Pasar Perum dua hari menjelang lebaran sibuk benar. Ibu-ibu dan gadis remaja penuh di antara jongko-jongko sayuran dan sembako. Transaksi, obral, dan tawar menawar terdengar bingar. Dari keramaian itu, mata saya jatuh pada seorang wanita ayu berkaca mata. Saya meyakinkan diri jika gadis muda itu belum menikah. Entah, bisa jadi itu karena harapan saya saja.
Saya benar-benar terpana pada penampilan dan kecantikannya. Tubuh kecilnya tampak serasi dengan sweeter tipis merah jambu yang di bagian bahunya tertutupi sebagian oleh rambut panjangnya yang hanya dirapikan oleh dua buah jepit hitam di kiri kanannya. Kulit wajahnya putih bersih. Kaca mata model klasik melapisi mata kecilnya yang berbulu mata indah. Ah, saya hampir menelan ludah saat menatap bibir merahnya yang lebih banyak tersenyum saat menawar sayuran di ujung jemari lentiknya. Saya tidak tahu apakah mengagumi kelebihan salah satu makhluk-Nya akan mengurangi kebaikan ibadah puasa saya. Saya juga tidak tahu dari mana debar ini berasal. Kaki saya seakan terbenam sebagian ke dalam bumi saat tak sengaja wajahnya beradu dengan tatapan saya. Dia tersenyum pada saya. Ya Tuhaan...! Tak pernah saya terima senyuman seindah ini. Belum usai napas saya kembali berirama normal, gadis indah itu menunjuk ke arah saya kemudian memanggil lembut. Benarkah ini? Tapi tak mungkin salah karena dia mengulanginya sekali lagi.
Kaki lemas saya terseret berat, mata jangar saya menatapnya lurus lekat, debar jantung saya berdegup kuat-kuat. Keindahannya seperti berlipat saat aku makin mendekat. Saya tak sabar menunggu bibirnya kembali berucap. Dan akhirnya saya memang mendengarnya.
"Bang, bawain yang ini ke mobil itu ya! Biar yang ini saya bawa sendiri."
Cirebon, 7 September 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H