Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Rantang Tanpa Tutup

2 November 2010   06:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:54 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pukul 11 lewat 7. Terlalu awal untuk pulang. Sepi dan kosong. Itulah kondisi rumah yang aku dapati setibaku dari sekolah. Rumah yang cukup besar, tapi terasa tak bernyawa meski dihuni oleh tiga jiwa. Aku meraih pintu depan. Tak terkunci ternyata. Ibu pasti sudah pulang dari menjaga los sayur di pasar. Tapi tak kutemui ibu di dalam. Mungkin sedang beristirahat. Menyahutinya bukanlah kebiasaanku lagi. Tidak sejak tiga tahun lalu. Aku sudah SMU kini. Tak lagi memaksakan diri untuk tetap manja dengan memanggilnya keras-keras. Kedewasaanku menyadari kondisiku yang bukan lagi anak-anak, sejalan dengan sikapku yang mulai mengambil jarak dengan ibu. Entahlah mengapa? Banyak hal dalam hidupku yang baru bisa kupahami kini. Tentang bapak yang harus berpisah dari hidupku, tentang lelaki yang memaksaku memanggilnya ayah. Langkahku terayun menuju kamar. Letaknya paling pojok sebelah kanan dari ruang makan yang aku singgahi. Sambil berlalu, kubuka tutup saji di atas meja. Tak ada apa-apa. Hanya tersaji rantang tanpa tutup berisi dua buah mangga yang sudah dikupas sebagian dan pisau buah yang tersembul di antara keduanya. Ibu belum masak rupanya. "Asih!" sebuah suara tiba-tiba mengagetkanku. Mataku menoleh lekat menuju sumber suara. Bukan ibu! Tapi ayah! Ternyata dialah yang ada di rumah ini yang membiarkan pintu tak terkuci. Entah dimana ibu. Aku mulai bereaksi berbeda. "Sudah pulang jam segini?" Tak menghiraukan, aku malah balik bertanya. "Kenapa di rumah? Mana ibu?" "Ayah tak enak badan, jadi hari ini tak masuk kerja. Ibumu masih di pasar." Lelaki itu tersenyum sambil mendekatkan langkahnya padaku. Aku ingat senyum itu. Sama persis seperti yang kulihat beberapa malam yang lalu saat dia menyelinap ke dalam kamar. Hal yang kemudian mati-matian ingin kulupa. "Jangan takut, nak! Tolong Ayah, ya?" Badannya makin mendekat. Dua tiga langkah mundurku tetap tak berhasil membuat jarak. * * * Pukul 12 lewat 3. Rumah menjadi ramai. Aku terduduk dikelilingi orang-orang. Ibu menangis histeris. Tak banyak yang mampu kuingat lagi, selain senyum ayah dan pisau yang menyembul dalam rantang tanpa tutup. Cirebon, 1 November 2010 *ini lanjutan kisah sebelumnya Rantang Bersusun Tiga, moga ga bikin penasaran lagi :D **foto diambil dari www.sepedaonthelkebo.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun