zaman .
Murad, M. (2009). Kisah Hidup Utsman Ibn Affan. Jakarta: Azam.
Supriyadi, D. (2008). Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Yatim, B. (1993). Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H