Dari zaman pejabat korupsi curi uang rakyat dibalik meja, sampai pada praktik gasak uang lengkap dengan meja-mejanya merupakan suatu indikasi bahwa hampir tidak ada lagi benteng moral bagi para pejabat dalam mempertanggungjawabkan amanat sebagai pemimpin bangsa.
Data dari Mahkamah Agung dilansir dari CNNIndonesia mencatat, sepanjang tahun 2016 terdapat 14.564 perkara korupsi yang masuk. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun 2015, yakni sebanyak 13.977 perkara. Terjadi peningkatan sebanyak 587 perkara diluar angka sisa perkara tahun 2015 yang mencapai 3.950.
Masalah korupsi adalah persoalan terbesar kedua bangsa setelah penyalahgunaan narkoba jika diliat dari besaran jumlah aduan kasus ke Mahkamah Agung. Ironisnya praktisi korupsi ini sebagian besar dilakukan pemimpin negara yang merupakan nahkoda sebagai penentu arah "kapal" negara Indonesia. Jika etika pemimpin yang terbentuk seperti itu, mau dibawa ke mana negara ini?
Moral vs Etika
Bicara soal etika dan moral tidak terlepas dari singa pemikir dari Yunani Aristoteles. Dalam bukunya yang berjudul Etika Nikomacheia, guru dari Alexander the Great ini membagi pengertian etika menjadi dua yaitu, Terminius Technicus yang artinya etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang membedah masalah perbuatan atau tindakan manusia, dan yang kedua yaitu Manner dan Custom yang artinya membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (in herent in human nature) yang terikat dengan pengertian "baik dan buruk" suatu tingkah laku atau perbuatan manusia.
Memang 3 singa pemikir dari Yunani itu Socrates, Plato, dan Aristoteles sangat mempengaruhi pemikir-pemikir dan tokoh besar di seluruh negeri di muka bumi ini tak terkecuali di Indonesia. Tan Malaka misalnya, dalam bukunya Madilog banyak membicarakan ketiga filsuf yang namanya abadi itu.
Dari apa yang telah dijelaskan oleh Tan Malaka tentang etika politik, penulis mengambil kesimpulan bahwa etika adalah suatu aturan dasar yang terbentuk di suatu lingkungan dan orang yang berada dilingkungan tersebut dituntut bersikap objektif terhadap aturan tersebut. Sedangkan, moral diartikan sebagai aturan dasar yang ada pada tiap individu yang sifatnya untuk menentukan sikap terhadap suatu etika.
Jika melihat etika politik yang terbangun saat ini, nilai dari Pancasila yakni sila ke 4, yang berbunyi, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat (orang yang berilmu, dan) kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan sudah mulai dikesampingkan. untuk menjadi seorang pemimpin
Pemimpin memiliki peran penting dalam membentuk etika berbangsa dan bernegara. Untuk mencapai cita-cita preambule, yakni menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Untuk mewujudkan suatu masyarakat makmur nan adil perlu dibangun etika kepemimpinan yang baik bukan etika penguasa yang merusak. Oleh karena itu, untuk membentuk suatu etika yang baik perlu dibangun moral yang baik dan konsekwen untuk menjalankan amanat penderitaan rakyat.
Dalam konteks "etika-moral," pemimpin berbeda dengan penguasa, seorang pemimpin harus berangkat dari moral ke etika, sedangkan penguasa berasal dari etika ke moral. Sehingga banyak orang yang moralnya baik tetapi tidak cukup kuat melawan etika yang ada menjadi terbawa arus terjerumus pada akhirnya merobohkan moral yang sudah ia bangun.
Proyek Nasional Sampai Proyek Lokal