Keputusan sejumlah daerah untuk membatalkan maupun menunda kebijakan sekolah gratis hingga tingkat SMA/SMK patut kita sesalkan. Keputusan tersebut tentunya akan memupus harapan sebagian siswa terutama mereka yang orangtuanya tidak mampu untuk tetap melanjutkan pendidikannya.Tak hanya itu, keputusan tersebut sejatinya merupakan suatu bentuk pengingkaran terhadap komitmen yang telah mereka buat sendiri sewaktu masa kampanye pemilihan kepala daerah yang lalu.
Program pendidikan dan kesehatan gratis merupakan dua isu sentral yang selalu menjadi “primadona” dalam setiap pemilihan kepala daerah. Kedua isu tersebut terbukti sangat ampuh dalam meraih simpati masyarakat. Namun sayangnya para calon kepala daerah yang bertarung tidak terlebih dahulu melakukan pemetaan maupun benar-benar melihat realita dilapangan apakah program-program yang mereka janjikan tersebut dapat benar-benar dapat direalisasikan. Akibatnya, sikap teu ngukur ka kujur yang mereka miliki tak jarang malah membawa mudharat bagi masyarakat maupun istitusi pendidikan.
Keputusan pemerintah kota malang yang membatalkan program sekolah gratis hingga tingkat SMA/SMK sejatinya harus dijadikan pelajaran bagi daerah lainnya. Pembatalan program sekolah gratis karena masalah pendanaan sebenarnya tidak perlu terjadi jika program tersebut direncanakan dengan baik. Besarnya anggaran pendidikan yang dikucurkan oleh pemerintah pusat ditambah dengan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) seharusnya mampu mewujudkan program tersebut.
Disisi lain dengan tertangkapnya beberapa pejabat daerah yang terlibat kasus-kasus korupsi semakin meyakinkan kita bahwa bukanlah dana yang menjadi persoalan terhambatnya program tersebut melainkan integritas dan political will dari kepala daerah yang bersangkutan.
Untuk mencegah terjadinya kasus-kasus serupa, diperlukan sebuah mekanisme yang tepat guna memastikan para kepala daerah yang terpilih agar benar-benar menepati janjinya. Adanya pernyataan hitam diatas putih yang ditandatangani oleh para calon kepala daerah bahwa mereka akan benar-benar melaksanakan janji-janji politiknya bila nanti terpilih bisa menjadi salah satu cara untuk mengawal kebijakan mereka. Jika tidak, mereka pun harus rela meletakkan jabatannya sebagai konsekuensidari ketidakmampuan mereka dalam merealisasikan janji-janjinya.
Cara tersebut memang tidak mudah untuk dilaksanakan. Sikap kritis masyarakat sangat diperlukan dalam mengawasi kepemimpinan kepala daerah yang bersangkutan. Hal ini tentu saja berkaitan erat dengan tingkat pendidikan masyarakat setempat. Oleh karenanya diperlukan sebuah proses pendidikan politik bagi masyarakat secara memadai. Dalam hal ini penyelenggara pemilu sejatinya mampu berperan dalam memberikan pendidikan politik tersebut. Adapun media hendaknya bijak dalam menempatkan dirinya sebagai salah satu kontrol politik sekaligus sarana untuk mendapatkan informasi yang benar bagi masyarakat.
Meskipun demikian, yang jauh lebih penting adalah sikap ksatria dari para kepala daerah yang merasa tidak mampu dalam mengemban tugasnya agar segera mengundurkan diri dan menyerahkan jabatannya kepada orang lain yang dianggap lebih mampu. Dengan begitu kita berharap kedepan tidak ada lagi masyarakat maupun institusi pendidikan yang menjadi “korban” dari rayuan gombal para (calon) kepala daerah.
Ramdhan Hamdani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H