Persolan buku ajar yang mewarnai perjalanan implementasi Kurikulum 2013 nampaknya belum akan segera berakhir. Bahkan, ketidakmampuan pemerintah dalam merealisasikan janjinya untuk memberikan layanan pendidikan yang lebih baik tersebut justru berpotensi menimbulkan konflik antara sekolah dengan orangtua maupun pihak penerbit. Hal ini dikarenakan sikap pemerintah yang terkesan lepas tangan dalam menghadapi berbagai persoalan menyangkut penyediaan buku pegangan bagi guru maupun siswa tersebut.
Adapun dampak yang harus ditangggung oleh pihak sekolah sebagai akibat dari ketiadaan buku tersebut adalah membengkaknya pengeluaran sekolah. Dalam hal ini sekolah harus rela menggandakan sendiri buku ajar sesuai dengan jumlah siswa yang ada. Tak hanya itu, sebagian buku bahkan harus dicetak sendiri oleh orangtua karena ketiadaan biaya yang dimiliki oleh sekolah. Alhasil, slogan pemerintah yang mengatakan bahwa Kurikulum 2013 lebih mempermudah tugas guru dan orangtua siswa pun tidak terbukti di lapangan.
Di sisi lain penerbit sendiri tidak mau dipersalahkan atas terjadinya “tragedi” di awal tahun pelajaran ini. Mereka beralasan, keterlambatan pengiriman buku lebih disebabkan oleh tersendatnya pembayaran oleh sekolah. Hal ini berakibat pada terganggunya cash flow perusahaan sehingga produksi maupun distribusi buku ke sekolah-sekolah menjadi terhambat. Bahkan, beberapa perusahaan lebih memilih mundur dari proyek tersebut karena ketidakmampuan mereka dalam memenuhi kewajibannya.
Seakan tak mau mengambil pelajaran dari peristiwa sebelumnya, kini pemerintah mengeluarkan wacana untuk menyerahkan proyek pengadaan buku kepada pemerintah daerah. Dalam hal ini daerah diberikan dua opsi untuk melakukan pengadaan buku tersebut, yaitu melakukan proses lelang secara mandiri ataupun lelang menggunakan e-katalog melalui Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang atau Jasa (LKPP) seperti yang saat ini dilakukan. Dengan begitu pemerintah daerah menjadi pihak yang paling bertanggungjawab jika proses pengadaan buku (kembali) bermasalah.
Sikap pemerintah yang ingin melepaskan diri dari tanggungjawabnya tersebut tentu tidak dapat dibenarkan. Sebagai pihak yang mencetuskan diberlakukannya kurikulum baru, sudah selayaknya pemerintah berada di garda terdepan dalam menyelesaikan setiap persoalan yang terjadi. Membiarkan sekolah untuk berjuang sendiri dalam menghadapi masalahnya hanya akan membuat guru maupun siswa semakin tersiksa. Akibatnya, tidak mustahil kurikulum baru yang digadang-gadang mampu memperbaiki wajah dunia pendidikan tersebut pada akhirnya akan ditinggalkan karena dipandang menyulitkan.
Untuk menjaga keberlangsungan kurikulum 2013 tersebut, tak ada jalan lain bagi pemerintah selain mengambil alih proses pengadaan dan pemesanan buku ajar untuk seluruh sekolah. Dengan dana dan sumber daya yang dimilikinya, pemerintah seharusnya mampu menyediakan buku ajar sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan. Dengan demikian guru dapat lebih fokus dalam menjalankan tugasnya dan “tragedi” semacam ini pun tidak kemudian menjadi “tradisi” dalam menyambut tahun ajaran baru. (Dimuat di Harian Umum Republika Edisi 04 September 2014)
Ramdhan Hamdani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H