Empat belas tahun jeda usia tidaklah jadi penguat penyangkalan atas kehadiran duka pada raut wajahnya, asalkan dia masih menemukan raut bahagia pada wajah ayahnya. Lasmi kemudian menerima pernikahan saya. Kepada saya, ayahnya itu sama sekali tak memiliki hutang budi.
Ini bukan kisah perjodohan sadis tentang penukaran cinta atas harta dan jabatan. Saya orang biasa. Bukan orang terpandang atau serba ada. Demikian pun saya bukanlah orang hina atau papa. Saya hanya pernah ingat terlahir di sebuah tempat yang manakala nama itu tersebut giranglah paras ayah Lasmi itu. Semangat betul beliau bercerita. Sepertinya tak pernah habis kisah itu diputar berjam-jam tiap kali saya menemui Lasmi.
Saya kagum padanya. Lasmi kagum pada saya, karena melalui saya Lasmi dapat menemukan kembali kehidupan pada ayahnya. Entahlah, apakah itu menjadi hal tebaik buatnya. Namun sepertinya rasa kagum itu tetap tak hilang selepas empat tahun pernikahan kami, tepat di hari-hari kematian ayahnya. Itu yang saya sebut luar biasa.
Tak ada yang berubah setelahnya. Begitupun sampai menjelang dua belas tahun dari hari pernikahan kami, tak berkurang simpati dan kepandaian Lasmi berdalih pada sesiapa yang bertanya soal ketakhadiran anak di antara kami. Keluarbiasaan Lasmi yang lain. Saya sama sekali tak memiliki kepintaran seperti itu. Tak pula tertular secuil kepintarannya bahkan untuk sebuah cangkir racikan kopi.
“Mungkin karena kau suka saja kalau aku yang membuatnya.”
Begitulah jawabannya tiap kali saya bertanya resep kenikmatan kopinya. Lalu Lasmi tersenyum. Lasmi senang sekali tersenyum. Di antara lengkung bibirnya yang kemerahan itu, ada surga yang terpenggal. Menjadi milik siapa saja yang mampu melihatnya. Surga yang tak mampu saya tahan tertebar percuma.
Pernah sekali waktu saya melihat Lasmi tertawa. Renyah. Itu akibat sebuah lelucon. Agen asuransi saya yang membuatnya. Dia bilang, agen asuransi yang baik adalah mereka yang mampu memastikan kliennya sadar akan pentingnya produk-produk asuransi dengan rayuan-rayuan yang membuatnya tak tersadar. Saya pun ikut terbahak. Itu cara saya menghargai keceriaan Lasmi. Meski ternyata cara tawa kami berbeda. Sunggah tak mudah untuk menggambarkan tawanya, ada bahagia yang meledak. Tawa Lasmi seperti kran yang mengalirkan bahagia-bahagia. Entah bagaimana sebelumnya itu bisa tertahan.
Untuk hal ini kadang saya berniat berterima kasih pada agen asuransi saya itu. Dia memang berkharisma. Tawa-tawa kemudian pecah saat itu. Lasmi terlihat bahagia. Saya dipikatnya pula. Dua buah mobil dan rumah yang saya tinggali ini dia buatkan asuransinya. Belakangan tanpa sepengetahuan Lasmi, saya ikutkan pula namanya dalam daftar asuransi saya.
Hari-hari setelah itu saya sering melihat Lasmi tertawa. Rumah kami penuh dengan tawa Lasmi. Rumah kami menjadi surga, kumpulan semua aliran bahagia Lasmi. Turbin di perasaan saya pun terus berputar tak terkendali. Saya tak berdiam diri. Saya terus mencoba menyelaraskan tawanya, tapi selalu saja tak pernah tampak serupa. Sama halnya saat saya mencoba takaran dan racikan kopi dengan cara yang berbeda, tetap tak ada kenikmatan cinta Lasmi di dalamnya. Saya akhirnya sampai pada titik kesadaran tertinggi. Saya menyerah.
Beginilah jadinya tiap kali saya mengingat Lasmi. Saya menjadi perenung dan pemurung. Waktu menjadi kosong dan menua. Tiba-tiba saja siang menyala-nyala. Tukang sayur kedua baru saja lewat, berteriak menawarkan sayuran tanpa ada yang memedulikan. Saya ingin sekali memakinya, atau sedikit memberinya ceramah akan pentingnya ketepatan dan kemanfaatan waktu antara durasi memasak dan tersajinya jam makan siang, jika dia tetap keliling berjualan di tengah hening kompleks perumahan ini, tepat di bawah matahari garang. Untung saja dia tak lekas-lekas beranjak. Syaraf-saraf saya tak jadi tertarik-tarik tegang.
Koran berlembar-lembar ini kemudian saya tutup saja. Tanpa kopi dan berita kriminal yang memuaskan, pagi ini hanya menyisakan kehampaan yang menganga.