Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tuh, Kan? Romantiiis!

14 Januari 2012   09:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:54 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


[caption id="" align="alignlcenter" width="300" caption="Sumber: http://newbit.in/Bulk-SMS.php"][/caption]


Oleh: Ramdhani Nur

Ada yang berbeda dari kebiasaannya setiap kali aku pulang bekerja. Belum selesai aku mengunci motor ojekku, Maryani sudah menyambutku begitu mesra. Diselusupkannya jemari pada pinggangku, sementara tubuhnya yang berdaster pendek makin merapat saja mengunci pergerakanku. Aku tidak tahu apakah Midun, tukang mie tek-tek itu, ikut juga melihat ketika bibirnya dimanyunkan hingga mencapai pipiku.

Kenape, Neng?”

Meski balasannya sebuah pelototan manja, tapi aku belum mengerti juga maksudnya. “Kenape apaan, emang kagak boleh manja-manjaan sama laki sendiri?”

Digiringnya aku masuk ke dalam kamar kos. Di sini lebih mengagetkan lagi, kopi panas sudah mengepul di atas meja. Belum lagi sepiring cakue dan rokok kretek yang masih terbungkus. Maryani kemudian duduk seenaknya di sofa bututku, membuat dasternya tersingkap tinggi.

“Sini dong, Bang …!”

Aku akhirnya turut terduduk juga disampingnya, setelah tangannya menarikku jatuh bersisian. Pada hari-hari biasa Maryani tidak seperti ini. Selalu terlihat cuek. Kopi dingin pun sudah bagus dia sediakan. Apalagi kalau kemudian tahu hasil setoran mengojekku cuma dapat sedikit. Pasti aku dihadiahi omelan panjang yang berasal dari bibirnya yang manyun dan sepotong punggung pada malam harinya. Bukannya aku tidak senang dengan perlakuannya yang berubah drastis begini, tapi aku malah mencurigai hal yang melatarbelakanginya

Maapin aye udah nuduh Abang yang nggak-nggak. Ternyata abang emang cinta dan setia ama aye.” Dia lalu mengeluarkan hape dari balik dasternya. Senyumnya tak tahan dia bentuk saat tangannya mulai mengutak-atik tombol hape. “Aye kagak ngira Abang bisa seromantis ini. Aye jadi ngerasa ngelayang ….”

Aku terus mendehem. Belum juga menangkap maksudnya.

“Aye baca terus SMS Abang ini. Bener-bener bikin deg-degan.“ Lalu senyumnya membuncah. Kemudian disodorkannya HP jadul itu padaku. “Bacain lagi, Bang! Aye pengen denger langsung dari mulut Abang.”

Seperti mulutku, tanganku gelagapan menyambut HP itu. Aku belum tahu persis SMS mana yang pernah kukirim padanya.

“Bacaaa…,” manjanya lagi

Aku harus menunggu sekian detik untuk mengatur napasku, sebelum akhirnya SMS itu aku baca perlahan. “Neng sayang, sungguh Abang cinta mati sama kamu. Abang ngerasa nyaman deket sama kamu. Kamu manis, baik dan pengertian selama ini. Maapin Abang, kadang suka bikin kamu marah atau cemberut, tapi sebenernya Abang sayang banget sama kamu. Sebagai buktinya, minggu depan Abang janji bakal beliin kamu kalung emas. Jadi jangan marah dan cemberut lagi ya. Dah, Neng! Mmmmuach!”

“Tuh, kan … romantiiis!” sambarnya dilanjutkan dengan ciuman.

Aku menelan ludah sejadinya. Menahan debar dan sesak yang terasa tiba-tiba menyerang. Oh, ternyata karena SMS ini! Entah ini kabar baik atau baruk. Yang jelas, inilah penyebabnya kenapa Aristin tidak juga kunjung membalas SMS-ku.

****

Cirebon, 14 Januari 2012
Sumber gambar dari sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun