Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sebuah Hari yang Berantakan

13 Oktober 2010   04:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:28 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku bergegas keluar dari pintu ini menuju taksi yang terparkir. Sungguh sulit menutupi rasa kecewa di hati ini. Sesak dadaku rasanya. Dua belas tahun aku berusaha membuat kata bangga menjadi nyata buatnya. Segala cara telah aku lakukan agar hatinya terbuka dan menerima. Tapi selalu gagal. Juga dengan hari ini. Dia merobek-robek cek yang aku berikan padanya. Tanpa dia baca angka-angkanya sama sekali. Padahal itu cukup untuk dibelikan satu dua sapi buat kurban nanti. Sebuah nilai yang besar, mengingat semua itu aku dapat dari serpihan keringat, tenaga dan rasa maluku selama bertahun. Aku memberikannya dengan kesungguhan cinta, hormat, dan sayang. Tapi baginya itu tidak memiliki arti apa-apa. Tak secuil pun. Dia tetap keras. Tak dihargainya perasaanku sama sekali. Aku sadar semua karena keputusan yang pernah aku buat dulu. Keputusan yang membuat dia sangat murka. Menjadikan kata maaf seolah benar-benar sudah tak ada. Aku kerap membela diri soal ini. Bahwa aku sesungguhnya memang berbeda. Bukan sekedar sebuah rasa melainkan fakta. Sebuah perbedaan yang sama sekali tak bisa dia terima. Apalagi ketika kemudian aku memilih untuk benar-benar menjadi berbeda. Keadaan sungguh berubah setelahnya. Dia mengusirku dengan bermacam laknat dan serapahnya. Dialah bapak, lelaki yang kutemui sore ini. Pintu mobil hampir kuraih ketika teriakan bapak kembali memecah telinga dan hatiku. Aku nyaris menangis, tapi ibu dan adik-adikku sudah benar-benar menangis mengelingkan bapak. "Pergi kamu! Pergi! Bapak tidak pernah punya anak seperti kamu. Memalukan! Ingat, Joko! Ingat benar-benar! Jangan pernah kembali ke rumah ini kalau kamu masih seperti ini! Karena kamu tak punya keluarga lagi disini!" Pintu mobil kubuka. Aku duduk di dalamnya dan menarik nafas kuat-kuat. Berbagai rasa bergulat di dada. Segera kuperintahkan supir agar berangkat dan meninggalkan tempat ini. Meninggalkan kepiluan ini. "Hotel Lingga!" sahutku lemah. Aku menatap spion depan. Tergambar wajahku disana. Kelam. Kubiarkan saja satu dua bulir air mata jatuh di pipi, merusak make-up dan blush on-ku. "Hotel yang tadi ya, Mbak?" tanyanya. Aku mengangguk. Sungguh hariku begitu berantakan. Cirebon, 12 Oktober 2010 *foto diambil dari www.image.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun