Pada zaman sekarang dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi memudahkan dalam mengakses segala informasi dan ilmu pengetahuan. Akan tetapi, disisi lain dengan kemajuan teknologi banyak dimanfaatkan untuk sekedar hiburan dan bermain game dikalangan pelajar. Sebagai generasi muda yang harus mereka lestarikan salah satunya yaitu sastra, saat ini sastra Sunda masih rendah peminat dan masih tertinggalnya dalam mempublikasikannya. Salah satu yang harus dilestarikan dan dipertahankan dalam sastra Sunda yaitu sajak, sajak bagian dari sastra Sunda.
Sajak tahun 1950-an masih dalam perdebatan dikalangan masyarakat Sunda, ada yang berpendapat sajak bagian dari sastra Sunda dan ada yang tidak setuju bahwa sajak bagian dari sastra Sunda. Pada saat ini sajak dapat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat dan dunia pendidikan khusunya di Jawa Barat serta dijadikan sebagai sastra Sunda yang terus berkembang dan populer. Berikut dikemukakan pengertian sajak dengan menggunakan bahasa Sunda menurut Mustappa (2014 :12).
Dina Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi IV, 2012), Sajak dihartikeunana gubahan sastra yang berbentuk puisi.
Sedangkan menurut Ajip Rosidi dalam Mustappa(2014:12) mengemukakan bahwa Sajak dina basa Sunda teh nyaeta wangunan puisi anu lain dangding, lain sa'ir, lain sesebred, lain paparikan, sarta lain wangunan-wangunan puisi Sunda anu geus aya ngaranna.
Dengan demikian, sajak adalah gubahan sastra yang berbentuk puisi dan mementingkan keselarasan bunyi-bunyi dalam pembacaannya. Berikut adalah salah satu contoh sajak yang mudah dipahami.
Ramdan Muhidin 17 Agustus 2020
Simkuring lahir di tanah Sunda
Tanah puseur kabudayaan
Kacapi, suling jeung angklung
Silih patembalan ngahiji nada, sangkan urang kudu ngado'a.
Simkuring cicing di suku Gunung Tampomas
Gunung Gede anu geus damai ku keris emas sakti
Gagaduhan Pangeran anu ngabakti
Ka rakyat anu pinuh harti.
Gusti Allah maparin kaberkahan
Ka iyeu tanah Sunda
Anu dikuriling ku gunung-gunung
Sangkan urang kudu ngariung mumpulung.
Simkuring inget ka nasehat kolot baheula
Anu jadi karuhun urang sadaya
Anu sajatina urang teh manusya
Kudu silih asih, asah jeung asuh di dunya.
Sajak ini terdiri dari empat bait, setiap bait terdiri dari empat baris. Sajak ini menceritakan berkaitan dengan tanah Sunda yang khususnya tertuju pada Sumedang, Sumedang bukan terkenal dengan makanan khasnya saja yaitu tahu, ubi, opak, dan lain-lain. Akan tetapi, berkaitan dengan letak geografi dan sejarah yang terjadi di massa lalu dimana pada dulu kala ada sebuah gunung yang dinamakan Gunung Gede akan meletus dan mengakibatkan kepanikan terhadap rakyat Sumedang. Kemudian pada saat itu Pangeran yang berkuasa merasa cemas dan memperhatikan keselamatan rakyatnya yang penuh dengan arti.
Dengan keputusan yang diambilnya dan mendapatkan ilham bahwa Pangeran tersebut harus menumbalkan keris emas kesayangannya dan menancapkanya ke Gunung Gede dengan peristiwa tersebut maka gunung tersebut berdamai dan dinamakan menjadi Gunung Tampomas. Sumedang terkenal dengan kebudayaannya seperti Tarawangsa, Kuda Renggong, Umbul, Bangreng, Ketuk Tilu, dan lain-lain.
Kesenian ini merupakan bagian dalam melestarikan kebudayaan Sunda yang semata-mata untuk mengucapkan terima kasih kepada Sang Pencipta dan sebagai media hiburan. Sumedang merupakan bagian dari tanah Sunda yang dikelilingi gunung-gunung, mungkin menandakan bahwa dalam keadaan apapun masyarakat Sunda harus bersatu dan menjaga silaturahmi serta mengingat nasihat dari pendahulunnya bahwa orang Sunda harus silih asih, asah, dan asuh.
Referensi
Mustappa, A. (2014). Wirahma Sajak. Bandung: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI