Raka mulai merangkak kembali setelah beberapa tahun tanpa status yang jelas. Â Antara hidup dan mati. Â Sudah sejak lama malaikat maut geram. Â Ingin memotong pernapasannya. Â Namun tentu ia tidak bisa berbuat apa-apa tanpa perintah tuhan. Â Seandainya malaikat berprilaku seperti manusia, pasti ia akan berlaku sewenang-wenang. Â Layaknya manusia, kesal sedikit golok langsung melayang. Â Suatu ketika Raka sedang tidak melamun, berpikir pun tidak. Â
Tatapannya kosong mengarah pada bebatuan dan rerumputan yang tersisa beberapa saja.  Sisanya sudah raka cabuti denga tangan isengnya.  Ia tidak berniat mengurus lahan itu.  Namun langkah tangannya sudah mencabuti rumput di dalam lahan kosong berukuran 5x10 meter.  Sesekali diselingi dengan tawaan yang hanya ia sendiri  mengerti apa yang sedang ia tertawakan.  Orang lain tidak.  Malaikat maut yang hari itu kebenaran memiliki banyak tugas di wilayah Raka tinggal. Â
Perlahan menghampiri. Â Dengan muka tanpa dosa Raka tak memperhatikan ada seseorang datang. Â Malaikat maut agak sedikit kesal dengan tingkah Raka yang sedikit pun tak terganggu. Â Semakin lama semakin dekat kini Raka bertatapan langsung dengan malaikat maut. Â Heran bin ajaib bukan lari atau menjerit Raka terus mencabuti rumput dan mulai tertawa pada malaikat maut. Â Geram, merasa di permalukan oleh cecungik kecil yang tertawa di hadapannya, lantas ia berniat memukul kepala Raka. Â Tentu bukan pukulan biasa, tapi apa daya ia tak berhak apapun.
"Baru kali ini aku melihat ada manusia tertawa saat bertemu denganku. Â Biasanya mereka akan lari terbirit-birit atau menjerit ketakutan. Â Tapi kali ini tidak," gerutunya. Â Namun karena tugas masih menumpuk ia lanjutkan tugas ke peloksok negeri.
Raka adalah seorang lelaki 25 tahun. Â Lahir di tepi kota saat mendekati krisis moneter yang begitu mengguncang dan merubah prilaku sosial masyarakat. Â Lalu tumbuh besar seiring dengan tidak stabilnya perekonomian. Â Sarapan pagi dengan satu butir telur yang digoreng kemudian dibagi lima adalah hal yang sangat biasa sekali pada waktu itu. Â Makan sekali dalam sehari pun sudah tidak kaget jika memang sang ayah pulang tanpa sepeser uang. Â Maka setelah dewasa hal-hal yang menyangkut kebendaan sudah tidak terlalu penting baginya.
Lalu apa yang membuatnya tak bergairah untuk hidup. Â Seandainya ia diciptakan tanpa rasa lapar tentu ia tidak akan makan. Â Tidak seperti yang lainnya yang bisa memakan apa saja walaupun sedang tidak lapar. Â Baginya lapar adalah hal yang menyiksa. Â Bukan gairah yang tak akan pernah selesai dan selalu berganti. Â Dan ia tidak suka menyiksa dirinya. Â Ia lebih memilih bebas tanpa siksaan. Â Hanya tuntutan makan dan tidur yang masih ia penuhi. Â Yang lainnya ia tidak peduli.
Sadar akan lahir sebagai kaum pinggiran membuatnya mempunyai mimpi yang begitu besar. Â Bukan hanya memikirkan tentang keagungan untuk dirinya, ia juga bercita-cita menjadi jagoan untuk orang disekitarnya. Â Namun apa daya, perjalanannya selalu dipenuhi kepahitan. Â Gagal dan gagal lagi. Â Raka lupa bahwa keinginan yang besar harus didukung oleh banyak penyokong. Â Bahwa keinginan adalah sumber penderitaan. Â Pada akhirnya ia muak dengan kata-kata penyemangat hidup. Â Dalam keadaan terjepit seperti itu orang-orang terdekat meninggalkannya. Â Di luar kehendak mereka. Â Sebab itu Raka menjadi hidup tak beraturan. Â Cita-citanya hanya ingin menjadi sampah masyarakat, tapi karena dari awal ia senang membantu, taat terhadap agama dan dipandang tidak bodoh-bodoh sekali, masih banyak yang percaya bahwa Raka sedang menjalankan ilmu laduni.
"aku tidak butuh itu," ungkapnya setiap kali kerabat mencoba mengembalikan semangat hidupnya.
Hari ini malaikat maut mampir lagi ke desa dimana Raka tinggal. Â Tanpa disenghaja kembali bertemu dengan Raka di pinggir kali sambil melempar batu ke sungai. Â Entah apa tujuannya ia menyebrangkan batu satu persatu.Â
        "Siapa namamu hey anak muda," tanya malaikat maut.
        "Kau tidak tahu namaku, bagaimana bisa?"
        "Aku hanya mengetahui nama-nama orang yang memang aku berkepentingan bertemu dengannya."
        "Lalu mengapa kau menemuiku jika tidak mempunyai kepentingan?  Pergi sana."
Baru kali ini malaikat maut diusir keberadaannya oleh manusia yang memang biasa saja. Tentu itu  adalah hinaan yang sangat untunnya.  Ingin sekali ia mengantam saja muka raka.  Namun kembali ia teringat akan tugasnya.  Ia tidak boleh berlaku sewenang-wenang,  ahirnya dengan ia meninggalkan Raka dengan membawa kebencian yang bertambah.
Seiring wadah yang melanda dan ketidakpatuhan masyarakat menerapkan protokol kesehatan, banyak orang gugur sebelum mencapai tua.
Raka menyadari setiap kedatangan lelaki besar dengan bulu lebat di dada, selalu diiringingi tangis penduduk desa.  Akhirnya ia menyimpulkan bahwa wadah yang sedang menyerang desanya adalah lelaki yang sering ia jumpai.  Maka disusunlah rencana membunuh sumber wadah tersebut.  Diasahnya golok, parang, dan kujang wasiat peninggalan mendiang sang buyut yang ia percayai sakti.  Bahkan ia siapkan juga senapan angin.  Seadainya melihat dari kejauhan ia akan lesatkan sekaligus.  Walau hidup tanpa tujuan namun melihat penduduk desa selalu menangis ia merasa terusik.  Bagaiamanapun cita-cita ingin bermanfaat bagi lingkungan  masih sedikit melakat pada darahnya.
hari mulai lembayung. Â Langit berubah menjadi merah mencengkam. Â Malaikat maut memperhatikan raka yang sedang memaikan golok dan tertawa sendirian di gerbang desa. Â Ingin sekali ia menghardiknya. Â Bisa-bisanya Raka tertawa terbahak-bahak saat lembayung. Â Orang-orang pergi sembayang memohon ampun dihapus dosa dan meminta dipanjangkan umur sebab wabah sedang melanda desa. Â Namun karena waktu yang begitu mepet ia tidak sempat mengampirinya. Â Tugas malaikat maut harus sesuai. Â Pada alamat yang tepat, orang yang dituju dan waktu yang pas. Â Mungkin jika disandingkan dengan kurir-kurir pengahantar paket, Â ia yang paling unggul.
Terdengar pengumuman kematian dikumandangkan di toa disusul dengan tangisan desa, tubuh Raka mulai bergetar. Â Mukanya merah melebihi lembayung.Â
"Ini pasti ulah lelaki itu," gerutu Raka. Â Ia bersumpah tidak akan tertidur sebelum menghabisi lelaki yang dianggapnya wabah. Â Â
"Trang, trang, trang." Â Suara golok bertemu tongkat besi. Â Gerakan raka yang begitu lincah, mengayunkan golok ke kiri dan ke kanan. Â Selalu begitu setiap saat malaikat maut mendatangi desa. Â Bahkan saat ia menjauhpun Raka menyusulnya dengan tembakan senapan angina. Â Malaikat maut semakin kesal. Â Baru kali ini ada seorang manusia yang berani mengusik dan mengganggu tugasnya. Â Bukan tambah berani. Â Ia menjadi ciut. Â Sebagaimana yang dia rasakan, ia adalah makhluk yang paling ditakuti, Â maka ketika ada seorang yang berani mengancamnya, maka pasti bukan sembarang makhluk. Â Ia menjadi takut mengunjungi desa tersebut, takut bertemu Raka. Â Bentrokan tak terelakan setiap kali mereka berjumpa. Â Hingga akhirnya ia mengajukan negosiasi mencari akar masalah demi mencapai kesepakatan bersama. Â Tidak ada yang dirugikan. Â Raka menyetujui tawaran itu. Â Diadakan gecatan senjata selama proses negosiasi.Â
Dengan terang benderang malaikat maut menyampaikan alasannya mengapa ia begitu kesal dengan tingkah Raka yang tidak memiliki tujuan  hidup.  Ia juga memperkenalkan diri dengan jujur tidak ada yang ditutup-tutupi bahwa ia adalah malaikat pecabut nyawa.  Demikian pun raka menerangkan tentang kisah hidupnya yang begitu perih dan mengapa pula baru-baru ini ia memburu malaikat maut.  Alasan Raka bisa dimengerti.  Sang pencabut nyawa menganggut-angukan kepalanya.  Begitu pula dengan Raka setelah dipikir, alasan malaikat maut mendatangi desa pun masuk akal.  Malaikat maut hanya menjalankan tugas.  Adapun penduduk desa yang berguguran itu adalah akibat mereka sendiri yang tidak mematuhi protokol kesehatan.  Jika dilihat lebih jauh, wabah yang melanda desa pun adalah hasil dari sebab akibat aktivitas manusia, iklim dan alam.  Semuanya masuk logika.Â
Setelah pertemuan yang dingin itu, mereka saling memaafkan.  Raka tidak mungkin mengganggu tugas yang sedang diemban malaikat maut.  Sebaliknya pun demikian.  Malaikat maut memahami apa yang dialami Raka.  akhirnya mereka berteman hingga saat ini.  Dimana pun mereka bertemu selalu bertegur sapa.  Seperti ungkapan prancis mengatakan  "Tout comprendrer est tout pardoner"  jika saling mengerti maka akan saling memaafkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H