Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Anywhere But Here

22 Januari 2011   09:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:18 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Aku bosan dengan angin yang menjatuhkan banyak daun turi di halaman rumah. Berisiknya selalu membengkalaikan hayalanku yang hampir terbangun sempurna. Padahal pada detik jam yang kerap bertik-tak di tengah rumah saja, aku sudah cukup dibuatnya sedemikian kesal. Lalu ibu terbatuk-batuk. Sesekali memanggil namaku, sesekali hilang. Tak ada hayalan yang bisa tumbuh dan berakhir. Selalu terputus. Membuat lelaki sederhana yang mengiba mengajakku menjauh dari sini turut pupus. Belum selesai kugambarkan rupanya, belum usai kuhayalkan sorot matanya yang teduh atau bibirnya yang lembut saat merayu impianku pergi dari sini.


Aku juga jengah pada rerumputan liar yang memanjang sejauh mataku menjamah. Luasnya hanya terhenti pada pagar pinus-pinus yang rimbun. Di atasnya burung-burung gereja hinggap, mematuk lalu pergi. Berulang begitu, kaku sekali. Karena itu kerap menyata dalam gelap saat mataku tertutup rapat. Selalu saja kuusir burung-burung itu dari kepala agar hayalanku tentang lelaki yang mengajakku pergi dari sini bisa terisi menggantinya. Tiap kali itu berhasil, aku akan sangat terlalu ngantuk.Aku memaki-maki malam yang tak menjatuhkan mimpi di tidurku. Dan pagi kemudian terjaga oleh Ibu yang terbatuk-batuk. Sesekali memanggilku, sesekali hilang.


Aku pun benci pada pohon karet yang kugugus kulit batangnya setiap tahun. Dua belas sudah tergores di sana. Ibu yang menggoreskannya pertama kali, sebagai penanda terakhir kali pedati melintas membawa ayah. Seingatku senyap saja jawaban ibu saat kutanyakan kenapa pedati itu tak kunjung kembali. Berikutnya tugaskulah yang melukiskan tahun-tahun hilangnya pedati itu di dinding pohon karet. Kadang-kadang kutuliskan juga namaku di situ besar-besar. Agar kuhapal cara membacanya lalu akan kuucapkan keras-keras pada orang-orang yang kutemui di suatu tempat jika suatu saat lelaki hayal itu membawaku pergi dari sini.

Kemarin, aku ingin sekali menebangnya. Tapi tak jadi. Tergganggu oleh ibu yang terbatuk-batuk hebat. Lalu sesekali memanggil namaku, sesekali hilang.


Saat ini bolehlah ku bilang ini sebuah senja, saat angin tak lagi membuat pohon turi berisik menjatuhkan daun-daunnya, saat burung-burung gereja berhenti mematuk-matuk ilalang di gelap pandanganku, saat pohon karet bosan bercerita tentang kepergian pedati karena tubuhnya cuma bersisa sejenggal saja dari tanah. Adalah semua karena lelaki itu. Aku telah berhasil membuatnya sempurna dalam hayal. Rupanya, sorot matanya, bibir lembutnya dan rayuannya untuk kepergianku dari sini. Begitu sempurna! Senja ini telah mengijinkanku pergi meninggalkan jengah. Ya, aku berhasil merasakan hidup tanpa jengah. Kubiarkan saja berlama-lama hayal itu membentuk, bersama riuhnya jam di tengah rumah yang bertik-tak. Sampai kudengar ibu terbatuk-batuk. Sesekali memanggil namaku, sesekali hilang.



*****

To Nita ponakanku yang ingin menemukan kehidupan baru…..


Cirebon, Januari

Meminjam potongan lirik dari Lisa Loeb – I Wish (1999)

Sumber gambar www.winecountryart.blogspot.com/2009/01/silence-in-january-patrick-orourke.html




Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun