Mohon tunggu...
Ramdhani Adinegoro
Ramdhani Adinegoro Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa UIN SUNAN KALIJAGA semester 1 TA 2013/2014 fak. Ilmu Sosial dan Humaniora. prodi Ilmu Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Media Dalam Wacana Postmodernisme

17 Desember 2013   10:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:50 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Bahasan tentang postmodernisme di atas, meski hanya sekilas, cukup memberikan gambaran tentang zaman atau peradaban di mana media massa sebagai salah satumakhluk-nya hidup dan berkiprah. Salah satu watak media massa yang kemudian berkembang dalam asuhan zaman postmodernisme itu adalah watak media yang cenderunghiperialis.

Istilah hiperialitas media (hyper-riality of media) diperkenalkan oleh Jean Baudrilard untuk menjelaskan perekayasaan ( dalam pengertian distorsi ). Dalam wacanaposmediayakni adanya sembiose antara realitas dan fantasi media, hiperealitas media diyakini berkembang ketika media dikendalikan oleh dua kekuatan utama yakni kekuatan politik dan kekuatan ekonomi. Objektivitas, kebenaran, keadilan dan makna sebagi kepentingan publik lalu dikalahkan oleh subjektivitas, kesemuan, dan permainan bahasa (language game). Media massa boleh jadi mencoba untuk merepresentasikan peristiwa – peristiwa secara objektif, jujur, adil, transparan  akan tetapi, berbagai bentuk  tekanan dan kepentingan ideologis telah menyebabkan media terperangkap  ke dalam  politisasi media dan hiperialitas media yang tidak menguntungkan publik.

Ketika media dikendalikan oleh berbagai kepentingan ideologi di baliknya maka, ketimbang menjadi cermin realitas (mirror of reality), media sering dituduh sebagai perumus realitas (definer of reality) sesuai dengan ideologi yang melandasinya ( Bennet, 1982 ). Beroperasinya ideologi  di balik media, tidak dapat dipisahkan dari mekanisme ketersembunyian dan ketidaksadaran yang merupakan kondisi dari keberhasilan sebuah ideologi. Artinya, sebuah ideologi itu menyusup dan menanamkan pengaruhnya lewat media secara tersembunyi dan ia merubah pandangan setiap orang secara tidak sadar ( Gramsci dalam Mouffe 1979 ).

Selain faktor tekanan ideologi dan kekuatan ekonomi, hiperialitas media juga dipicu oleh perkembangan teknologi media yang dikenal sebagai teknologi simulasi.  Simulasi sebagaimana diperkenalkan oleh Baudrillard (1983) adalah penciptaan model-model kenyataan yang tanpa asal-usul atau referensi realitas. Dalam konteks media, simulasi adalah penciptaan realitas media yang tidak lagi mengacu pada realitas di dunia nyata sebagai referensinya, sehingga ia menjadi semacam realitas kedua yang referensinya adalah dirinya sendiri yang disebutsimulacrum.

Hiperalitas media mewarnai dengan sangat kental kehidupan komunikasi politik di Indonesia sejak zaman Orde Baru sampai dengan Orde Reformasi sekarang ini. Kita masih ingat tatkala Orde Baru berkuasa media massa dipenuhi oleh tontonan simulakrum mulai dari simulakrum konflik SARA, simulakrum konflik kekerasan antar partai dst. Di awal Orde Reformasi kita pun disuguhi paket simulakrum sandiwara peradilan mantan presiden Soeharto yang sesungguhnya hanyalah citra dan penanda artifisial yang tujuannya adalah demi popularitas rezim penguasa yang baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun