Mohon tunggu...
Ramdan Herawan
Ramdan Herawan Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Program Magister

Mahasiswa Program Magister Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB)

Selanjutnya

Tutup

Money

Optimasi Energi Hijau pada Sistem Kelistrikan Nias

10 Mei 2020   13:15 Diperbarui: 21 Mei 2020   11:14 749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kepulauan Nias merupakan pulau di sebelah barat Sumatera Utara yang masuk ke dalam wilayah administrasi Provinsi Sumatera Utara. Mungkin banyak warga Indonesia yang belum mengetahui tentang Pulau Nias, pulau yang memiliki potensi wisata yang dinilai dapat menyamai Pulau Bali. Pulau Nias memiliki potensi wisata alam khususnya pantai dan laut yang indah yang belum banyak dijamah. Apalagi dengan wilayah geografis yang dekat dengan Singapura dan Malaysia memungkinkan Pulau Nias menjadi alternatif tujuan para wisatawan mancanegara dari negara tetangga. Pulau Nias memiliki luas wilayah sekitar 5.625 km2. Kepulauan Nias terdiri dari lima daerah, yakni Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Utara, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Selatan, dan Kota Gunung Sitoli dengan penduduk sekitar 1 Juta jiwa.

Pulau Nias dengan potensi wisata yang bagus akan berkembang dan dapat menunjang perekonomian jika ditunjang dengan infrastruktur yang baik, khususnya dari segi penyediaan infrastruktur listrik. Rasio elektrifikasi saat ini yang masih berada pada angka 51,38% di pulau Nias, masih memerlukan peningkatan rasio elektrifikasi yang tinggi agar seluruh penduduk Pulau Nias dapat memiliki kesempatan sama untuk membuka peluang pariwisata dengan kondisi kelistrikan yang mumpuni. Dengan kapasitas daya mampu pembangkitan 47,4 megawatt (MW), Nias saat ini memiliki Beban Puncak rata-rata sekitar 30 MW menurut RUPTL, dengan panjang jaringan tegangan menengah 8.603,01 kms dan tegangan rendah 1,413.77 kms. Nias saat ini memiliki Gardu Induk 70 kV sebanyak 2 buah, terletak di Gunungsitoli dan Teluk Dalam, dengan kapasitas trafo daya 2x30 MVA. Kondisi surplus ini tentunya sangat mendukung PLN dan Pemda, serta seluruh stakeholder untuk meningkatkan rasio elektrifikasi di Pulau Nias. Sistem kelistrikan Nias terpisah dari sistem kelistrikan Sumatera, walaupun masuk ke dalam wilayah Sumatera Utara. Menurut data bahwa bahan bakar pembangkit listrik di Nias 47 % adalah pembangkit dengan bahan bakar BBM, sedangkan 53 % dengan bahan bakar Non-BBM

pembangkit-jpg-5eb8222a097f360cd879bd32.jpg
pembangkit-jpg-5eb8222a097f360cd879bd32.jpg
Pada tahun 2016, Pemerintah dalam hal ini KemenESDM (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral) telah memasukkan Pulau Nias ke dalam PIT (Program Indonesia Terang). Dengan berbagai sumber energi listrik yang ada diharapkan seluruh masyarakat Pulau Nias bisa menikmati listrik sehingga mendukung perekonomian melalui berbagai sektor salah satunya adalah pariwisata.

Pada artikel ini tim kami yang merupakan Mahasiswa program Magister Teknik Elektro Teknik Tenaga Elektrik Institut Teknologi Bandung pada kelompok kajian Ekonomi Energi (Grup 4) akan mereview RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) dan melakukan analisis skenario optimalisasi pengembangan energi hijau atau energi baru dan terbarukan pada kelistrikan Pulau Nias. 

Berdasarkan RUPTL 2019-2028 pertumbuhan beban puncak tahunan di Nias diproyeksikan memiliki asumsi yang sama dengan wilayah Sumatra Utara yaitu mencapai rata-rata 7,43%  dengan peningkatan tertinggi mencapai 9,94% pada tahun 2022 atau kenaikan lebih dari 27,14 MW hingga 2028. Pada tahun 2024 kebutuhan listrik di Nias akan mencapai 44,18 MW yang berarti perlu dilakukan pengembangan pembangkit listrik karena kebutuhan listrik yang sudah melebihi reserve margin dari kapasitas pembangkitan saat ini. Menurut RUPTL tersebut, untuk sistem kecil seperti Nias yang belum terinterkoneksi dengan sistem kelistrikan Sumatra, maka perencanaan pembangkitan harus dibuat dengan kriteria N-2, yaitu cadangan harus lebih besar dari 1 unit terbesar pertama dan 1 unit terbesar kedua. Sebagai tambahan pembangkit dalam sistem Nias, sampai dengan periode 5 tahun ke depan (2019-2024) direncanakan penambahan pembangkit PLTMG (Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas) dan PLTBm (Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa) sedangkan untuk pemenuhan beban puncak masih akan tetap disuplai oleh PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) dengan bahan bakar HSD (High Speed Diesel).

Selain itu akhir akhir ini isu mengenai pengurangan energi fosil menjadi energi yang lebih ramah lingkungan yaitu Renewable energy telah banyak digaungkan oleh masyarakat dunia. Bahkan pada tahun 2016, Menteri ESDM saat itu Archandra Tahar pada suatu konferensi energi, berujar bahwa Renewable energy bukanlah suatu pilihan, namun suatu keharusan. Indonesia adalah negara dengan potensi EBT (energi baru terbarukan) yang melimpah, mengutip ucapan mantan Wakil Presiden Republik Indonesia pada acara IIGCE (Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition) pada tahun 2016 yang menyampaikan bahwa potensi geothermal di Indonesia mencapai 30.000 MW atau lebih dari 40% dari potensi dunia. Panasbumi yang sudah dimanfaatkan hanya 1,5 GW. Jika dalam 10 tahun mendatang berencana menghasilkan listrik dari panas bumi sebesar 7.000 MW, maka masih tersedia 70% yang siap untuk dikelola pada masa-masa mendatang. Selain itu potensi lain seperti pembangkit tenaga air, angin, surya, dan lain-lain yang melimpah di Indonesia yang belum sepenuhnya dimanfaatkan.

Potensi Energi di Pulau Nias dari hasil kajian beberapa studi menunjukkan bahwa PLTBm mempunyai kapasitas potensi 15,8 MW disusul PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) dengan kapasitas 10 MW, lalu PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu) sebesar 2 MW diikuti PLTMH ( Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) dan pembangkit listrik tenaga tidal dengan kapasitas masing-masing 0,5 MW dan 0,8 MW, maka total potensi energi di pulau Nias sebesar 29,1 MW di mana hampir 45 % dari potensi energi yang ada merupakan Renewable energy. Selain itu sesuai RUPTL bahwa di Pulau Nias akan masuk 3 Pembangkit yaitu PLTMG dua unit pada 2020 dan 2021 dengan masing-masing kapasitas 10 MW dan PLTBm pada tahun 2023 dengan kapasitas 9,8 MW.

potensi-nias-jpg-5eb823f0d541df1e64684a55.jpg
potensi-nias-jpg-5eb823f0d541df1e64684a55.jpg
Berdasarkan data yang telah dijelaskan dan hasil kajian, tim mencoba membuat analisa penambahan pembangkit dalam 5 tahun ke depan hingga tahun 2024 di sistem kelistrikan Pulau Nias dengan membuat 6 skenario pembangunan pembangkitan, di mana skenario ini memprioritaskan pengurangan penggunaan bahan bakar fosil atau HSD, dan peningkatan penetrasi Renewable energy. Hasil yang ingin dicapai oleh tim adalah mengetahui nilai LCOE (Levelized Cost of Energy) dari setiap skenario dan biaya emisi CO2 dari setiap skenario, Selain LCOE dan biaya Emisi CO2, kajian energy security juga dilakukan melalui penilaian terhadap kondisi pembebanan, kualitas tegangan dan losses dari masing-masing skenario tersebut.

Skenario pertama mengacu pada RUPTL dimana tidak ada penetrasi Renewable energy, penambahan pembangkit terletak pada PLTBm sebesar 16 %, PLTMG 74 %, dan PLTD dengan Bahan Bakar HSD 10 % .

Skenario kedua penetrasi Renewable energy sebesar 9 %, dimana seluruh Renewable energy menggunakan PLTS (100 %), lalu PLTBm sebesar 24 %, dan PLTMG 67 % , tanpa PLTD (HSD).

Skenario ketiga penetrasi Renewable energy sebesar 15 %, dimana seluruh Renewable energy menggunakan PLTS (100 %), lalu PLTBm sebesar 16 %, dan PLTMG 69 % , tanpa PLTD (HSD).

Skenario keempat penetrasi Renewable energy sebesar 16 %, dimana Renewable energy menggunakan PLTS (95 %) dan sisanya PLTMh, lalu PLTBm sebesar 15 %, dan PLTMG 69 % , tanpa PLTD (HSD).

Skenario kelima penetrasi Renewable energy sebesar 18 %, dimana Renewable energy menggunakan PLTS (73 %) dan sisanya PLTMh dan PLTB, lalu PLTBm sebesar 15 %, dan PLTMG 67 % , tanpa PLTD (HSD).

Skenario keenam penetrasi Renewable energy sebesar 18 %, dimana Renewable energy menggunakan PLTS (75 %) dan sisanya PLTMh dan PLTB, lalu PLTBm sebesar 21 %, dan PLTMG 61 % , tanpa PLTD (HSD).

Penilaian terhadap Affordability (LCOE) dan Sustainability (Biaya Emisi CO2) menggunakan aplikasi EnergyPLAN Aalborg University. Affordability ditinjau dari nilai total annual cost pembangkit selama 5 tahun sedangkan Sustainability ditinjau dari nilai emisi CO2 cost selama 5 tahun. Efisien atau energy security, ditentukan oleh kehandalan pada pembebanan, kualitas tegangan dan losses. Pada kajian ini, diasumsikan semua skenario handal dalam pembebanan, sedangkan tegangan dan losses jaringan akan diuji dengan mempergunakan Load Flow Analysis dengan Software ETAP.

trilemma-jpg-5eb79d5a097f363c45472004.jpg
trilemma-jpg-5eb79d5a097f363c45472004.jpg

Skema Trilemma digunakan untuk menentukan Skenario terbaik dalam pemilihan alternatif energi yang efisien, sustain (green energy), dan affordable (terjangkau), pada skema ini Energy Security memiliki bobot 30%, Affordability memiliki bobot 30%, dan Sustainability memiliki bobot 40%.

Hasil dari analisis yang telah dilakukan yaitu Skenario (1) RUPTL akan menghasilkan nilai LCOE pada tahun 2024 sebesar 0,1389 USD/Kwh (Rp. 1.978/Kwh) dengan Biaya Emisi CO2 selama 5 tahun mencapai 9,7 Juta USD. Dari 6 skenario yang diajukan, maka nilai LCOE terendah sebesar 0,1082 USD/Kwh (Rp. 1.541/Kwh) diperoleh pada skenario ke-6 dengan penetrasi Renewable energy sebesar 18% dari total energi primer yang dipergunakan. Selanjutnya, Skenario ke-6 yang diajukan juga menghasilkan nilai biaya CO2 terendah sebesar 6,9 juta USD artinya nilai ini ekivalensi dengan penurunan emisi CO2 sebesar 91,14 kilo Ton CO2 dibandingkan dengan skenario RUPTL.

Dari sudut pandang analisis energy security melalui penilaian terhadap tegangan dan losses Jaringan, dari 6 skenario yang diajukan, nilai terbaik dicapai oleh skenario ke-4 yaitu ketika penetrasi Renewable energy sebesar 16% dari total suplai energi primer dengan PLTS mencapai 95% dari keseluruhan Renewable Energy.

Pemilihan alternatif terbaik dari 6 skenario tersebut dilakukan dengan konsep energy Trilemma, yang menggabungkan penilaian (scoring) atas unsur Energy security, Affordability (LCOE), dan Sustainability (Emisi CO2). Dari hasil scoring tiga unsur energi berdasarkan skema trilemma, maka skenario yang menjadi alternatif terbaik adalah skenario ke-6 dimana penetrasi Renewable energy sebesar 18 %, dengan Renewable energy menggunakan PLTS sebesar 75 % dari keseluruhan Renewable energy.

Berdasarkan data Aplikasi EnergyPLAN Aalborg University, dapat dinyatakan bahwa meningkatnya penetrasi Renewable energy mampu menurunkan nilai LCOE atau biaya pokok produksi kelistrikan suatu wilayah pada periode tertentu. Dapat disimpulkan bahwa penetrasi Renewable energy pada sistem berdampak baik pada penurunan biaya pokok produksi kelistrikan yang bisa dikatakan ini adalah sebuah penghematan biaya kelistrikan, dan skenario terbaik dari hasil analisis tim kami adalah skenario ke-6. Selain itu, peningkatan penetrasi Renewable energy yang tepat mampu menurunkan tingkat emisi CO2 pada suatu wilayah.


Tim merupakan Mahasiswa program Magister Teknik Elektro, Teknik Tenaga Elektrik, Institut Teknologi Bandung (ITB) pada kelompok kajian Ekonomi Energi 2020 (Grup 4)

Tim Penyusun

  1. Heri Sutikno (Ketua Tim Riset)         – 23219005
  2. Boy Ihsan (Wakil Ketua Tim)             – 23219044
  3. Nuriyanto Eko Saputro                         – 23219040
  4. Mohamad Ramdan Febriana H         – 23219045
  5. Komarudin                                                – 23219024
  6. Nungky Prameswari                             – 23219038

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun