Mohon tunggu...
Ramdani Husein Renngur
Ramdani Husein Renngur Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Eko-Kapitalisme: Kebutuhan Akumulasi Kapital dibalik Konsep Pembangunan Berkelanjutan

2 Januari 2025   06:29 Diperbarui: 2 Januari 2025   06:29 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam beberapa dekade terakhir, isu lingkungan semakin menjadi topik yang seringkali diperbincangkan. Baik dalam diskursus ilmu pengetahuan, maupun seluruh elemen masyarakat. Disoroti oleh masyarakat nasional maupun internasional. Setiap tindakan perusakan lingkungan bahkan yang berpotensi merusak lingkungan akan menjadi sasaran kritikan dari berbagai kalangan aktivis, akademisi, dan masyarakat umum. Keresahan ini menjadi wajar, sebab kerusakan lingkungan akan berdampak negatif pada kehidupan manusia.

Sektor yang sangat terdampak juga adalah industri ekstraktif, sebab industri ekstraktif merupakan faktor antropogenik dari kerusakan lingkungan. Di Indonesia, berdasarkan data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dalam dua puluh tahun terakhir, terjadi peningkatan emisi sektor energi lebih dari dua kali lipat dibandingkan permintaan energi. Dengan 600 juta ton CO2 dari sektor energi pada tahun 2021, Indonesia adalah penghasil emisi terbesar kesembilan di dunia. Kemudian hilirisasi pertambangan mineral kritis seperti nikel juga berdampak pada deforestasi hingga 25.000 hektar dalam 20 tahun terakhir dan akan terus meningkat mengingat pemberian luas konsesi pertambangan nikel di dalam kawasan hutan mencapai 765.237 hektar yang diperkirakan akan menambah 83 juta ton emisi CO2.

Jika tidak ada perubahan dari pola perilaku manusia terhadap alam, maka kepunahan umat manusia menjadi hal yang semakin nyata di hadapan mata. Bukan manusia, jika tidak bisa untuk beradaptasi dengan kondisi tersebut. Kalangan akademisi mulai memproduksi berbagai konsep untuk menghadapi kondisi tersebut. Pembangunan Berkelanjutan merupakan hasil karya para akademisi untuk merespon kondisi lingkungan yang diperburuk oleh berbagai bisnis---yang salah satunya adalah industri ekstraktif. Fakta kerusakan lingkungan juga menjadi ancaman terhadap keberlanjutan industri ekstraktif. Jika para pengusaha masih ngotot untuk melanjutkan usaha-usaha tersebut, maka kemarahan publik akan semakin meningkat dan bisa saja timbul perlawanan. Hal ini akan berimplikasi pada terhambatnya sirkulasi kapital.

Frans Magnis suseno menjelaskan bahwa kelas kapitalis memiliki kemampuan untuk berkamuflase dan kemampuan untuk menyesuaikan dengan keadaan (Suseno, 1999). Dalam konteks ini, narasi pembangunan berkelanjutan menjadi kedok para pengusaha untuk terus beroperasi di tengah-tengah kondisi lingkungan yang semakin memburuk. Konsep pembangunan berkelanjutan telah menjadi pusat perhatian dalam upaya global menghadapi tantangan lingkungan. Dengan fokus pada keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan sering dianggap sebagai solusi utama untuk mengatasi krisis ekologis. Kondisi tersebut dapat dikatakan sebagai fenomena eko-kapitalisme, yaitu adopsi narasi keberlanjutan oleh korporasi besar. Eko-kapitalisme, yang memanfaatkan narasi pembangunan berkelanjutan, lebih berfungsi sebagai alat untuk melanggengkan akumulasi kapital daripada menawarkan solusi nyata untuk krisis lingkungan dan sosial.

Eko-kapitalisme menawarkan ilusi bahwa pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dapat dicapai melalui inovasi teknologi hijau dan mekanisme pasar tanpa mengorbankan akumulasi kapital. Kondisi ini dikenal dengan The Lauderdale Paradox (Foster, dkk, 2011). sebuah paradox yang menunjukan adanya kontradiksi antara dua tujuan utama. Dalam hal ini, pertentangan antara kepentingan untuk meningkatkan ekonomi dengan kepentingan untuk meningkatkan kesejahteraan umum atau kesejahteraan masyarakat melalui redistribusi kekayaan, peningkatan layanan publik, dan kebijakan sosial yang mendukung rakyat.

Kritik terhadap Eko-Kapitalisme

Eko-Kapitalisme dalam bahasa lain juga disebut sebagai green capitalism, di mana hal ini pernah dibahas oleh Fred Magdoff dan John Bellamy Foster. Buku ini menguraikan bahwa pengentasan persoalan lingkungan tanpa mengubah watak kapitalistik dari sistem ekonomi merupakan sebuah kenaifan (Magdoff dan Foster, 2018). Gaya hidup hijau menjadi tren yang meluas dan juga menguntungkan. Perlombaan di antara korporasi untuk menunjukan sisi hijau dan juga punya tanggung jawab sosial (Magdoff dan Foster, 2018).

Terdapat beberapa korporasi raksasa seperti Hewlett-Packard, Dell, Johnson & Johnson, Intel, dan IBM, pada tahun 2009, Majalah Newsweek mengklaim bahwa perusahaan-perusahaan tersebut adalah perusahaan paling hijau, hanya karena mereka menggunakan sumber energi terbarukan, melaporkan emisi gas rumah kaca mereka (atau ada upaya menguranginya), serta secara resmi menerapkan kebijakan lingkungan (Magdoff dan Foster, 2018). Eko-kapitalisme, yang memanfaatkan narasi pembangunan berkelanjutan untuk terus melakukan akumulasi kapital melalui eksploitasi sumber daya alam. Artinya keseimbangan antara kepentingan lingkungan dengan sistem ekonomi yang kapitalistik tidak berjalan secara seimbang, karena disebabkan oleh beberapa hal.

Pertama, pada tingkat ideologis, paradigma kapitalistik dianggap tidak kompatibel dengan tujuan keberlanjutan untuk kelestarian lingkungan. Kapitalisme mendorong pertumbuhan tanpa batas yang memperparah eksploitasi alam dan menciptakan kerusakan ekologis yang tidak dapat diperbaiki (Halit, 2024). Dengan tujuan akumulasi kapital maka biaya produksi harus ditekan sehingga bisa menghasilkan nilai lebih yang besar. Selain biaya produksi, biaya untuk eksternalitas negatife juga harus ditiadakan. David Harvey: "Jika kapitalisme dipaksa menginternalisasi" semua biaya sosial dan lingkungan yang ditimbulkannya "dia akan gulung tikar (Magdoff dan Foster, 2018).

Kedua, narasi keberlanjutan digunakan oleh korporasi sebagai tameng dan alat pencitraan.  Fenomena ini dikenal sebagai greenwashing, di mana perusahaan mengklaim produk atau operasinya ramah lingkungan, padahal kenyataannya tidak demikian. Istilah greenwashing untuk pertama kalinya digunakan oleh Jay Westervelt---seorang ahli lingkungan pada tahun 1986 (Budianto, 2024). Istilah ini bermula dari sebuah tulisan yang mengkritik sistem manajemen handuk di banyak hotel. Sementara itu, istilah tersebut diartikan juga di dalam Webster's New Millennium Dictionary of English sebagai strategi komunikasi mempromosikan program ramah lingkungan sebuah entitas tertentu yang bertujuan mengalihkan perhatian publik dari aktivitas perusakan lingkungan oleh entitas bersangkutan (Budianto, 2024).

Di Indonesia, kebijakan yang bisa diidentifikasi sebagai praktik greenwashing adalah penggunaan kendaraan listrik yang masif dipromosikan pemerintah melalui pemberian subsidi agar masyarakat tertarik membelinya. Digadang-gadangkan bahwa penggunaan kendaraan listrik dapat mengurangi emisi karbon karena lebih hemat dan "hijau", namun pada faktanya ternyata tidak sepenuhnya benar, setidaknya hingga saat ini. Sebab proses mendapatkan energi listrik yang sebagian besar masih mengandalkan PLTU berbahan bakar batubara yang merupakan energi kotor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun