Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tak Ada Cinta di Paris #3 (50k)

5 Januari 2011   12:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:56 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namaku, Aryani. Pebruari ini usiaku genap 24 tahun. Tapi hanya sejak umur 18 tahun aku benar-benar merasa hidup. Ada sebuah peristiwa besar sebagai muasalnya. Saat itu aku hanyalah gadis SMA yang rapuh. Cinta yang sederhana bisa sangat membunuh. Secuil saja dia menggores hatiku, hidupku langsung runtuh. Apalagi jika dia sampai menusukku.

Parislah penyebabnya. Jika diingat, aku pun sulit mengerti kenapa aku begitu melankolik saat remaja dulu. Romantismeku sangat dipengaruhi hal-hal hayal dari buku atau film. Keagungan cinta yang disajikan di dalamnya seperti sebuah inspirasi-inspirasi tentang cinta yang mengejar. Ya, kini aku tak lagi malu mengakuinya. Keagungan cintaku adalah inspirasi hidup dari sebuah film yang kutonton. Eiffel I'm in Love! Keterlaluan ya? Pada masaku tentu tidak. Aku dulu begitu menyukai seluruh aspek yang ada di film itu. Kisah, tokoh, artis, dan tentu lokasinya, Paris. Seperti kunci yang membuka pintu semua hal tentang keindahan. Dan cinta jadi berlipat indahnya jika kau masukkan kata Paris ke dalamnya. Begitu kata, Claude, lelaki blasteran yang sering kutemui di sebuah gym. Aku yang masih ternganga pada Paris sudah langsung terohok oleh lelaki yang sebagian hidupnya memang habis disana. Beribu ceritanya tentang romantisme sang kota, membuat beribu jarak patah untuk membuat cinta semodel monyet tumbuh menjulang.

Dengan Claude, inspirasi cintaku tentang Eifel I'm in Love bukan lagi cuma mimpi. Dia menjadikan diriku seperti Tita yang dihujani asmara di kota cinta. Aku terlanjur percaya jika Claude bisa melakukannya. Menghidangkanku cinta tepat di bawah menara Eiffel. Ah, aku pasti terbahak-bahak jika mengenang itu. Dan aku akan mudahnya untuk menangis, sesaat kemudian. Claude ternyata punya cara yang buruk mengungkapkan cinta. Jauh sebelum Paris menjamahku, dia lebih dulu mencobanya di sebuah hotel. Aku bilang mencoba. Karena dia terlalu mabuk untuk menyadari diriku sebagai sasaran iblis cintanya.

Eiffel I'm in Love-ku hancur berantakan. Inspirasi cintaku tak lagi bermula dari film-film atau buku romantis. Dia telah lebur tertimpa menara itu. Aku benci Claude, juga romantika cinta ala Eiffel I'm in Love. Semuanya aku kubur dalam-dalam. Aku berhenti menjadi remaja sederhana yang mudah terpengaruh oleh cinta hayali. Dan hidupku bermula dari sana, tak mudah dan tak kan pernah mudah tanpa seseorang yang membantu menyemangatiku. Tentang dia akan ku ceritakan nanti, karena sampai kini pun kisah tentangnya belumlah usai.

Dengan semua itu anehnya aku tak membenci Paris. Entahlah! Kota itu tetap menjadi obsesi diriku tentang segala hal. Bahasa, fesyen, sastra dan teater. Paris juga tenar dengan seni peran ini. Aku mengetahuinya dari mbak Novi yang sempat belajar teater di sana. Sungguh benar-benar sejiwa denganku. Aku suka sekali pada teater. Tak peduli apakah aku pandai bermain atau tidak, tak peduli apakah aku paham atau tidak. Bagiku itu bagai sebuah jembatan mengkomunikasikan apa-apa yang tak sanggup kita tunjukkan dalam keseharian. Aku benci, mungkin benar. Aku marah, mungkin juga benar. Tak tak pernah ada ekspresi sekuat yang kuterima saat kutumpahkan segalanya di atas panggung. Meski itu hanya sebuah peran-peran kecil. Meski aku tak benar-benar terjun bebas ke dunianya. Tapi itulah sisi dunia yang membuatku hidup. Makanya selepas SMA setelah tragedy cinta yang merusak itu, tak meragu aku memilih berkuliah di jurusan Sastra Perancis. Ayah agak kecewa memang. Dua tahun sejak aku masih di SMA dia sudah mempersiapkan sekolah untukku di luar negeri, Singapura atau Australia. Tapi ayah tak banyak berkomentar saat melihatku begitu gigih pada pilihanku. Pilihan yang juga tak melulu tentang kesukaanku pada hal yang berbau Paris atau teater, tapi juga tentang sesorang yang belum akan kuceritakan saat ini.
****
(cuplikan dari lanjutan Tak ada cinta di Paris....alhamdulillah bisa nyetor. total kata 1k :D)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun