Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rezeki Samtari

19 Mei 2012   08:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:06 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rezeki Samtari

Oleh: Ramdhani Nur


[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="http://www.prince91.com/"][/caption]

Gagang pacul itu kembali digantungkan pada dinding kayu rumahnya, persis di tempat yang sama saat pagi Samtari mengambilnya. Tetap bersih, sebagai penanda jika satu-satunya alat pengumpul uangnya itu tak digunakan sama sekali seharian ini. Padahal hari belum sore benar, azan Ashar baru saja redup, tapi sudah diputuskannya untuk pulang. Dihitungnya akan lebih bermanfaat jika sisa waktunya dia habiskan di rumah, membantu istri menyetrika pakaian tetangga atau memandikan anak-anak. Tak masalah rasanya. Beruntunglah satu kekhawatiran lain sudah hilang. Untuk makan hari ini Samtari ingat masih punya sisa persediaan beras dan ikan lele pemberian Sagrip kemarin sore. Sebuah keberuntungan lain lagi. Karena dia memiliki tetangga yang begitu peduli pada nasib keluarganya.

Udah pulang, Bang?” pertanyaannya istrinya itu bertubrukkan dengan dehemannya ketika tubuhnya memasuki bilik sumur.

“Iya ….”

“Lho, terus yang gali siapa?” Istrinya tahu persis jika pertanyaan serupa itu hanya dibalas diam dalam tarikan napas, dia pasti akan cepat memahami. “Udah diborong Bang Husin?”

Samtari mengangguk. Tak pernah ada lagi percakapan setelahnya. Tangannya lalu segera merenggut handuk lusuh dari tiang jemuran di halaman samping rumahnya. Kotak sabun dan odol juga ikut ditenteng menuju bilik sumur umum tak jauh dari pohon kemboja dekat pintu masuk pemakaman Petratean.

****

“Kenapa hidup saya kok begini terus. Apa Tuhan sudah kehabisan rezeki buat saya?”

“Hush! Eling, Sam!” gertak Sagrip sungguh-sungguh. “Istighfar!” tambahnya lagi.

Memang sering kali Sagrip mendapati tetangga sebelah RT-nya itu mengeluh soal kondisi ekonomi keluarganya. Tapi tak pernah bernada menggugat seperti ini. Tiap kali Sagrip selalu berhasil menghilangkan keluh kesah Samtari dengan ucapan-ucapannya yang melembutkan, biasanya dipungkasi dengan memberikan pinjaman uang sekadar sepuluh atau dua puluh ribu jika Samtari memang betul-betul butuh. Jika pun tidak, setidaknya tiap minggu istri Samtari akan selalu menerima uang dari hasil keringatnya menyetrika pakaian keluarga Sagrip. Si Sulung Ocim juga selalu dapat tumpangan gratis menaiki motor Sagrip, karena sekolahnya searah dengan sekolah Teguh, anak pertama Sagrip. Kadang, entah karena iba, Teguh sering kali mengepalkan uang dua ribu rupiah pada genggaman Rahman, meski kepala anak itu kontras menggeleng-geleng. Masihlah bisa dibilang tetap ada rezeki. Jadi tak ada alasan sama sekali Samtari menggugat Tuhan yang kadung dipercaya sebagai yang Maha Kaya dan Maha Pemurah.

Kalo kamu sekarang merasa hidup susah, sabarlah. Cuma soal waktu saja. Allah belum ngasih keluasan rezeki buat kamu saat ini, mungkin saja karena kamu belum siap nerimanya. Makanya kamu diuji dulu dengan kesusahan. Jika dengan kesusahan iman kamu tetap teguh dan kuat, mungkin saatnya Allah akan menguji kamu dengan kecukupan. Ingat, semuanya tetap dalam bentuk ujian.”

Samtari hanya bisa menunduk. Diam. Mendengar kembali celotehan Sagrip, selain menciptakan kemasyukkan religius pada dirinya sekaligus juga membuat gelas kopi dan kacang kulit hanya bisa terus dipandangi terdiam di teras rumah Sagrip.

“Percayalah, Allah akan ngasih jalan buat kamu pada saatnya nanti. Lihat saja saya! Kamu tau sendiri gimana kelakuan saya dulu. Jadi preman kampung, tukang judi, tukang mabok. Kamu sendiri pernah saya pukuli kerana nggak ngasih duit. Kalo kebetulan Allah ngasih mati pada saat saya masih bergumul dosa, seratus persen sudah pasti saya bakal masuk neraka. Tapi Allah ternyata masih ngasih kesempatan saya untuk bertobat. Saya diuji juga untuk bertobat, hasilnya bisa kamu lihat sekarang ini. Saya berubah.”

Samtari mengangguk-angguk.

“Saya bertaubat, berubah, bekerja, memohon, dan pasrah. Saya tak pernah bermimpi memiliki rumah, kendaraan, dan pekerjaan seperti ini, tapi Allah ngasih semuanya. Kamu juga bisa seperti itu, Sam." Samtari masih bergeming. Lalu didekatkan wajahnya pada tubuh Samtari. "Kira-kira dari semua usaha itu mana yang belum kamu lakukan?”

“Belum semua mungkin. Tapi saya nggak pernah berbuat maksiat seperti kamu, Grip.”

“Itu lebih baik. Tapi tobat tetep perlu. Bagaimana pun kita pasti pernah berbuat dosa. Dosa-dosa kecil atau yang tak kita sadari, Insya Allah lebih mudah diampuni. Tinggal selanjutnya tanamkan dalam hati untuk mengubah diri menjadi manusia yang lebih baik dan menjadi pekerja yang lebih bersemangat. Bisa kamu, Sam?”

“Insya Allah.”

Sagrip menarik napas lega. Dilihatnya memang ada desir-desir darah yang turun, membasmi emosi dan sikap menggugat pada diri Samtari. Seperti penilaiannya Samtari memang bukan tipe lelaki sulit. Dia hanya butuh orang untuk mengingatkan.

Kemudian kopi mulai diseruput Sagrip. Samtari menyeruput lebih sedikit.

Denger, Sam! Mumpung sekarang malam Jumat, cobalah kamu bangun menjelang subuh nanti. Salat malam. Bertobat. Minta dibukakan rejeki. Adukan semua kesusahanmu langsung pada Allah. Asalkan ikhlas Insya Allah akan diijabah.”

Sepertinya Samtari menyetujui itu. Mungkin dia belum pernah benar-benar melakukannya, mungkin dia hanya melakukannya tanpa keikhlasan. Samtari pun segera pamit, setelah diberi anggukan oleh Sagrip plus ditentengi sebungkus sisa kacang kulit yang diterimanya dengan malu-malu.

Malamnya, Samtari benar-benar mengikuti saran Sagrip. Lepas jam dua dia terbangun. Dalam kesadaran yang dipaksakan untuk segera terkumpul, menujulah dia ke bilik sumur. Berwudu lalu kembali ke rumah. Salat dua rakaat segera dia dirikan. Kali ini sepertinya gerakan-gerakan Samtari jauh lebih khusyuk. Pada rakaat tiap ruku dan sujudnya dibuatnya lebih lama dan syahdu. Selesai salam, dia ulangi salat dua rakaatnya. Khusuk lagi. Terus begitu sampai pengulangan kelima pada sujud terakhirnya, tertumpahlah air mata pada sajadah entah oleh sebab apa. Mungkin dia sudah mencapai pada ujung kepasrahan tertingginya. Ada beban yang terlepas hilang secara perlahan. Dibumbui isak yang begitu nyaring terdengar. Tapi tak ada yang begitu bisa mendengarnya di rumah itu, kecuali hanya Sang Maha Mendengar itu sendiri.

****

“Bangun, Bang!”

Samtari terkesiap. Guncangan tangan istrinya membuat matanya terbuka perlahan. Sudah terang ternyata. Dia pasti langsung tertidur setelah salat Subuh tadi.

“Ada kerjaan gali buat Abang, Pak RT yang minta!”

Ada pekik syukur yang sengaja tak terucap. Napasnya berkali tertarik dalam. Cepat betul Tuhan menjawab pintanya. Padahal baru semalam dia memohon keikhlasan dan kelapangan rezeki, belumlah sampai matanya terbelalak, Tuhan sudah menjatuhkan rezeki tepat di hadapannya. Subhanallah.

Cepet mandi, Bang. Terus sarapan. Ada tiga lubang yang mesti digali.”

Ah, tiga pula! Rasa syukur ini ingin rasanya Samtari panjatkan dengan segera bersujud. Tapi dia paham benar, sebagai penggali kubur, rezeki bagi dirinya bagaikan buah simalakama, karena tentu ada orang lain di sana yang berduka dan merasa kehilangan. Buru-buru kemudian Samtari menarik handuk. Bergegas menuju bilik sumur. Namun sedetik kemudian Samtari merasa ada semacam kekuatan yang membuat tubuhnya kaku dan melemas saat tangannya hendak meraih pintu bilik. Pada saat yang sama didengarnya jelas suara-suara menyaring dari mushola dekat rumahnya. Sebuah pengumuman duka cita.

Innalillahi wa innailaihi raji’uun, telah meninggal dunia Bapak Sagrip, Ibu Tri, dan Ananda Teguh warga RT 4 RW 12 pada pukul tiga lebih lima belas menit dini hari tadi. Jenazah akan dikebumikan di pemakaman Petratean pukul dua siang ini.

Samtari melemas. Lunglai. Didengarnya sekejap riuh orang yang mengerubung dalam desas-desus tentang sebuah perampokan yang terjadi di RT sebelah sebelum tubuhnya benar-benar terjatuh.

Cirebon, 19 mei 2012
Biar lama yang penting nulis. Catatan khusus untuk tokoh Sagrip jika ingin dimunculkan kembali, tolong dihidupkan dulu.
Sumber gambar dari sini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun