Saat negara Jepang mengalami kehancuran akibat ledakan bom atom yang dijatuhkan oleh pihak sekutu pada tahun 1945, pertanyaan pertama yang diajukan oleh Kaisar Hirohito yang saat itu menjadi pemimpin tertinggi negeri sakura tersebut bukanlah berapa banyak jumlah tentara yang tersisa, melainkan berapa orang guru yang masih hidup. Kaisar beralasan, melalui pendidikanlah negara tersebut dapat dibangun kembali. Di pundak para guru lah akan lahir generasi yang mampu membawa Jepang untuk mengejar ketertinggalannya dari bangsa-bangsa lainnya. Alhasil, berkat sikap bijak sang kaisar yang sangat menghargai jasa-jasa para guru, Jepang pun mampu bangkit dari keterpurukan bahkan melampaui negara-negara yang dulu pernah menghancurkannya.
Kemajuan yang berhasil diraih oleh negara Jepang tersebut tidak mustahil dialami pula oleh bangsa Indonesia. Dengan jumlah guru lebih dari 3 juta orang, Indonesia berpotensi menjadi negara adidaya yang pantas disegani oleh negara-negara lainnya di kawasan asia maupun di dunia. Semua itu tentunya hanya dapat terjadi apabila setiap guru mampu memposisikan dirinya sebagai “sang pencerah” bagi peserta didiknya maupun bagi lingkungan di mana mereka tinggal.
Lahirnya sosok-sosok guru “sang pencerah” yang senantiasa memberikan inspirasi bagi dunia pendidikan kita sebenarnya telah lama dapat kita rasakan. Berkembangnya teknologi informasi seakan telah menghancurkan sekat-sekat yang selama ini menghalangi para guru kita untuk mengeluarkan ide-ide kreatifnya. Saat ini semakin banyak guru yang memanfaatkan ruang-ruang di dunia maya untuk berbagi inspirasi maupun pengalaman dalam mendidik putra-putra bangsa tanpa harus beranjak dari tempat duduknya. Tak hanya itu, bermunculannya berbagai komunitas guru di dunia maya menandakan bahwa keinginan untuk memperbaiki wajah dunia pendidikan kita semakin menguat.
Di sisi lain lahirnya organisasi-organisasi guru baru yang benar-benar independen dan bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan guru maupun peserta didik sejatinya merupakan sinyal bagi pemerintah agar senantiasa berusaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air. Fenomena tersebut sekaligus memberikan “pesan” bagi organisasi guru yang ada agar segera kembali ke jalan yang benar dengan tidak membiarkan dirinya dijadikan kendaraan politik oleh pihak-pihak tertentu untuk meraih kekuasaan. Organisasi guru sudah selayaknya menjadi rumah kedua yang nyaman dihuni guru dalam rangka memperjuangkan kepentingan anggotanya sekaligus meningkatkan kompetensinya.
Dilihat dari karakteristiknya, guru yang berperan sebagai “sang pencerah” adalah mereka yang senantiasa mengutamakan kepentingan peserta didiknya daripada ambisi pribadinya. Baginya, masa depan bangsa yang besar ini bergantung pada bagaimana upaya mereka dalam menyiapkan generasi mudanya. Oleh karena itu, segala daya upaya mereka kerahkan untuk mendidik putra-putra bangsa agar mampu membawa bangsa ini bangkit dari keterpurukan.
Selalu datang tepat waktu, mempersiapkan perangkat serta media pembelajaran yang diperlukan merupakan sebagian ciri yang melekat pada guru yang menyandang gelar “sang pencerah”. Semua itu dilakukannya atas dasar keinginan untuk memberikan yang terbaik bagi anak, bukan karena takut pada atasan ataupun dalam rangka mengejar selembar sertifikat pendidik. Selain itu senantiasa menjaga komunikasi dengan orangtua dilakukannya untuk menggali sejauh mana persoalan yang dialami oleh peserta didiknya untuk kemudian dicarikan jalan keluarnya. Keterbatasan (ekonomi) yang dialaminya sedikit pun tidak mengurangi semangatnya untuk tetap mempersembahkan karya-karya terbaiknya. Baginya, pekerjaan mendidik anak bukan hanya sekedar untuk mencari nafkah, lebih dari itu tugas mendidik putra-putra bangsa menjadi panggilan jiwa sebagai bentuk pengabdian dirinya kepada negara tempat mereka menginjakkan kakinya.
Dengan semakin banyaknya guru – guru yang memiliki karakteristik “sang pencerah”, penulis yakin bahwa kebangkitan dunia pendidikan di tanah air semakin mendekati kenyataan. Pada akhirnya, negeri tercinta ini pun akan mampu mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lainnya di dunia.
Ramdhan Hamdani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H