Miris. Itulah yang penulis rasakan saat membaca salah satu tulisan yang dimuat di kolom Surat Pembaca Pikiran Rakyat edisi 06 Juni 2018. Tulisan tersebut berisi tentang keluhan seorang ibu yang merasa keberatan dengan diterapkannya sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMA pada tahun ini.Â
Kebijakan tersebut dianggap telah menghalangi anaknya untuk mendaftar ke sekolah yang diinginkannya sekalipun ia memiliki prestasi akademik dan non akademik yang sangat baik.Â
Penerapan sistem zonasi dipandang sebagai bentuk perampasan hak warga untuk mendapatkan layanan pendidikan yang terbaik. Sang ibu pun menghimbau kepada pihak terkait untuk menerapkan kebijakan tersebut apabila seluruh sekolah telah benar-benar memiliki standar yang relatif sama dalam hal sarana, prasarana maupun tenaga pengajarnya.
Dari alasan-alasan yang dipaparkan oleh orangtua tersebut, ada beberapa hal yang menjadi catatan penulis.Â
Pertama, sistem zonasi yang diterapkan dalam proses PPDB bukanlah kebijakan yang muncul secara tiba-tiba, melainkan sudah melalui kajian yang sangat matang. Adapun yang menjadi tujuan utama dari diberlakukannya kebijakan tersebut adalah terwujudnya pemerataan mutu di seluruh lembaga pendidikan (sekolah).Â
Melalui sistem zonasi pemerintah mendorong seluruh sekolah untuk meningkatkan mutu layanannya sehingga mampu menjadi sekolah favorit bagi warga di sekitarnya. Dengan demikian, adanya anggapan bahwa sistem zonasi menghalangi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan terbaik menjadi tidak relevan.
Kedua, peningkatan mutu layanan sekolah bukanlah semata-mata tanggung jawab pihak manajemen sekolah maupun pemerintah. Maju atau tidaknya sekolah juga ditentukan oleh sejauh mana partisipasi orangtua dalam menyukseskan program-program yang dicanangkan oleh sekolah.Â
Oleh karena itu, masukan dan bantuan berupa tenaga, pikiran, bahkan dana dari para orangtua sangatlah diharapkan. Artinya, sangat tidak bijak apabila kita ingin mendapatkan layanan yang terbaik dari sekolah sementara kita sendiri hanya berdiam diri dan tidak memberikan sumbangsih yang berarti.
Ketiga, adanya pergeseran paradigma pembelajaran di abad 21 yang perlu dipahami oleh orangtua. Diberlakukannya Kurikulum 2013 sejak beberapa tahun silam sejatinya dilatarbelakangi oleh kebutuhan akan hadirnya sebuah konsep pembelajaran yang mampu memberikan bekal kepada generasi saat ini untuk menjawab berbagai tantangan di masa yang akan datang.Â
Adapun kemampuan untuk berkomunikasi, berkolaborasi, berpikir kritis serta bertindak kreatif atau yang lebih dikenal dengan istilah 4C (communication, collaboration, critical thinking and creativity) menjadi modal dasar bagi mereka yang saat ini tengah duduk di bangku sekolah untuk mampu menghadapi persaingan global.
Dalam konteks PPDB dengan sistem zonasi, siswa yang memiliki prestasi sangat baik di sekolah sebelumnya diharapkan tidak hanya berkumpul pada satu sekolah saja, melainkan disebar ke seluruh sekolah. Dengan demikian, setiap sekolah akan memiliki siswa unggulan yang diharapkan mampu membagi pengalaman serta prestasinya dengan rekan-rekannya. Dengan begitu, kemampuan untuk berkomunikasi dan berkolaborasi siswa pun akan benar-benar terasah.
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah dengan memberlakukan sistem zonasi dalam proses PPDB merupakan kebijakan yang tepat. Namun demikian, kebijakan tersebut tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya dukungan dari masyarakat. Oleh karenanya, dibutuhkan pengertian dan partisipasi dari masyarakat dalam menyukseskan program -- program yang dicanangkan oleh pemerintah. Dengan demikian, pemerataan mutu pendidikan sebagaimana yang diharapkan pun dapat benar -- benar terwujud. (Dimuat di Koran Pikiran Rakyat Edisi 12 Juni 2018)
Ramdan Hamdani
www.lenteraguru.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H