Mohon tunggu...
Ramdan Febrian
Ramdan Febrian Mohon Tunggu... Jurnalis - Buruh tulis

Penulis dan penerjemah. Fokus di bidang sosial dan sains.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Trickle Down Effect" Krisis Moral Penguasa

8 Desember 2017   15:07 Diperbarui: 8 Desember 2017   15:34 1399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dari zaman pejabat korupsi curi uang rakyat dibalik meja, sampai pada praktik gasak uang lengkap dengan meja-mejanya merupakan suatu indikasi bahwa hampir tidak ada lagi benteng moral bagi para pejabat dalam mempertanggungjawabkan amanat sebagai pemimpin bangsa.

Data dari Mahkamah Agung dilansir dari CNNIndonesia mencatat, sepanjang tahun 2016 terdapat 14.564 perkara korupsi yang masuk. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun 2015, yakni sebanyak 13.977 perkara. Terjadi peningkatan sebanyak 587 perkara diluar angka sisa perkara tahun 2015 yang mencapai 3.950.

Masalah korupsi adalah persoalan terbesar kedua bangsa setelah penyalahgunaan narkoba jika diliat dari besaran jumlah aduan kasus ke Mahkamah Agung. Ironisnya praktisi korupsi ini sebagian besar dilakukan pemimpin negara yang merupakan nahkoda sebagai penentu arah "kapal" negara Indonesia. Jika etika pemimpin yang terbentuk seperti itu, mau dibawa ke mana negara ini?

Moral vs Etika

Bicara soal etika dan moral tidak terlepas dari singa pemikir dari Yunani Aristoteles. Dalam bukunya yang berjudul Etika Nikomacheia, guru dari Alexander the Great ini membagi pengertian etika menjadi dua yaitu, Terminius Technicus yang artinya etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang membedah masalah perbuatan atau tindakan manusia, dan yang kedua yaitu Manner dan Custom yang artinya membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (in herent in human nature) yang terikat dengan pengertian "baik dan buruk" suatu tingkah laku atau perbuatan manusia.

Memang 3 singa pemikir dari Yunani itu Socrates, Plato, dan Aristoteles sangat mempengaruhi pemikir-pemikir dan tokoh besar di seluruh negeri di muka bumi ini tak terkecuali di Indonesia. Tan Malaka misalnya, dalam bukunya Madilog banyak membicarakan ketiga filsuf yang namanya abadi itu.

Dari apa yang telah dijelaskan oleh Tan Malaka tentang etika politik, penulis mengambil kesimpulan bahwa etika adalah suatu aturan dasar yang terbentuk di suatu lingkungan dan orang yang berada dilingkungan tersebut dituntut bersikap objektif terhadap aturan tersebut. Sedangkan, moral diartikan sebagai aturan dasar yang ada pada tiap individu yang sifatnya untuk menentukan sikap terhadap suatu etika.

Jika melihat etika politik yang terbangun saat ini, nilai dari Pancasila yakni sila ke 4, yang berbunyi, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat (orang yang berilmu, dan) kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan sudah mulai dikesampingkan. untuk menjadi seorang pemimpin

Pemimpin memiliki peran penting dalam membentuk etika berbangsa dan bernegara. Untuk mencapai cita-cita preambule, yakni menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Untuk mewujudkan suatu masyarakat makmur nan adil perlu dibangun etika kepemimpinan yang baik bukan etika penguasa yang merusak. Oleh karena itu, untuk membentuk suatu etika yang baik perlu dibangun moral yang baik dan konsekwen untuk menjalankan amanat penderitaan rakyat.

Dalam konteks "etika-moral," pemimpin berbeda dengan penguasa, seorang pemimpin harus berangkat dari moral ke etika, sedangkan penguasa berasal dari etika ke moral. Sehingga banyak orang yang moralnya baik tetapi tidak cukup kuat melawan etika yang ada menjadi terbawa arus terjerumus pada akhirnya merobohkan moral yang sudah ia bangun.

Proyek Nasional Sampai Proyek Lokal

Baru-baru ini masyarakat Indonesia sedang harap-harap cemas menanti ending dari serial drama korupsi mega proyek KTP elektronik (KTP-el). Menurut tirto, pertanggal (7/11/17) sebanyak 58,38% artikel di top 20 media online membahas topik tersebut. Saat ini Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DRP RI) Setya Novanto telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK setelah beberapa lama serial telenovanto berlalu beberapa episode. Diduga kasus bancakan uang negara yang melibatkan beberapa wakil rakyat ini merugikan keuangan negara sebanyak Rp 2,3 triliun. Bagaimana kelanjutan kisahnya, bisa dilihat nanti keputusan dari hasil sidang di Pengadilan.

Pemimpin merupakan seorang panutan yang segala tindak tanduknya menjadi teladan bagi orang yang dipimpinnya. Segala perbuatan yang dilakukan oleh seorang pemimpin akan berdampak kepada orang yang dipimpinnya. Jika pemimpin negara terus mempertontonkan kebobrokan moralnya kepada rakyat, lambat laun pemimpin yang dibawah-bawahnya pun akan mengikuti. Tetesan moral busuk dari atas menetes kebawah sehingga menciptakan suatu etika praktik korupsi yang sudah dianggap biasa oleh orang kebanyakan.

Kasus jual beli jabatan misalnya, pada bulan Oktober kemarin, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap adanya suap jual-beli jabatan yang mengakibatkan Bupati Nganjuk, Jawa Timur, Taufiqurrahman menjadi tersangka setelah terjaring dalam operasi tangkap tangan (Harian Kompas, 27/10).

Di Nganjuk, KPK menemukan indikasi praktik suap jual-beli jabatan tersebut sudah terjadi sejak lama. Langkah KPK yang akhirnya membuat Taufiqurrahman ditangkap tangan pada Rabu siang lalu di sebuah hotel di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta, tersebut bukan kasus yang pertama kali terjadi.

Peneliti pemerintahan daerah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Mardyanto Wahyu Triatmoko, mengakui, jual-beli jabatan di pemerintahan daerah sudah lama terjadi. Namun, praktik itu baru terungkap belakangan ketika KPK menangkap Bupati Klaten Sri Hartini karena menerima suap promosi jabatan di Pemerintah Kabupaten Klaten.

Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan menjelaskan praktik jual-beli jabatan ini berada pada kisaran harga 20 sampai ratusan juta rupiah tergantung seberapa tinggi jabatan yang hendak dibeli. "Jadi, uang yang dimintakan ke para pegawai di sejumlah SKPD (satuan kerja perangkat daerah) terkait perekrutan, pengangkatan, promosi, mutasi, dan alih status kepegawaian di Kabupaten Nganjuk. Ada tarifnya, tetapi berbeda-beda. Untuk kepala sekolah bisa saja berbeda sesuai tempat. Kepala sekolah SD bisa sampai Rp 20 juta, kepala sekolah SMP bisa sampai Rp 50 juta, apalagi kepala dinas bisa lebih besar lagi. Tak ada harga yang tetap, tetapi kisarannya segitu," tutur Basaria.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun