SEKUNTUM KEMBANG
Oleh: Ramdhani Nur
[caption id="" align="aligncenter" width="317" caption="sumber gambar :http://andrehanworld.blogspot.com/2010/08/sebuah-arti-dalam-warna-bunga-mawar.html"][/caption]
Kita ini sekuntum kembang
Hanya jadi penghias jambangan
Hanya jadi teman jam jaman
Diputar siang malam*
Sudah kukira, pekat malam keseratus dua puluh dua sejak delman menjauh dari gapura desa itu ternyata hanya bersinggah pada panggung-panggung drama saja. Di sinilah nasib menari. Mementaskan lakon bagi jiwa-jiwa yang pasrah. Di sini pula segala rasa bertumpah. Kita bisa mengaduh sekaligus mendesah. Tertawa sekaligus terbata. Lihatlah, sampai seratus dua puluh dua malam ini aku masih bisa merasakannya dengan kenikmatan yang tak berkurang. Ah, Rosmini, mestinya kau harus menjadi sepertiku. Menjadi sekuntum kembang yang menari-nari mengaitkan malam-malam yang selalu kau kutuk.
Tentu saja aku ingat pada Bang Yatno, yang kau adukan padaku perlakuannya tiap malam. Aku ingat dialah yang menyejajarkan kita pada dinding bersendernya perempuan-perempuan dari kampung lain. Itu malam kedua. Empat kali dia mencolek perutmu. Waktu itu kau memang sintal, Rosmini. Meskipun kita sama penakutnya saat sadar takdir hanyalah sebuah nasib yang menipu. Pelinting rokok, begitu awal kita dijanjikan. Hahaha! Kita begitu naïf mengarti rokok yang dia maksud. Ah, kau tentu tak bisa tertawa sepertiku ya? Tapi menurutku, tak baik pula kau terus-menerus mengurung.
Lihatlah sisi baiknya Ros! Kita ini hanya sekuntum kembang. Harumnya tak lama. Hargailah! Berbanding denganku, kau adalah mawar dalam jambangan. Dirawat, dipandang, dan diciumi. Bolehlah kau sebut Bang Yatno itu bajingan, tapi kau tak sengsara, Ros. Dia masih menyimpan jambangannya baik-baik dalam rumah. Sementara, entahlah aku kembang apa. Tak ada vas yang pantas untukku. Selalu terlempar dari sebarang kamar ke lain kamar. Dari drama ke lain drama. Aku selalu menari, Ros. Malamku selalu mengiring dalam beragam gending. Sampai aku berpikir langit-langit gulita itu pun punya ritme yang sama pekatnya dengan nasibku.
Asal kau tahu, aku sudah berhenti menangis sejak malam ketiga puluh dua, Ros. Jadi aku sulit memahami tangismu tiap malam itu. Aku juga sudah lupa tangis bapak dan ibu di desa. Masihkah menitik air mata? Masihkan bersambut dengan lirih doa? Bukan aku tak percaya, Rosmini. Tapi jika benar air mata mereka itu selalu berujung doa, tak perlulah butuh ratusan hari untuk membebaskan kita dari jebakan nasib ini. Tapi aku tak menggugat, Ros. Kita ini hanya sekuntum kembang. Suatu saat layu dan kusam. Suatu saat ditendang dan dibuang. Aku hanya memastikan aku tetap menjadi kembang saat terbuang.
Sudahlah, Ros! Kalau kau lelah dengan kehidupan kita, aku justru lelah terus-menerus memikirkan kekhawatiranmu. Menarilah saja! Tak perlu bertanya ini tari apa. Kita ini hanya sekuntum kembang. Hanya jadi jam jaman yang diputar siang malam. Aku percaya tarian kita ini pasti berujung. Aku hanya tak ingin menangis saat kita mengenang ini nanti. Ayo, mari menarilah, Ros! Menarilah!
*****
Cirebon, 6 September 2011
*Potongan lirik lagu “Sekuntum Kembang”
**Terinspirasi dari lagu “Sekuntum Kembang” lirik karya N. Riantiarno, syair karya Harry Roesli, dibawakan oleh DKSB.
lagu diambil dari www.4shared.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H