Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Koran Pagi Ini

23 Februari 2016   12:44 Diperbarui: 18 November 2017   17:10 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="pinterest.com/pin/40391727884745654/"][/caption]

KORAN PAGI INI

Ramdhani Nur

Ini pasti sudah jam delapan lewat. Gulungan koran pagi ini saya tilik sudah teronggok di depan teras rumah. Kali ini lemparannya jitu. Pot kaktus yang saya pajang di dinding masih kokoh berdiri. Tukang koran itu mungkin belajar banyak dari penjelasan saya tentang sebuah perjalanan panjang akan  pentingnya menghargai proses kehidupan--yang tentu saja saya analogikan sekenanya dengan pot kaktus itu--bahwa pot yang terjatuh dan merusakkan tangkai kaktus bukanlah cara orang menghargai hidup. Agak mengada-ada memang. Hanya saja itu ada hasilnya. Termasuk saat saya menjelaskan soal waktu. Sederhana saja. Saya jelaskan padanya dengan bersungguh-sungguh, bahwa koran pagi tidak lagi menjadi koran pagi jika dia hantarkan lewat dari jam sebelas. Sejak saat itu--dan sampai kini--gulungan koran itu tak pernah telat terlontar dari jam delapan.

Saya beringsut saja menuju teras. Ada kursi dan meja di dekat sana. Cuma tak ada kopi. Saya pun tidak terlalu peduli. Begitu pula soal berita-berita politik yang menghabiskan seluruh halaman muka koran. Saya tidak ambil pusing dengan segala kisruh dan kegaduhan yang terjadi belakangan ini, maka itu kehidupan di pagi saya menjadi santai. Saraf-saraf saya relaks semua. Sudahlah tanpa kopi masih dibikin pusing pula. Risiko yang begitu-begitu benar-benar sedang saya hindari.

Dalam koran yang berlembar-lembar itu, saya hanya mencari berita kriminal. Kasus apa saja. Saya telusuri tiap kolom satu persatu. Kalau tidak sedang mengangkat kasus heboh, berita-berita kriminal di koran itu benar-benar sangat sedikit. Dibanding kasus-kasus politik, kasus kriminal mestinya dapat porsi pemberitaan lebih banyak. Persoalan hidup lebih mudah mengundang orang berbuat kriminal.

Tentulah para pejabat dan politikus itu punya pula persoalan hidup. Bahkan tekanannya mungkin lebih tinggi. Namun saya berani bersumpah—sebagai pembaca berita kriminal—tak pernah muncul satu berita pun soal pejabat yang dipukuli masa karena kedapatan mencuri pisang dari kebun tetangga sebagai peredam bagi rengekan lapar anak-anaknya, atau hal-hal serupa itu. Itulah bedanya. Sebesar apapun persolaan hidup mereka, kecuali akhirnya benar masuk dalam berita kriminal, saya tak pernah begitu memedulikannya.

Empati saya tidak diobral. Tidak seperti kepada satu berita kriminal yang baru saya baca di halaman keenam ini. “Pergoki Suami Selingkuh, Ibu Muda Ini Membakar Rumahnya Sendiri”. Luar biasa! Dan biasanya kemudian saya mendecakkannya keras-keras. Kali ini pun begitu. Bahkan dilanjutkan dengan upaya saya menarik cangkir dan menyeruput kopi, lalu berakhir dengan gelengan kepala. Sialnya semua itu batal terlaksana. Tidak ada kopi hari ini di sini.

Di hari-hari lain saat saya menemukan kondisi ini, saya akan mudahnya berteriak agak lantang mengarah dapur: “Lasmi..., mana kopinya?”

Sayangnya, hari ini bukanlah hari-hari lain di luar itu. Meski saya berteriak lantang-lantang, Lasmi tak akan keluar dari tirai dapur.

Baiklah, saatnya sedikit sentimental. Saya tak sungkan menunjukkan ini. Lasmi adalah pusaran perasaan saya. Selama pusaran itu berputar, selama itu pula arus rasa saya bergerak. Seperti turbin dia membangkitkan hati saya. Dari situ saya bisa memahami bagaimana hati itu mudah sekali membahagiakan, pula melukakan.

Lasmi menciptakan keduanya. Lasmi pula yang paling mahir menciptakan kenikmatan dalam secangkir kopi. Tapi pagi ini tak ada kopi. Tak ada pula pertanyaan lembut darinya saat pagi-pagi sekali kutemukan tubuhnya melenggang: “Mau ditaruh di mana kopinya?” Kalau sudah begini saya mulai mudah untuk merinduinya. Wajar tentu. Terutama karena Lasmi itu adalah istri saya.

Istri yang luar biasa tepatnya. Di saat tertentu saya kadang menggumamkan keluarbisaannya itu sebagai kesialan. Ya, Lasmi adalah istri yang luar biasa sekaligus sial. Terutama karena bandingannya saya, maka Lasmi itu betul-betul istri yang sial. Usianya baru dua puluh dua saat dia anggap penolakan terhadap permintaan ayahnya itu sama saja dengan cara pemutus jalan menuju surga.

Empat belas tahun jeda usia tidaklah jadi penguat penyangkalan atas kehadiran duka pada raut wajahnya, asalkan dia masih menemukan raut bahagia pada wajah ayahnya. Lasmi kemudian menerima pernikahan saya. Kepada saya, ayahnya itu sama sekali tak memiliki hutang budi.

Ini bukan kisah perjodohan sadis tentang penukaran cinta atas harta dan jabatan. Saya orang biasa. Bukan orang terpandang atau serba ada. Demikian pun saya bukanlah orang hina atau papa. Saya hanya pernah ingat terlahir di sebuah tempat yang manakala nama itu tersebut giranglah paras ayah Lasmi itu. Semangat betul beliau bercerita. Sepertinya tak pernah habis kisah itu diputar berjam-jam tiap kali saya menemui Lasmi.

Saya kagum padanya. Lasmi kagum pada saya, karena melalui saya Lasmi dapat menemukan kembali kehidupan pada ayahnya. Entahlah, apakah itu menjadi hal tebaik buatnya. Namun sepertinya rasa kagum itu tetap tak hilang selepas empat tahun pernikahan kami, tepat di hari-hari kematian ayahnya. Itu yang saya sebut luar biasa.

Tak ada yang berubah setelahnya. Begitupun sampai menjelang  dua belas tahun dari hari pernikahan kami, tak berkurang simpati dan kepandaian Lasmi berdalih pada sesiapa yang bertanya soal ketakhadiran anak di antara kami. Keluarbiasaan Lasmi yang lain. Saya sama sekali tak memiliki kepintaran seperti itu. Tak pula tertular secuil kepintarannya bahkan untuk sebuah cangkir racikan kopi.

“Mungkin karena kau suka saja kalau aku yang membuatnya.”

Begitulah jawabannya tiap kali saya bertanya resep kenikmatan kopinya. Lalu Lasmi tersenyum. Lasmi senang sekali tersenyum. Di antara lengkung bibirnya yang kemerahan itu, ada surga yang terpenggal. Menjadi milik siapa saja yang mampu melihatnya. Surga yang tak mampu saya tahan tertebar percuma.

Pernah sekali waktu saya melihat Lasmi tertawa. Renyah. Itu akibat sebuah lelucon. Agen asuransi saya yang membuatnya. Dia bilang, agen asuransi yang baik adalah mereka yang mampu memastikan kliennya sadar akan pentingnya produk-produk asuransi dengan rayuan-rayuan yang membuatnya tak tersadar. Saya pun ikut terbahak. Itu cara saya menghargai keceriaan Lasmi. Meski ternyata cara tawa kami berbeda. Sunggah tak mudah untuk menggambarkan tawanya, ada bahagia yang meledak. Tawa Lasmi seperti kran yang mengalirkan bahagia-bahagia. Entah bagaimana sebelumnya itu bisa tertahan.

Untuk hal ini kadang saya berniat berterima kasih pada agen asuransi saya itu. Dia memang berkharisma. Tawa-tawa kemudian pecah saat itu. Lasmi terlihat bahagia. Saya dipikatnya pula. Dua buah mobil dan rumah yang saya tinggali ini dia buatkan asuransinya. Belakangan tanpa sepengetahuan Lasmi, saya ikutkan pula namanya dalam daftar asuransi saya.

Hari-hari setelah itu saya sering melihat Lasmi tertawa. Rumah kami penuh dengan tawa Lasmi. Rumah kami menjadi surga, kumpulan semua aliran bahagia Lasmi. Turbin di perasaan saya pun terus berputar tak terkendali. Saya tak berdiam diri. Saya terus mencoba menyelaraskan tawanya, tapi selalu saja tak pernah tampak serupa. Sama halnya saat saya mencoba takaran dan racikan kopi dengan cara yang berbeda, tetap tak ada kenikmatan cinta Lasmi di dalamnya. Saya akhirnya sampai pada titik kesadaran tertinggi. Saya menyerah.

Beginilah jadinya tiap kali saya mengingat Lasmi. Saya menjadi perenung dan pemurung. Waktu menjadi kosong dan menua. Tiba-tiba saja siang menyala-nyala. Tukang sayur kedua baru saja lewat, berteriak menawarkan sayuran tanpa ada yang memedulikan. Saya ingin sekali memakinya, atau sedikit memberinya ceramah akan pentingnya ketepatan dan kemanfaatan waktu antara durasi memasak dan tersajinya jam makan siang, jika dia tetap keliling berjualan di tengah hening kompleks perumahan ini, tepat di bawah matahari garang. Untung saja dia tak lekas-lekas beranjak. Syaraf-saraf saya tak jadi tertarik-tarik tegang.

Koran berlembar-lembar ini kemudian saya tutup saja. Tanpa kopi dan berita kriminal yang memuaskan, pagi ini hanya menyisakan kehampaan yang menganga.

*****

Mungkin  ini sudah jam delapan lewat. Koran pagi ini sudah tersaji di atas meja. Saya masih mencari berita-berita kriminal. Kali ini saya tak perlu lagi repot-repot membuka tia lembar-lembarnya untuk menemukan berita kriminal. Di halaman muka baris terbawah, jelas-jelas terbaca berita kriminal terheboh pekan ini: “Pelaku Pembunuh Lasmi dan Teman Lelakinya Terungkap”.

Luar biasa! Saya berdecak sambil geleng-geleng kepala. Tangan saya refleks menjulur pada cangkir kopi yang disuguhkan asisten Inspektur yang memeriksa saya sejak kemarin sore. Dia sudah mulai relaks, begitupun dengan saya. Mungkin yang dia butuhkan sudah cukup didapatinya. Tak canggung lagi saya menatapnya, lalu meminta persetujuan: “Boleh saya minum kopinya?”

*****

Cirebon, Januari 2016

Melatih jemari kembali

Picture is taken here

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun