Upaya untuk mendidik generasi penerus bangsa ini agar terbebas dari jerat korupsi nampaknya makin jauh panggang dari api. Disaat lembaga pendidikan (tinggi) tengah sibuk memerangi korupsi melalui kurikulum pendidikan anti korupsinya, lembaga penegak hukum yang sejatinya bertugas untuk menegakkan hukum dan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat malah berbuat sebaliknya. Hal ini tercermin dari banyaknya koruptor kelas kakap yang “diganjar” hukuman ringan sehingga tidak mampu memberikan efek jera. Berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), terdakwa korupsi di Indonesia rata-rata hanya divonis 35 bulan penjara.
Apa yang penulis gambarkan diatas sejatinya merupakan akibat dari tidak adanya political will yang kuat dari pengambil kebijakan dalam melaksanakan supremasi hukum sesuai dengan agenda reformasi yang diamanatkan beberapa tahun silam. Kondisi ini diperparah dengan sikap pemimpin kita yang enggan untuk “menegur” bawahannya yang bekerja tidak sesuai harapan dengan dalih tidak mau mengintervensi proses hukum yang sedang berjalan. Padahal seorang kepala negara sejatinya merupakan panglima hukum tertinggi yang diharapkan mampu memberikan keadilan bagi rakyatnya.
Akibatnya, upaya pemberantasan korupsi pun (terkesan) berjalan di tempat. Bahkan wabah korupsi tersebut mulai menjangkiti generasi muda kita. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya koruptor tahanan KPK yang usianya tergolong masih muda seperti Gayus Tambunan, Dhana Widyatmika, Anas Urbaningrum dan sederet nama-nama beken lainnya. Ironisnya lagi, media memperlakukan mereka layaknya seorang selebritis dan bukan sebagai koruptor.
Agar pendidikan anti korupsi tersebut dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan, dibutuhkan sinergi yang baik antara institusi pendidikan dengan lembaga penegak hukum. Dalam hal ini lembaga penegak hukum diharapkan mampu membuktikan berbagai teori yang diajarkan dalam mata kuliah anti korupsi di perguruan tinggi, bukan sebaliknya. Berbagai aturan yang selama ini dianggap memberikan keuntungan bagi koruptor sudah saatnya direvisi. Hal tersebut perlu dlakukan dalam rangka memberikan efek jera bagi para pelaku maupun pihak lain yang mencoba untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Meskipun demikian yang jauh lebih penting dari itu semua adalah ketegasan pemimpin bangsa ini dalam “mendidik” bawahannya agar menjalankan tugasnya sesuai dengan harapan masyarakat. Selain itu melipatgandakan hukuman bagi aparat penegak hukum yang terbukti bersekongkol dengan para koruptor diharapkan mampu memutus mata rantai mafia hukum seperti yang saat ini terjadi. Dengan begitu pemberantasan korupsi pun tidak hanya sebatas jargon, namun benar-benar dilaksanakan sebagai program untuk membebaskan bangsa ini dari belenggu kemiskinan.
Ramdhan Hamdani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H