Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan digelar secara serentak pada bulan juni mendatang seakan menjadi ujian tersendiri bagi para guru yang selama ini tengah berjuang keras untuk mendidik tunas -- tunas bangsa. Perhelatan akbar yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali tersebut dipastikan akan berdampak pada nasib jutaan guru yang tersebar di berbagai daerah di tanah air.Â
Perbedaan "selera" kepala daerah terpilih dalam mengelola pemerintahannya menjadi penyebab utama munculnya kegalauan yang saat ini dirasakan oleh para guru. Kekhawatiran akan lahirnya kebijakan -- kebijakan yang (dianggap) bertentangan dengan kepentingan guru pun diutarakan oleh mereka yang peduli terhadap masa depan dunia pendidikan.
Suasana yang kurang kondusif semacam ini sebenarnya sudah dapat dirasakan para guru maupun kepala sekolah sejak beberapa bulan menjelang pencoblosan. Tarik menarik kepentingan di internal birokrasi kerap kali bermuara pada pemaksaan dukungan kepada kandidat tertentu.Â
Ancaman mutasi serta rotasi pun sering kali dirasakan oleh para guru maupun kepala sekolah yang memilih untuk bersikap netral dan tetap fokus dalam menjalankan tugas utamanya sebagai seorang pendidik. Sebaliknya, Â imbalan yang cukup menggiurkan tengah menanti mereka yang siap untuk diajak "bekerja sama".
Di lain pihak, diberlakukannya kebijakan alih kelola sejak beberapa tahun silam seakan memberi angin segar kepada para kandidat petahana untuk mempertahankan kursi kekuasaannya. Adanya kewenangan untuk mengelola SDM di bidang pendidikan sesuai dengan jenjangnya memberikan keuntungan tersendiri bagi mereka yang akan mencalonkan diri untuk kedua kalinya.Â
Dalam hal ini guru maupun organisasi guru dipandang sebagai "mitra" yang memiliki potensi untuk dapat mengantarkan sang kandidat dalam upaya meraih kursi kekuasaan.
Alhasil, prinsip -- prinsip netralitas dan profesionalitas yang semestinya dipegang teguh oleh guru khususnya yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) pun perlahan luntur. Guru seakan pasrah saat dirinya dijadikan kaki tangan oleh para politikus yang haus akan kekuasaan. Ruang kelas yang sejatinya digunakan untuk mencerdaskan tunas -- tunas bangsa pun berubah menjadi ajang kampanye terselubung.Â
Tak hanya itu, organisasi guru sebagai lembaga yang seyogyanya dibangun  untuk memperjuangkan kepentingan guru serta sarana untuk meningkatkan kompetensinya malah dijadikan "kendaraan rental" oleh pihak-pihak tertentu untuk mencapai tujuannya. Tak  heran apabila kualitas output yang dihasilkan oleh para guru semacam ini pun kian jauh dari harapan.
Untuk melindungi guru dari kepentingan politik tertentu, diperlukan pengawasan ekstra ketat dari pemerintah pusat terhadap berbagai aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah daerah menjelang pelaksanaan Pilkada. Sanksi tegas mutlak diberikan kepada para birokrat yang sengaja menggiring guru untuk mendukung salah satu kandidat.Â
Selain itu pihak Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) pun hendaknya aktif mencatat berbagai pelanggaran yang dilakukan untuk kemudian ditindaklanjuti. Namun demikian, yang jauh lebih penting adalah keberanian dari guru itu sendiri untuk melawan berbagai bentuk intimidasi serta tidak mudah tergoda oleh  bujuk rayu para kandidat. (Dimuat di Koran Pikiran Rakyat Edisi 09 April 2018)
Ramdan Hamdani