Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Gadis yang Menangis dalam Gerimis

7 Desember 2010   05:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:57 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

I love walking in the rain...
So people dont recognize that actually i'm crying...

Gadis itu bernama Dea. Lelaki yang kemudian mengejarnya adalah Ken. Cinta yang jadi muasalnya. Ditemukan, dibagikan, kemudian dipertanyakan. Trotoir menyepi terbungkus gelap. Gerimis memenjara malam dalam dingin. Dea dan Ken akan menaruh cinta. Sebagai esok atau kemarin.

"Kau ingin aku berekspresi apa, Ken? Tangisku sama buntunya dengan amarah. Semua memang ada di hati. Tapi seperti kau lihat, aku tak bisa menunjukkan itu padamu. Jadi jangan memaksaku lagi untuk satu hal seperti ini!"

"Kau tahu aku sangat menyesal..."

Di hamparan petak bebatu trotoir yang basah Dea pasrah terus dikuntit Ken. Sejak dari dalam cafe tadi Dea tahu luka dari Ken adalah sebuah pengakhiran. Ken tak mengerti, cinta tak bisa ditawar. Dia lebih berharga di atas perjodohan adat. Ken Chaniago dan Lolita Hapsari, adalah nama-nama yang sudah tertera dalam buku suratan para leluhur kampung. Sementara seperti cinta, nama Deazlina seperti tak berhurup untuk dituliskan pada lembar takdir apapun.

"Cinta ini sebenarnya tak pernah ada, dan duka di mataku tak pernah sesederhana seperti lukisan luka yang senang kau gambarkan di setiaku. Kau mengerti? Jadi semua ini tak perlu berubah menjadi penyesalan."

Dea tak sungguh menangis. Bulan Mei saat matahari masih berupa terik, Dea pernah benar-benar menangis. Ken menghadiahi cinta tepat di usianya yang ke dua puluh. Dea tak menuntut apa-apa, cinta - jika itu benar perwujudan dari kesejatian - akan tetap membara tanpa melukai. Dea terlanjur percaya itu, sampai suatu saat ketika matahari Desember lebih sering sembunyi.

"Kau boleh salahkan takdir, Tuhan, orang tuamu, orang tuanya, toh semua sudah terjadi. Undangan telah tersebar, seperti katamu. Kau sendiri tak tahu dimana aku bertempat di antara semua kesalahan itu. Dan kau pun tak mesti peduli dimana akhirnya aku mesti berakhir."

"Dea, maafkan aku..."

"Berhagialah, Ken! Secepat kau menghapus gambaranku, secepat itulah waktu mengobatiku."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun