Nyanyian khas lagu sunda yang diiringi alunan musik semi tradisional tak bisa menahan hasrat beberapa ekor kuda itu untuk menari. Hewan yang tenaganya dijadikan acuan kendaraan bermotor itu berlenggak-lenggok jingkrak-jingkrakan seirama dengan alunan musik tak ubahnya manusia.
Kuda penari itu bahkan tampak tampil maksimal. Mulai dari kepala badan sampai kaki semua dipenuhi aksesoris. Nyentrik. Sementara di atasnya duduk seorang anak kecil yang biasanya pengantin sunat. Perpaduan musik, tarian kuda, dan tarian manusia itu menjadi sebuah harmoni gelaran seni yang biasa disebut: Kuda Renggong.
Pentas Kuda Renggong berasal dari Sumedang. Seperti dituturkan Pratiwi Wulan Gustianingrum dan Idrus Affandi dalam tulisannya yang berjudul "Memaknai Nilai Kesenian Kuda Renggong dalam Upaya Melestarikan Budaya Daerah di Kabupaten Sumedang" (2016), kesenian tersebut muncul pertama kali di Desa Cikurubuk, Kecamatan Buahdua, Kabupaten Sumedang. Kata "renggong" sendiri merujuk kepada "keterampilan."
Kesenian yang sudah muncul sejak 1910 ini muncul tak lepas dari sejarah Sumedang yang menggunakan kuda sebagai alat transportasi dan alat perang. Seiring waktu berjalan, peran kuda ikut berubah dari yang hanya sekadar alat transportasi menjadi masuk ke ranah seni.
Sejarah Kuda Renggong
Ketika pertama kali melihat pentas Kuda Renggong hal itu membawa pengalaman baru yang belum pernah dilihat sebelumnya. Persepsi soal kuda sebagai hewan yang hanya diandalkan tenaganya untuk alat transportasi, ternyata juga punya fungsi lain dalam kesenian. Hal itu sejalan dengan sejarah yang  melahirkan tradisi kesenian Renggong.
Pada permulaan abad 20 itu Sumedang berada dalam pimpinan Pangeran Aria Suria Atmadja. Saat itu ia memerintah pengurus kuda keraton yakni Aki Sipan untuk melatih kuda agar mampu berbaris rapi untuk mengarak cucu sang pangeran keliling kota pada waktu acara khitanan.
Aki Sipan yang notabene warga Cikurubuk memiliki jiwa seni serta rasa cinta yang tinggi terhadap kuda mencoba berkreasi agar kuda tersebut mampu bergerak teratur sesuai perintahnya. Dengan ketekunan dan keahlian, kuda tersebut mampu mengangguk, mengangkat kaki dengan dinamis.
Kuda yang berhasil dilatih Aki Sipan itu ternyata mendapat banyak respon positif. Pada saat itu banyak masyarakat yang senang dan terhibur karena kuda yang mereka ketahui hanya mampu mengangkut dan berlari. Tak disangka-sangka ternyata kuda juga punya kemampuan menari. Dari situlah kemudian muncul istilah Kuda Renggong.
Pada perkembangannya, gerakan kuda dalam seni Kuda Renggong dikembangkan sedemikian rupa. Salah satu gerakan yang dikembangkan adalah gerakan seperti berkelahi melawan pelatih dengan gaya pencak silat. Dari perkembangan itulah muncul istilah lain dari Kuda Renggong, yakni Kuda Pencak.
Seni Kuda Renggong atau Kuda Pencak agar mampu menampilkan tontonan sekaligus tuntunan yang berkualitas memang tidak mudah. Proses memilah dan memilih kuda serta pelatihan yang tepat menjadi kunci keberhasilan. Kuda yang digunakan untuk kepentingan seni Kuda Renggong harus dipilih, dilatih, dipelihara dan diberi perawatan yang khusus.
Hingga kini Kuda Renggong masih digelar ketika anak-anak telah disunat. Dengan berpakaian seperti wayang tokoh Gatotkaca, pengantin sunat itu diarak di atas punggung Kuda Renggong. Keluarganya mengikuti dari belakang. Mereka berkeliling dari satu desa ke desa lain sambil diiringi tembang-tembang sunda seperti Kembang Beureum, Kembang Gadung, dan lagu khas seni Bangreng Kuda Renggong.
Merawat Kuda Renggong
Tidak semua kuda bisa menari seorang seniman Kuda Renggong yang pernah memenangkan kejuaraan tingkat Kota, yakni Mang Dewa. Dalam wawancaranya bersama Youtuber Kang Krisna Mang Dewa bilang agar kuda bisa menari "Harus ada bakatnya (menari) lah."
Sejalan dengan itu menurut Mamat, orang yang dikenal sebagai cucu Aki Sipan, memilih kuda untuk kuda renggong tak boleh asal. Ada beberapa ketentuan yang harus dilakukan, diantaranya yakni pengamatan useran (kunciran), pengamatan ules (bentuk fisik kuda), pengamatan babangus (wajah kuda), dan pengamatan mata kuda.
Sementara itu Mang Dewa bahkan ada kuda yang sama sekali tidak punya bakat menari. Untuk melihat kuda itu punya bakat menari atau tidak, bisa terlihat dari postur tubuhnya.
Sementara itu, Mang Dewa juga memperlihatkan bagaimana melatih seeokor kuda agar bisa menari Kuda Renggong. Dalam video tersebut tergambar bagaimana dia melatih Lesti, kudanya. Mulanya kuda coklat yang terlihat sangat terawat itu dibawa ke sebuah tempat tanah kosong yang ditengahnya sudah tertancap sebatang bambu. Kudanya diikat di sana.
Selagi memeragakan, Mang Dewa bilang untuk melatih kuda agar bisa bergoyang, caranya adalah menepuk paha atasnya. Menurut Mang Dewa latihan seperti itu harus dilakukan secara rutin pagi dan sore selama satu bulan. "Kudu ulet (harus rajin)," kata Mang Dewa.
Saat Mang Dewa masih memperlihatkan proses latihan, ia juga terlihat akrab berkomunikasi dengan kuda. Ia berdecak-decak dan berteriak "hess hess" seolah sedang memberi isyarat agar kuda itu bergoyang. Dan Lesti mulai berlenggak lenggok menari lincah.
Syarat aga kuda bisa menjadi pementas Kuda Renggong harus mampu melakukan gerakan-gerakan seperti Adean (kuda lari ke kiri), Torolong (gerakan lari kuda dengan langkah pendek-pendek dan cepat), Derap atau Jogrog (gaya berjalan kuda dengan langkah cepat), Congklang (gerakan kuda lari dengan langkah kaki sejajar seperti kuda pacu), dan Anjing Minggat (gerakan langkah kuda setengah berlari).
Sementara itu jenis kuda yang biasa digunakan dalam Kuda Renggong berasal dari Kuda Renggong Blaster dan Kuda Renggong Sandel. Untuk kuda renggong blaster adalah jenis kuda hasil perkawinan silang antara kuda sumbawa dengan kuda Australia. Tarian Kuda Renggong selain unik, juga punya banyak nilai-nilai luhur yang perlu dilestarikan.
Menurut Gustianingrum dan Affandi dalam "Memaknai Nilai Kesenian Kuda Renggong dalam Upaya Melestarikan Budaya Daerah di Kabupaten Sumedang" (2016) menjelaskan nilai yang tertanam dalam kesenian Kuda Renggong diantaranya soal spiritual. Nilai ini berupa semangat yang dimunculkan dalam rangkaian upacara inisiasi (pendewasaan) dari seorang anak laki-laki yang disunat. Kekuatan Kuda Renggong yang tampil akan membekas di sanubari anak sunat, juga pemakaian kostum tokoh wayang Gatotkaca yang dikenal sebagai figur pahlawan.
Kemudian selanjutnya nilai yang patut dilestarikan dalam kesenian Kuda Renggong adalah universal. sejak zaman manusia mengenal binatang kuda, telah menjadi bagian dalam hidup manusia di berbagai bangsa di berbagai tempat di dunia. Kuda bahkan banyak dijadikan simbol kekuatan, kejantanan, kepahlawanan, kewibawaan, dan lain-lain.
Selanjutnya nilai estetika. Dalam kesenian Kuda Renggong memang terdapat keindahan yang diperlihatkan melalui pakaian yang dipakai oleh Kuda Renggong yang meriah termasuk juga anak yang menungganginya, pemain musik serta penari pengiringnya.
Lalu ada juga nilai tentang interaksi antar makhluk Tuhan. Kesadaran para pelatih Kuda Renggong dalam memperlakukan kudanya tidak semata-mata layaknya binatang peliharaan, melainkan cenderung memosisikan kuda sebagai makhluk Tuhan yang dimanjakan, baik dari pemilihan, makanannya, perawatannya, dan pakaiannya.
Selanjutnya adalah nilai teatrikalnya. Ketika Kuda melakukan aksinya menari dan bersilat bersama juru latihnya, atraksi itu membuat pentas Kuda Renggong tampak berwibawa dan memesona.
Yang tak kalah penting dari Kuda Renggong adalah tertanam nilai kerja sama dan nilai kekompakan dan ketekunan. Kemudian terakhir adalah soal nilai sosial yang bisa terlihat dari rasa sosial masyarakat yang sangat terasa dengan saling peduli dan membantu dalam proses pelaksanaan kesenian ini.
Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kesenian Kuda Renggong tersebut tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu dari dahulu sampai sekarang masih terpelihara dengan baik dan perlu dijaga dan dilestarikan.
Hal tersebut sesuai dengan nilai-nilai dimaksudkan oleh Soekamto (1983) bahwa nilai merupakan ukuran-ukuran patokan keyakinan yang dianut orang banyak di dalam lingkungan suatu kebudayaan tertentu, mengenai apa yang benar, pantas dan baik untuk dikerjakan dan diperhatikan. Berdasarkan pendapat tersebut bahwa nilai itu sebagai sesuatu yang baik yang patut untuk dikerjakan dan diperhatikan bahkan harus dilestarikan masyarakat.
Menjaga dari dampak negatif globalisasi
Penting bagi kita sebagai anak bangsa untuk melestarikan budaya kesenian sebagai identitas kita sendiri. Wajar saja. Kalau bukan kita yang menjaga lalu siapa lagi?
Pada era globalisasi ini, akulturasi budaya semakin tidak bisa dibendung. Memang kita tidak boleh antipati terhadap hal itu, namun tetap saja kita juga harus punya karakter sendiri. Salah satu upayanya dengan melestarikan kesenian dan budaya kita sendiri.
Pasalnya, dalam keseharian saja kita bisa melihat, bagaimana mayoritas orang sulit untuk tidak lepas dari gawai. Bagaimana generasi-generasi muda, sibuk bermain permainan daring. Bagaimana mereka sibuk bermedia sosial. Meski ada positifnya, banyak juga negatifnya. Salah satunya menurunnya minat untuk mengulik kesenian tradisional milik kita sendiri.
Masih menurut Gustianingrum dan Affandi (2016), globalisasi bisa berdampak positif untuk menyelesaikan segala kebutuhan manusia lewat kemajuan teknologinya. Namun, "juga bisa berdampak negatif ketika globalisasi dapat mengikis kebudayaan yang menjadi ciri khas dari suatu bangsa," tulis Gustianingrum dan Affandi.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat bahwa globalisasi menimbulkan berbagai masalah dalam bidang kebudayaan. Misalnya hilang budaya asli suatu daerah atau suatu negara, terjadi erosi nilai-nilai budaya, menurun rasa nasionalisme dan patriotisme, hilang sifat kekeluargaan dan gotong royong, kehilangan kepercayaan diri, gaya hidup yang tidak sesuai dengan adat kita.
"Sejalan dengan perkembangan zaman itu pula, keberadaan nilai-nilai budaya Sunda seperti dalam penelitian ini mulai tergeser fungsi dan peranannya di dalam masyarakat. Salah satu penyebabnya adalah karena terhambatnya proses transfusi dari generasi tua kepada generasi selanjutnya," tulis Gustianingrum dan Affandi (2016).
Menyadari hal itu, pemerintah terus mengupayakan pelestarian Kuda Renggong.
Tahun 2019, Kementerian Pariwisata RI dan Pemerintah Kabupaten Sumedang menyelenggarakan festival bertajuk Hardfest Pesona Jatigede. Acara yang diselenggarakan di Tanjung Duriat Desa Pajagan Kecamatan Cisitu itu disaksikan langsung oleh Menteri Pariwisata pada periode itu Arif Yahya dan Bupati Sumedang Dony Ahmad Munir.
Dalam acara akbar itu sekitar tiga ratus ekor Kuda Renggong mentas di area Bendungan Jatigede Sumedang. Tujuannya untuk mengembangkan wisata di Sumedang, termasuk melestarikan budaya Kuda Renggong.
Selain itu, Pemerintah Kabupaten juga mengatakan tengah mempersiapkan hak paten seni Kuda Renggong sebagai seni khas Sumedang.
"InsyaAllah kita sedang mempersiapkan (hak cipta) seni kuda renggong kemudian sudah dirintis. Kudang renggong menjadi betul-betul hanya milik Sumedang yang terus kita kembangkan dan kita majukan," kata Bupati Sumedang Dony Ahmad Munir ketika diwawancara Kang Krisna lewat akun Youtubenya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H